-1-

21.6K 2.1K 96
                                    

Andai saja mengamuk dan mengumpat bisa melegakan hatinya, maka tak usah berpikir dua kali bagi Btari untuk melakukannya. Hanya saja ia tak bisa menunjukkan sisi kemarahannya secara terang-terangan di depan Kai. Tari ingin Kai memandangnya sebagai bundanya yang lemah lembut, bukan wanita bar-bar.

"Siapa tante tadi, Bun? Katanya Ayah lagi di Jogja?"

Sejenak Tari memandang ke arah putrinya. "Bunda nggak tau, Sayang. Mungkin temen ayah."

"Tapi kenapa Ayah ngusap perut tante itu?"

"Mungkin aja dedek yang di dalam perut pengen diusap sama ayah."

"Pengen deh liat Ayah usap perut Bunda yang bunder kayak gitu."

Pernyataan putrinya yang terakhir sungguh menohok Tari, Kai menginginkan seorang adik. Sungguh ia merasa sakit hati dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui.

Pernah suatu kali Tari mengungkapkan keinginannya memiliki momongan, setelah ditimbang-timbang jika umur Kai sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan sosok adik bayi. Sayangnya pria itu menolak keras keinginan Tari untuk hamil anak ke dua, alasannya karena tak ingin membagi kasih sayang. Fokus Pandu hanya ingin membahagiakan Kai, walau setiap kali anak itu merengek meminta adik pada ayahnya, tapi pria yang saat ini masih di dalam cafe itu mempunyai seribu cara untuk mengelak.

Lalu kini mendapati binar bahagia yang terpancar jelas, saat tangan besarnya itu mengusap lembut perut buncit wanita yang tak ia kenal membuat hati Tari pecah berkeping-keping.

"Bun, beli es krim dulu ya di Zangrandi." Permintaan Kai hanya bisa ia angguki, mengingat moodnya hari ini benar-benar terjun bebas sampai ke dasar jurang.

Sampai di rumah, Tari mendapati beberapa lampu di dalam ruangan rumahnya menyala.

"Ayah udah pulang, Bun?" Tari hanya mengendikkan bahunya, dan berjalan meninggalkan Kai yang berjalan menuju lantai dua.

"Dari mana aja sih, Bun. Ayah pulang kok rumah dalam keadaan sepi?" Tari menoleh sebentar dan melanjutkan kegiatannya menata belanjaan yang ia beli tadi bersama Kai.

Tari yang merasa letih jiwa dan raga, dalam diam menyiapkan makanan yang sengaja ia beli di luar. Karena mood memasaknya menguap begitu saja, setelah melihat pemandangan menyakitkan tadi siang.

"Pulang jam berapa tadi, Mas?" tanya Tari masih berkutat dengan bungkusan styrofoam berisi makanan seafood.

"Tadi, jam empatan," jawab Pandu yang masih sibuk membantu Tari menata belanjaan ke atas rak dapur.

Bohong! Teriak Tari dalam hati. Memejamkan matanya sebentar, guna mengusir segala bentuk kemarahan yang tertahan membuat tenggorokan Tari begitu sakit. "Mas makan aja dulu, aku mau mandi." Tanpa mendengar jawaban Pandu, Tari memilih pergi dari pada ia akan berteriak secara membabi buta nantinya.

Pandu hanya mengendikkan bahu dengan sifat Tari malam ini, mungkin saja istrinya itu sedang mengalami PMS. Bisa jadi karena akan kedatangan tamu bulanannya, membuat wanita yang ia nikahi hampir delapan tahun lalu itu uring-uringan.

Ah, wanita memang susah dimengerti.
.
.
.
Tari sedang memilih baju ganti, saat Pandu menutup pintu kamar mereka. Mendapati Tari yang hanya memakai handuk ketika selesai mandi, membuat Pandu tersenyum pongah.

Ia tak memungkiri, jika tubuh Tari tak banyak berubah semenjak mereka baru menikah hingga memiliki Kai. Ia tak menampik jika apa yang Tari suguhkan saat ini, tengah memancing hasrat yang sudah ia tahan selama empat hari kemarin karena tugas luar kotanya.

