1

485 25 0
                                    

Sore hari, mobil sedan hitam itu masuk dan berhenti di halaman rumah mewah di sebuah kawasan Elite Ibukota. Seorang laki-laki berdasi dan berjas hitam keluar dari mobil tersebut.

Baru beberapa langkah, Papa, laki-laki yang masih terlihat tampan diusianya yang sudah kepala lima yang baru pulang dari kantor wajahnya menegang ketika melihat Taufan, anak bungsunya, laki-laki tampan berusia dua puluh tiga tahun, berkulit putih dan rambut hitam bergelombang itu keluar dari pintu rumah.

"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa.  Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya.

"Taufan! Apa kamu tidak mendengar Papa!" Papa mendekati Taufan.

"Apa aku harus selalu melapor kemana aku pergi?!" Taufan berkata sambil memakaikan helm di kepalanya.

"Kamu pasti mau pergi ke tempat orang-orang tidak berguna itu, kan!" nada suara Papa meninggi.

"Tanpa pamit pun, Papa sudah tahu kemana aku pergi!" Tukas Taufan sambil menyalakan mesin sepeda motornya.

"Sudah Papa katakan berkali-kali, jangan lagi ke tempat orang-orang itu! Mereka meracunimu!"

Taufan membelokkan sepeda motornya tanpa menjawab perkataan Papa.

"Pak Dirman! Aku pergi dulu!" teriaknya sambil melambaikan tangan pada laki-laki setengah baya berkulit coklat, sopir Papa. 

"Hati-hati di jalan, Mas!" balas Pak Dirman. Taufan mengajungkan jempol tangan kanannya, lalu tancap gas keluar halaman rumah.

"Semakin lama anak itu semakin tidak punya etika dan sopan santun! Itu pasti gara-gara bergaul dengan mereka!" Papa nampak marah, lalu berjalan masuk ke rumah.

Pak Dirman terdiam, setelah Papa masuk laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kapan mereka akan berdamai," gumamnya lirih, lalu berjalan menuju ke bagian belakang rumah, untuk meminta segelas kopi dari Asri, pembantu rumah tangga majikannya sambil menunggu Papa yang akan pergi lagi untuk menghadiri meeting di sebuah hotel bintang lima dengan kolega-kolega-nya.





***









"Kenapa Mama tidak melarang Taufan pergi ke tempat itu?!" Papa berkata dengan nada tinggi kepada Mama,  wanita yang berumur dua tahun lebih muda darinya, berkulit putih berwajah ayu dan keibuan yang sedang duduk merajut sebuah syal dari benang wol. Mama yang melihat Papa langsung meninggalkan kesibukannya, menghampirinya dan menciumnya.

"Mama tidak tahu Taufan akan pergi kemana, dia hanya mengatakan akan pergi ke tempat temannya."

"Tanpa dia katakan, Mama seharusnya sudah tahu dia akan pergi kemana!"

Mama terdiam, sepert biasanya jika Papa sudah berbicara tentang Taufan dengan nada tinggi.  Papa kemudian mengalihkan pembicaraan kalau dia hanya sebentar di rumah untuk mengambil berkas untuk meeting yang tertinggal, dan dia tidak akan makan malam di rumah.

Setelah selesai mengambil berkas-berkasnya, Papa pun pergi kembali, Mama mengantarkannya hingga pintu depan. Sementara Pak Dirman langsung berlari meninggalkan dapur dan cangkir kopinya yang masih setengah setelah mendengar panggilan dari Papa.










***










Taufan menghentikan sepeda motornya di halaman depan sebuah rumah kayu yang nampak asri di sebuah perkampungan di pinggiran kota.

Dia turun dari sepeda motornya dan langsung masuk ke rumah yang lebih mirip dengan galeri lukisan karena dinding-dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan.

Laut Dan kesunyianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang