Hari menjelang sore, jalanan menuju pasar sudah tidak seramai saat pagi atau siang. Baruna yang membonceng Taufan tiba-tiba minta berhenti,
"Ada apa? Bukannya kita belum sampai pasar, masih sekitar dua ratus meter lagi di depan," kata Taufan sambil menghentikan sepeda motornya.
"Aku ingin melihat sesuatu," kata Baruna sambil menunjuk pedagang kaki lima yang berjualan manik-manik.
Taufan memarkir sepeda motornya dua puluh meter dari pedagang manik-manik sedangkan Baruna sudah jalan terlebih dahulu.
"Menurutmu, bagus tidak?" Baruna memperlihatkan sebuah untaian kalung dari kerang berwarna putih ketika Taufan sudah berdiri di sampingnya.
"Bagus! Memangnya untuk siapa kalung itu?"
"Wulan dan mamaku."
"Sepertinya cocok buat Wulan sebagai anak pantai!"
"Apa aku tidak salah dengar?"
"Kenapa memangnya? Kamu cemburu aku membelikan kalung buat Wulan?" baruna tertawa.
"Kamu mendahuluiku, Bar! Terus, kenapa tiba-tiba kamu ingin membelikan kalung buat mamamu?"
"Kenapa memangnya? Apa salah?"
"Tidak, tidak ada yang salah. Jadi akhirnya kamu memtuskan untuk kembali ke rumah dan bertemu mamaku?"
Baruna tertawa. "Suatu saat aku pasti akan kembali ke rumah dan bertemu mamaku. Dan saat itulah aku ingin memberikan kalung ini." Baruna memperlihatkan sebuah kalung lagi, sama-sama terbuat dari kerang namun berwarna coklat. Baruna akhirnya membeli dua kalung tersebut seharga tiga puluh ribu rupiah.
"Kamu serius akan memberikan kalung itu kepada Wulan dan mamamu?" tanya Taufan sambil berjalan ke tempat sepeda motornya diparkir.
"Ya seriuslah. Kalau tidak, kenapa aku mesti beli kalung ini!"
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin membelikan mereka kalung?"
"Aku juga tidak tahu, tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku." Baruna tersenyum sambil memperhatikan kalung kerang di tangannya.
"Rupanya kita ditakdirkan untuk bertemu lagi di sini!" sebuah suara berat dan keras tiba-tiba terdengar dari arah jalan. Baruna dan Taufan langsung menoleh. Dilihatnya empat orang laki-laki yang baru saja menyeberang jalan menghampiri mereka. Dua diantaranya mereka kenali.
"Bar! Itu dua orang preman pasar yang berkelahi dengan kita!" kata Taufan.
"Iya aku tahu. Tapi tenang saja, kita ladeni apa mau mereka!"
"Tapi Bar, mereka bawa teman-temannya. Mereka berempat kita berdua!" Taufan nampak kuatir.
"Preman-preman pengecut!" umpat Baruna.
Kini keempat preman tersebut sudah berdiri berhadapan dengan Taufan dan Baruna.
"Gara-gara kalian, penghasilan kami di pasar itu hilang!" tukas preman yang berbadan besar.
"Penghasilan?! Maksudmu hasil perasan! Baguslah kalau begitu!" jawab Baruna yang kemudian tertawa. Taufan yang berdiri disampingnya semakin merasa kuatir.
"Kalian anak bau kencur keparat!" teriak preman satu.
"Sudah bos! Kita hajar saja mereka! Masa kalah dan takut dengan anak yang masih minum asi ini!" teriak preman tiga.
"Eh Kupret! Siapa yang takut dengan dua anak sialan ini!" bentak preman satu yang berbadan besar.
Sementara orang-orang yang lewat dan beberapa pedagang kaki lima termasuk pedagang kalung mulai memperhatikan mereka berenam.
Baruna tiba-tiba tertawa. "Kalau tidak takut kenapa mesti bawa teman untuk menghadapi 'anak bau kencur' seperti kami?! Penge-cut!" ujarnya sambil mencibir. Kedua preman pasar yang pernah berkelahi itu langsung memerah mukanya mendengar kata-katanya.
"Bar! Hati-hati!"
"Bangsat!" Preman satu berbadan besar tiba-tiba menyerang Baruna dengan pukulannya, namun berhasil dihindarinya. Preman dua yang ceking menyerang Taufan, sedangkan dua orang temannya berdiri menyemangati kedua preman pasar tersebut untuk menghajar Taufan dan Baruna. Orang-orang yang ada yang melihat perkelahian tersebut langsung berteriak. Ada yang berteriak untuk memanggil polisi, berteriak agar perkelahian tersebut berhenti dan berteriak ketakutan.
"Bos! Sepertinya mereka mesti dikasih pelajaran! Tangkap bos!" teriak tiga sambil mengeluarkan sebuah belati kecil dari bajunya. Dan melemparkannya kepada preman yang berbadan besar.
"Kalian memang benar-benar pengecut!" teriak Baruna ketika satu itu menangkap belati dan langsung menodongkan kepadanya.
"Baruna! Hati-hati! Cecunguk itu tidak main-main!" Taufan berteriak, wajahnya menegang.
"Hei! Kamu bilang apa? Cecunguk?!" tukas preman dua kepada Taufan dengan wajah penuh amarah.
"Memangnya aku harus menyebut apa kalian ini? Malaikat?! Cuih!" Taufan meludah.
"Kurang ajar! Kamu juga akan menerima hal yang sama!" Preman dua itu pun mengeluarkan sebuah belati kecil dari balik bajunya.
"Hei! Kalian berhenti! Atau akan kami panggilkan polisi!" teriak laki-laki penjual manik-manik bersama seorang laki-laki lain yang berdiri di sampingnya.
"Hei! Kupret! Apa urusanmu! Kalian tidak usah ikut campur! Kalau berani panggil polisi, kalian akan berhadapan denganku!" Preman satu mengancam, lalu segera melayangkan tangannya yang memegang belati kearah Baruna. Belum sempat Baruna menghindar belati tersebut sudah menghujam perutnya. "Aaah!" Baruna mengaduh keras. Preman berbadan besar tersebut terkejut, dia baru sadar kalau belatinya telah menembus perut lawannya, dengan serta merta ia segera menarik belatinya. Teman-temannya pun terkejut dan langsung berteriak untuk lari. Namun segera dikejar oleh orang-orang yang kebetulan berada di tempat tersebut.
"Baruna!" Taufan berteriak, berlari dan menahan tubuh Baruna yang limbung. "Bar! Kamu tiak apa-apa?" ujarnya dengan nada penuh kekuatiran. Baruna meringis menahan sakit, terduduk dengan dipegang oleh Taufan. Terdengar teriakan agar memanggil polisi. Para preman lari tunggang langgang karena dikejar oleh orang-orang.
"Bawa ke rumah sakit! Darahnya yang keluar terlalu banyak! Mungkin mengenai lambungnya!" kata laki-laki penjual manik-manik. Yang kemudian langsung menghentikan sebuah mobil yang kebetulan lewat.
"Tahan Bar!" Taufan memegangi tangan Baruna yang memegang lukanya yang penuh darah, hingga tangannya pun ikut berlumuran darah.
"Sakit Fan!" kata Baruna lirih sambil menahan rasa sakit, wajahnya mulai memucat.
"Kita akan ke rumah sakit! Kamu tahan sebentar!"
Sebuah mobil 'city car' berhenti. Seorang wanita berkerudung biru, berbaju putih dan bercelana jeans serta berkacamata minus keluar dari dalam mobil dan menyuruh membawa Baruna ke mobilnya. Taufan dan laki-laki penjual manik-manik itu memapah Baruna masuk ke dalam mobil.
"Ke rumah sakit, puskesmas atau klinik terdekat Mbak!" kata Taufan kepada wanita berkerudung tersebut setelah berada di dalam mobil. Laki-laki penjual manik-manik itu ikut bersama Taufan mengantarkan Baruna, sebelumnya dia menitipkan dagangannya kepada seorang tukang parkir.
"Bertahanlah dan tetap tersadar Bar! Kamu pasti bisa!" Taufan berusaha menenangkan Baruna, walaupun dia sendiri merasa kuatir dengan keadaan temannya yang masih terus mengeluarkan darah dari lukanya dan wajahnya semakin memucat.
"Kenapa kalian bisa berkelahi dengan para preman itu?" tanya pedagang manik-manik itu kepada Taufan. Taufan secara singkat menceritakan kenapa mereka sampai berkelahi dengan para preman.
"Menghadapi mereka memang susah, dibiarkan ngelunjak, dilawan gak terima! Hhhh..serba susah!" ujar penjual manik-manik dengan nada geram.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut Dan kesunyian
RomanceKisah Taufan Seniman Yang Tak Di Restui jadi Seniman Oleh Ayahnya. Dibumbui Kisah Cintanya Bersama Wanita Cantik Yang Sederhana Bernama Wulan.