Sudah hampir seminggu Matsuri terbaring di bangsal rumah sakit untuk memulihkan kesehatan. Pemulihan berjalan lancar dan tidak terlalu menyakitkan setelah radang lambungnya membaik. Yang tersisa hanyalah rasa bosan yang sangat membosankan.
Tidak. Semua itu bohong.
Sakit di tubuh ataupun luka di lambung tidaklah parah. Tapi tubuh yang gemetar disertai keringat dingin, demam, otot kejang, nyeri serta hilang nafsu makan membuat proses pemulihan menjadi semakin panjang. Sepertinya bukan fisik, melainkan kejiwaanlah yang bermasalah. Bahkan dokterpun tidak bisa berbuat banyak untuk mengobatinya. Yang bisa memulihkan penyakit kejiwaan pasca trauma adalah pasien itu sendiri dan Matsuri tidak tahu bagaimana menanganinya meskipun ini bukan kali pertama dia mengalaminya.
Tiga belas tahun adalah usia saat pertama Matsuri mendapat gunjangan kejiwaan yang parah. Keluarganya mati tertembak peluru saat melindunginya. Perasaan bingung, rasa bersalah, sedih dan marah menggerogoti hati Matsuri untuk waktu beberapa tahun setelahnya. Waktu itu luka terserempet peluru tidak ada apa-apanya dibandingkan perasaan muak melihat orang-orang yang ia sebut kerabat sibuk berebut limpahan warisan alih-alih berduka atas kematian saudara mereka.
Sejak itu Matsuri menarik diri secara emosional dari dunia.
Lalu sekarang dirinya merasa malu. Malu karena tanpa sadar tubuhnya menginginkan perasaan terlelap dalam kegelapan yang abadi. Racun itu telah menggerogoti tubuhnya dan Matsuri malah mengamuk sepanjang hari agar mendapatkan racun tsb. Kecanduan fisik yang didorong oleh sisi emosional pecandu adalah kombinasi yang tidak mudah dihentikan.
Tentu saja, keinginan untuk memperoleh racun itu memudar perlahan bersama rasa frustasi yang membuat Matsuri merasa gila. Gila oleh rasa marah bercampur malu yang terus membesar menjadi depresi hingga akhirnya Matsuri mulai membenci dunia. Ia membenci dokter yang memaksanya tabah melalui rasa sakit ini. Ia membenci Shikamaru yang memergokinya dalam kondisi paling mengenaskan. Ia membenci para penculik yang membuatnya mengalami ini. Dan yang paling penting, Ia membenci Gaara yang bahkan sampai detik ini tidak pernah sekalipun menunjukkan batang hidungnya.
Hal yang mengerikan saat melawan depresi adalah menerima kenyataan bahwa satu-satunya orang yang menjadi harapan hidup untukmu bahkan tak ada di masa sulitmu. Ia sudah tidak peduli lagi padamu.
.
.
.
"Matsuri bahkan tak bergerak selama lebih dari lima jam!"
Jika depresi adalah penyakit menular, maka sudah dipastikan Temari tertular adik iparnya.
"Dia sedang melalui masa sulit jadi itu bukan hal yang aneh." Shikamaru menjawab dengan nada malas yang semakin meningkatkan rasa frustasi Temari.
"Kau bilang bukan hal yang aneh? Dia tidak bergerak Shika, TIDAK. BERGERAK."
"Itu wajar, dia sedang depresi. Kehilangan harapan hidup."
"Jadi maksudmu kehilangan harapan hidup itu wajar?"
Shikamaru menghela napas. "Bukan itu maksudku."
"Kau barusan yang bilang."
"Seseorang demam dan badannya panas. Apa menurutmu itu aneh? Tidak kan? Karena dia sedang demam makanya tubuhnya panas. Kalau tubuhnya tidak panas ia berarti tidak demam. Kau mengerti maksudku?"
Shikamaru tiba-tiba menyesal telah mengatakannya. Sial, wanita keras kepala itu sudah berhasil menjebaknya. Berpura-pura bodoh padahal ia sedang mendesak seseorang untuk melakukan sesuatu.
"Bukankah orang demam diberi obat agar panasnya turun?"
Iya, obat bagi pasien demam bisa ditemukan di apotek manapun di Suna. Tapi obat untuk depresi??
KAMU SEDANG MEMBACA
All about Marriage
Fanfiction"Kalau boleh jujur, suamiku... sebenarnya untuk apa kita menikah jika kau tidak pernah berubah?" Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Matsuri untuk memahami sisi lain seorang Gaara-sama. Naruto (c) Kishimoto Masashi Repost from ffn.net