1st Day: A Boy

3.2K 389 23
                                    

"Hoaaaahm," (Name) menguap lebar, seraya meraba-raba tempat yang ia duduki. Bagi (Name), besi yang keras dan dingin sangat tidak menyenangkan untuk diduduki, berbeda dengan kasur di rumahnya yang empuk dan hangat. Ditambah lagi ia harus menunggu bus yang tak kunjung datang sejak tadi. Hal itu membuat wajah (Name) semakin tertekuk. Semua hal terasa salah baginya.

Aku ingin bermain voli... pikir (Name) sambil memeluk tiang penyangga atap halte bus.

Mungkin untuk saat ini, tidak ada yang bisa mengobati hatinya selain bermain voli. Jika biasanya ia akan berlatih voli setiap hari bersama klubnya, maka kali ini tidak bisa. Sejak ayahnya memutuskan untuk pindah rumah ke Tokyo secara tiba-tiba.

"HAAAH?! P-P-PINDAH KE TOKYOOO?!?!" malam itu, (Name) mendadak melepaskan sumpitnya dari genggaman demi menggebrak meja makan. Tangan-tangan (Name) mengepal erat, kakinya refleks berdiri, dan kedua mata serta mulutnya terbuka sangat lebar, seolah ia tidak memercayai ucapan Otou-san yang baru saja didengar oleh telinganya.

"(Name), tenanglah..." Okaa-san menepuk-nepuk punggung (Name), memintanya untuk kembali duduk. "Kami juga tidak ingin pindah rumah, jika bukan karena pekerjaan ayahmu, (Name)..."

Akibatnya, selama hampir dua minggu (Name) bersikap seperti orang yang tak memiliki alasan untuk hidup. Wajahnya yang selalu datar, jawabannya yang singkat setiap kali diajak berbicara, matanya yang hampa, dan cara berjalannya yang seperti makhluk tak bertulang. Oh, jangan lupakan bola voli yang telah ditandangani oleh teman-teman klubnya itu. Bola itu selalu ada dalam pelukan (Name), selalu dibawanya kemana pun ia pergi. Saat tidur, saat makan, saat termenung, bahkan saat mandi sekalipun.

Turnamennya... pikir (Name) seraya memeluk bola voli semakin erat. "AAARRRGHH!!! KALAU BEGINI CARANYA, BAGAIMANA AKU BISA MENUNJUKKAN PADA MEREKA KALAU KLUB VOLI KARASUNO ITU YANG TERHEBAT?!?!" sambil mengacak rambut, (Name) berteriak frustrasi. "DAN AKU TIDAK BISA BERMAIN VOLI LAGI, HUWEEEEE..."

"Onee-chan, berisik."

(Name) mendelik ke arah bocah lelaki yang baru saja lewat di depannya seraya mengangkat sebuah kardus bertulisan 'Baju (Name)'.

"ANAK KECIL DIAM SAJA!" sambil memberi tatapan horor ke arah adiknya, aura setan melambai-lambai di belakang (Name).

Adik (Name) mengembuskan napas panjang. "Repotnya punya kakak yang kekanakkan... Hanya karena voli--"

Adik (Name) tidak sempat meneruskan ucapannya, karena (Name) mencubit pipi adiknya keras-keras. "KATAKAN SEKALI LAGI."

"Aduduh! Sakit! Onee-chan, lepaskaaan!"

"(Name)... Jangan bertengkar dengan adikmu..." sang ibu memutuskan untuk menegur karena mendengar keributan antara kedua anaknya.

Menuruti ucapan ibunya, (Name) melepaskan jemarinya dari pipi adiknya. Kemudian ia menatap ke arah ibunya dengan memasang puppy eyes.

"Kau masih bisa bermain voli, (Name)... Bukankah kau sendiri sudah tahu tentang SMA Fukurodani?"

Ya, (Name) sudah diberitahu bahwa ia akan pindah sekolah ke SMA Fukurodani. Ia juga pernah menyaksikan pertandingan klub voli SMA tersebut beberapa kali. Tapi, yang menjadi masalah (Name) sekarang adalah, SMA Fukurodani tidak memiliki klub voli putri seperti SMA Karasuno.

"Pokoknya aku tidak mau pindaaah!!! Huweeeee...!!!" dengan bola voli yang tetap berada di pelukan, (Name) berguling-guling di lantai seraya menangis bombay.

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menangis merengek-rengek dan berguling di lantai sambil memeluk bola voli. Ayah dan ibunya sudah berkali-kali membujuk agar anak sulungnya itu mau pindah ke SMA Fukurodani, tapi tampaknya (Name) masih setengah ikhlas.

Hari ini adalah hari pertama kembali masuk sekolah setelah liburan. Juga hari pertama bagi (Name) untuk menunggu bus yang menuju ke SMA Fukurodani. Dulu, di Miyagi, ia tidak perlu menunggu seperti ini. Hanya dengan berjalan kaki atau menaiki sepeda, ia akan sampai di SMA Karasuno, sekolah kesayangannya.

Ah, sepertinya (Name) masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa kini ia telah resmi menjadi murid kelas 2 di SMA Fukurodani.

Memang, jika dibandingkan dalam banyak hal, SMA Fukurodani jelas lebih unggul dibandingkan SMA Karasuno. Tapi, hati (Name) sudah terpaut pada SMA Karasuno dan klub voli putrinya, tempat ia selalu bisa bermain voli. Bagi (Name), voli sudah menjadi separuh jiwanya.

Kini, (Name) harus menerima kenyataan pahit bahwa SMA Fukurodani hanya memiliki klub voli putra. (Name) tidak bisa lagi bermain voli dengan tim. (Name) tidak bisa lagi mengikuti turnamen resmi. (Name) merasa kehilangan separuh jiwanya.

Sesaat kemudian, (Name) menyadari bahwa ada orang lain yang duduk tak jauh dari tempatnya. (Name) melepas pelukannya dari tiang besi, lalu melirik ke sebelahnya. (Name) mendapati seorang pemuda bersurai hitam pendek agak berantakan, dengan iris biru gelap di kedua mata yang dinaungi alis yang sedikit tebal.

Tunggu sebentar.

Rasanya (Name) tidak asing dengan wajah itu.

Saat (Name) akan memicingkan mata untuk mencoba mengenali pemuda tersebut, tiba-tiba saja sebuah bus yang datang menghampiri membuat (Name) batal melakukannya.

(Name) melihat pemuda itu naik ke dalam bus, sementara dirinya sendiri masih tetap bergeming di tempatnya.

Begitu bus kembali melaju, barulah (Name) menyadari satu hal.

"Mampus, telat."

***

Solace [Akaashi x Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang