"Ohayou gozaimasu."
Merasa dirinyalah yang disapa karena hanya ia satu-satunya orang yang sejak tadi duduk di halte bus, (Name) menoleh. Gadis itu mendapati Akaashi Keiji baru saja sampai di sebelahnya.
"O-Ohayou... gozaimasu," (Name) membalas dengan agak terbata. Oh ya ampun, mengapa dirinya mendadak menjadi pemalu begini? Sejak kemarin pun wajah (Name) tak henti-hentinya bersemu merah setiap kali teringat bagaimana tangan besar Akaashi menggenggamnya.
"Omong-omong, ibuku menitipkan terima kasih untukmu."
Spontan, kedua alis (Name) terangkat. "Hm? Untuk apa?"
"Karena telah mengantarku kemarin," balas Akaashi. "Aku juga berterima kasih."
"Eh, i-iya..."
Seketika, atmosfer canggung terbentuk di sekitar Akaashi dan (Name).
K-Katakan sesuatu, (Name)! Ayolah! Tidak biasanya kau menjadi canggung seperti ini! dalam hati, (Name) sibuk memerintah dirinya sendiri.
"Oi, (Surname)-san."
"Eh—" (Name) baru saja akan bertanya, tepat ketika selembar kertas berukuran A5 disodorkan di depan wajahnya.
"Formulir untuk bergabung dengan klub voli Fukurodani," Akaashi menjelaskan.
(Name) memandang kertas yang disodorkan Akaashi selama beberapa detik. Dia tidak mengerti. Mana mungkin ia bisa bergabung dengan klub voli putra?
"Aku tidak mengerti, Akaashi-san..."
Akaashi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas. Ia meraih tangan (Name), meminta gadis itu menerima formulir yang ia berikan. "Manajer, (Surname)-san."
Perlahan, kedua mata (Name) melebar. Tidak buruk juga, sepertinya. Ia mungkin bisa meminta Akaashi mengoper bola untuknya saat kegiatan klub sudah selesai. Atau membantu anggota tim lainnya untuk berlatih. Atau bahkan, ikut bermain dengan mereka sesekali.
Tapi, detik selanjutnya, sebuah gagasan terlintas dalam benak (Name).
"Lalu, bagaimana dengan... manajer sebelumnya?" (Name) bertanya dengan hati-hati.
Sebelah sudut bibir Akaashi tertarik ke atas. Sebuah tawa kecil keluar dari mulutnya. "Memangnya siapa yang melarang klub voli memiliki banyak manajer?"
"Ahahaha..." sambil menggaruk belakang kepalanya, (Name) tertawa garing.
"Jadi," Akaashi sengaja memberi jeda. "Apakah kau akan bergabung?"
(Name) mengangguk mantap. "Tentu saja. Terima kasih banyak, Akaashi-san."
Akaashi mengangguk sekali. Kemudian ia mengarahkan pandangannya lurus ke depan. "Dengan begitu, kita bisa lebih sering bertemu."
Eh? Apa? Apakah (Name) salah dengar? Apakah indra pendengarannya masih berfungsi dengan baik?
(Name) menundukkan kepala, kemudian melirik Akaashi lewat ekor matanya. Tanpa ia duga, pandangannya bertemu dengan Akaashi. Mereka sama-sama terkesiap rendah, lalu segera mengalihkan pandangan ke arah berlawanan.
Hal itu berakibat pada terciptanya keheningan di antara mereka yang berlangsung selama beberapa detik.
Hingga Akaashi merasa suasana semakin terasa canggung, dan memutuskan untuk kembali membuka suara.
"Aku—"
Baru saja Akaashi berbicara, namun pemuda itu menyadari bahwa ada suara lain yang terdengar bersamaan dengannya. Suara (Name).
"Silakan, kau duluan," Akaashi mempersilakan.
Namun, (Name) menggelengkan kepala kuat-kuat. "B-Bukan hal yang penting."