Tubuh Tari tersentak mendapti sepasang lengan Pandu melingkari pinggangnya yang hanya berbalut handuk. "Mas ...."

"Mas kangen kamu, Ri," sahut Pandu. Ia mulai menghidu leher jenjang Tari yang masih meninggalkan jejak basah, karena tetesan air dari sulur-sulur rambut panjang istrinya.

Sebelum Tari bereaksi atas cumbuannya pada leher dan bahu sang istri, tangan Pandu mulai bergerilya tanpa dikomando. Membuat Tari tak bisa mengelak lagi, apalagi begitu Pandu membuka ikatan handuknya yang terselip di dadanya.

Otaknya ingin ia menghentikan aktifitas yang tengah melecut hasratnya, tapi tubuhnya berkhianat. Hingga desahan itu lolos dari mulut Tari. Pandu tak lagi sungkan untuk membungkam bibir Tari yang mendesis, karena merespon permainan jemarinya di atas payudaranya yang telah membesar.

Semurah itu dirinya saat Pandu telah berhasil melecut libidonya bangkit, karena sejatinya itu juga salah satu kewajiban istri yang merupakan hak suami mendapatkannya.

Libido sialan!

Tari masih bergelung dalam pelukan Pandu, setelah mereka meraih puncak orgasmenya untuk kedua kalinya bagi Pandu.

Memincingkan mata, ia sudah mendapti gorden di kamarnya telah tersingkap sempurna. Menampilkan sinar orangye yang begitu terang, membuat Tari kesulitan mengatur arah pandangnya karena silau.

Bertumpuh pasa kedua siku yang ia tekuk di atas kasur, ia mulai memindai kemana suami itu berada. Kamar mereka rapi. Handuk yang semalam ia pakai, juga baju Pandu sudah tak terlihat di lantai. Ia bahkan menemukan baki yang berisi roti tangkup berisi selai kacang favoritnya, dengan kertas yang berisi agar ia memakannya. Sedangkan Pandu mengantarkan putri mereka ke sekolah.

Mata Tari membulat tak percaya mendapati jam dinding menunjukkan angka delapan pagi. pantas saja, ia bangun kesiangan.

Tubuhnya letih, karena gempuran Pandu semalam yang bermain dengan tak sabaran.

Setelah menghabiskan setengah jam di kamar mandi, Tari turun ke bawah dan mendapati rumahnya kosong. Menuju dapur, Tari meletakkan baki berisi piring dan cangkir kosong. Ia mendapati wastafel penuh dengan bekas penggorengan. juga piring kotor bekas semalam maupun pagi ini menumpuk di dalam bak wastafel.

Berniat mencuci perkakas dapur yang kotor, Tari berjengkit kaget mendapati dering ponsel yang ia yakini adalah milik Pandu. Karena ia sudah men-setting ponselnya dengan nada dering yang berbeda dengan milik Pandu.

Tari celingukan mencari asal suara, dan menemukan ponsel pintar keluaran negara Gingseng itu tergeletak di atas meja ruang tamu.

Saras? Dahi Tari mengkerut mendapati nama wanita yang tertera di layar ponsel suaminya.

Apa jangan-jangan Saras itu adalah nama wanita hamil yang kemarin Pandu temui. Bukankah seharusnya pria berstatus suami pulang dulu ke rumah, ini malah memilih menemui wanita selingkuhanya.

Brengsek!

Hati Tari kembali bergolak, kali ini ia tak bisa membendung kemarahan yang sudah ia tahan sedari kemarin siang.

Bibit pelakor harus segera dibasmi, sebelum mengerogoti dan menyebar secara diam-diam namun berdampak dahsyat.

Tari menghembuskan napasnya melihat wanita itu berhenti menghubungi suaminya, tapi ia kembali melotot melihat nama Saras kembali terlihat di layar ponsel Pandu.

Menggeser tombol Hijau, Tari sudah disambut dengan pekikan manja yang jelas sangat menyakiti gendang telinganya.

"Pokoknya kamu harus ke sini, Mas. Aku butuh kamu."

What the hell! Apa maksudnya wanita itu butuh suaminya?

★✩★✩★✩★✩
Surabaya, 02/12/2018
-Dean Akhmad-

Revisi 10/10/2019

Terjebak PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang