Paginya, Matsuri membuka mata karena merasa asing. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit putih yang tinggi dengan sinar lampu putih terang. Pemandangan yang didapat ditempat yang jelas tidak murah. Saat bangkit, entah mengapa pundak Matsuri terasa berat seolah ia sedang memikul beban yang besar. Matsuri menekuk wajahnya dan mencari segelas air ketika menyadari tenggorokannya terasa kering.
Lelah sekali. Pikir Matsuri sambil berjalan terseok-seok.
"Selamat pagi,"
Langkah Matsuri membatu.
"Anda sudah bangun?"
Matsuri menengadah, "Ega-san?"
Pria yang tidak terlihat jelas itu mengangguk. "Saya membawakan makanan dan beberapa pakaian ganti untuk Anda."
"Oh," Matsuri menghela napasnya ketika jejak sakit yang dideritanya semalam mulai mengusiknya. Ah, apa yang bisa Matsuri harapkan? Bukankah jelas ia sudah tidak bisa lagi berharap? Untuk apa dia merasa kecewa dengan kehadiran Ega pagi itu?
"Terima kasih. Maaf merepotkanmu."
Pria itu menghidangkan sup yang masih mengepul ke meja makan. "Ini sudah kewajiban saya. Matsuri-sama, sarapan Anda sudah siap."
Meskipun tidak lapar Matsuri tetap berjalan menuju meja makan. Harum sup kentang daging memenuhi indra penciumannya. Ega meletakkan sumpit dan sendok di samping mangkuk berikut dengan segelas air. "Semoga sesuai dengan selera Anda." Katanya dengan penuh kesantunan.
Matsuri menoleh pada Ega yang membungkuk hormat padanya. Tidak sekalipun pria itu menatap matanya. Rasanya aneh karena Ega jelas jauh lebih tua daripada Matsuri. Tapi ini memang bukan pertama kalinya Matsuri diperlakukan bak putri. Semua etika penuh kesantunan sudah khatam Matsuri dapatkan. Dunia dimana seluruh tindakan adalah aturan. Mengingatnya, membuat lelah Matsuri berlipat ganda.
"Ini kartu nama saya." Pernyataan Ega membuat Matsuri tersentak dari lamunannya.
"Kartu nama?"
"Iya. Jika Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya."
"Eh? Ti,tidak usah. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Anda harus mengandalkan saya karena saya khawatir Anda tidak diperkenankan keluar ruangan untuk sementara waktu."
Mata Matsuri terilhat menerawang. "Begitu?"
Ega memandangnya kasihan seolah ingin meminta maaf, padahal hal itu bukan kesalahannya sama sekali. Matsuri buru-buru mengubah sinar matanya dan tersenyum pada sekertaris Negara tersebut. "Kalau begitu apa boleh buat. Sepertinya aku akan sangat merepotkanmu, Ega-san."
Mungkin cara bicara Matsuri yang seperti itulah yang membuat Ega sedikit lega. Wanita muda itu tersenyum dan kembali ceria dalam sekejap.
.
.
.
Walaupun merasa marah, kesal dan frustasi Gaara tetap tak bisa menemukan jalan keluar. Ini pertama kalinya ia tidak berdaya. Seolah semua jalan yang ia tempuh berujung buntu. Meskipun ia sudah memikirkan setiap langkahnya dengan matang, dirinya selalu kembali ke titik nol seolah sedang berputar di jalan yang melingkar.
"Kami merasa apa yang dilakukan Matsuri-sama tidak pantas. Ia wanita yang tidak bertanggung jawab."
"Mungkin benar apa yang dikatakan orang tua dahulu, bahwa pasangan harus dilihat bukan berdasarkan fisik saja melainkan juga dari latar belakang pendidikan, keluarga dan pengaruhnya. Jadi mungkin ini adalah pelajaran bagi kita untuk lebih selektif lagi dalam memilih pasangan Kazekage-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
All about Marriage
Fanfiction"Kalau boleh jujur, suamiku... sebenarnya untuk apa kita menikah jika kau tidak pernah berubah?" Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Matsuri untuk memahami sisi lain seorang Gaara-sama. Naruto (c) Kishimoto Masashi Repost from ffn.net