Karena itulah, akhirnya Akaashi kembali mengambil kesempatannya untuk berbicara. Diraihnya sebelah lengan (Name), lalu ditatapnya kedua manik (eye color) gadis itu.
"Aku—"
BIIIPPP!
Lagi-lagi, Akaashi gagal menyelesaikan kalimat karena suara klakson bus yang tiba-tiba terdengar dari arah pertigaan. Akaashi menepuk dahi.
Tidak butuh waktu lama bagi bus itu untuk sampai di halte. Sang sopir menghentikan laju kendaraan, menunggu Akaashi dan (Name) yang masih terdiam di halte.
"Akaashi-san..." (Name) memanggil dengan maksud menegur pemuda itu.
"Ada a—" sahutan Akaashi tak sempat diselesaikannya, karena tiba-tiba saja sesuatu yang lembut menempel di pipinya. Bersamaan dengan sebuah embusan napas yang terasa hangat, serta aroma harum yang menguar memasuki indra penciumannya.
Detik berikutnya, barulah Akaashi menyadari bahwa ia baru saja dicium oleh (Name).
Tak lama, gadis itu menarik kembali kepalanya.
"Aku suka padamu," (Name) berucap singkat, segera membalikkan tubuh untuk naik ke dalam bus agar wajah merahnya tak terlihat oleh Akaashi. Namun, dengan cepat lengannya ditahan Akaashi, dagunya diraih, dan...
Cup.
Kedua mata (Name) melebar begitu menyadari bahwa Akaashi mempertemukan bibir mereka. Rona merah semakin memenuhi wajah (Name), tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain membeku di tempat.
"Jangan mendahuluiku, (Name)," Akaashi melepas bibir mereka, mengarahkan tatapan sebal kepada gadis itu. Kemudian, Akaashi memasukkan kedua tangan ke dalam saku, melangkah ke arah bus dengan santai.
Sementara itu, (Name) masih mematung di tempatnya.
"Hei, kenapa lama sekali?" Akaashi meraih lengan (Name), membuat gadis itu tersadar seketika. (Name) hanya mengangguk dengan kaku, membiarkan pemuda itu menariknya ke arah bus.
Namun, (Name) menyadari bahwa ekspresi wajah Akaashi terlihat berbeda. Bahkan, baru kali ini gadis itu melihat alis Akaashi sedikit lebih turun dari biasanya.
"Akaashi-san... kau marah?"
"Keiji," Akaashi meralat, meminta gadis itu memanggilnya dengan nama kecil. "Dan, aku tidak marah."
"Lalu?" (Name) bertanya dengan hati-hati.
Akaashi menghentikan langkah, mengembuskan napas panjang. "Seharusnya aku yang mengatakannya lebih dulu, kau tahu."
"S-Soal apa?"
Akaashi berbalik, mengarahkan tatapannya ke manik (eye color) yang cantik itu, lurus dan dalam.
"Soal diriku yang menyukaimu."
***
Omake
Sang sopir bus yang sejak tadi sebenarnya sudah membunyikan klakson berkali-kali dengan maksud menegur dua muda-mudi yang sedang kasmaran itu, akhirnya menghentikan perbuatannya.
Akhirnya, naik juga.
Mata mengantuk berwarna keemasannya menatap ke arah dua orang yang baru saja naik ke dalam bus. Bibirnya mengerucut sebal, moodnya sudah turun drastis—bahkan melewati nol—melihat kelakuan dua anak SMA itu. Akhirnya, ia kembali menginjak gas dengan ganas setelah dua penumpang yang ditunggunya duduk dengan sempurna.
Dasar anak muda.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Solace [Akaashi x Reader]
FanficSemuanya berawal ketika pemuda dan gadis itu menunggu datangnya bus di halte setiap pagi. --- Akaashi Keiji x Reader #9DaysofLove series Haikyuu!! © Haruichi Furudate