-4-

8.6K 1.4K 106
                                    

Setelah acara drama tadi pagi, Tari tak bisa begitu saja percaya dengan ucapan Pandu. Jika benar Saras adalah keponakan Paklek Budi kenapa ia sama sekali tak pernah mengetahuinya?

Selama ia berada di Jogja, Tari hanya tahu Ajeng dan Danu sebagai anak Paklek Budi. Sedangkan yang ia tahu ibu mertuanya adalah anak tunggal, dan ayah Pandu hanya memiliki Budhe Mira—istri Paklek Budi—sebagai adiknya.

Lalu siapa Saras?

Genggaman tangan yang mengerat, menyadarkan Tari dari lamunannya. Tari sendiri masih tak percaya jika Pandu membawanya untuk bertemu Saras. Dari penuturan suaminya, Saras melahirkan secara operasi ceasar karena benturan ketika terjatuh di kamar mandi. Anaknya jelas lahir prematur, meski kondisi ibunya baik-baik saja pasca operasi.

"Mas Pandu, kamu datang." Suara lembut nan manja menyapu telinga Tari begitu pintu rawat inap terbuka.

Dari balik punggung Pandu, Tari bisa melihat jika wanita yang tengh duduk bersandar di brangkar rumah sakit tengah tersenyum manis. 

Senyum ramah Saras masih tersungging meski raut ketidaksukaan terlihat samar di mata Tari, kala Pandu menarik tangannya untuk mendekat ke arah Saras.

"Siapa, Mas?"

"Btari Sumoharjo, Istriku!"

"Hai, Btari. Akhirnya kita ketemu." Tari menerima juluran tangan Saras dengan senyum ramah yang masih tersungging. "Mas Pandu sering cerita soal kamu ke aku."

Mas? Tari merasa tak terima ada wanita lain yang memanggil Pandu dengan sebutan 'Mas'. Walaupun ia tahu, panggilan mas terhadap pria yang lebih dewasa darinya adalah hal lumrah. Apalagi melihat Pandu yang berasal dari Jogja hampir semua wanita yang lebih muda memanggil Pandu dengan sebutan mas.

Apa tadi? Sering? Seberapa sering mereka bertemu, hingga suaminya ini sering menceritakan tentang dirinya. Jadi ... pertemuan di cafe tempo hari adalah kesekian kalinya mereka bertemu? Ya Tuhan!

"Gimana kabarnya, Mbak Saras?" Tari berusaha basa-basi.

"Cukup baik. Cuma bekas jaitan operasinya masih kerasa ngilu."

"Gimana, Naira?"

"Masih di Nicu, Mas. Kata dokter keadaan udah mulai membaik."

"Kamu yang sabar, ya. Naira pasti baik-baik aja." Tari terbelalak sejenak melihat Pandu mengusap lembut puncak kepala Saras dan mengecup keningnya lembut.

Saras jelas melirik ke arah Tari yang memilih untuk mengalihkan pandangannya keluar jendela. Hati Tari teremas kuat melihat perlakuan manis yang Pandu berikan pada Saras. Siapa Saras hingga mendapat perlakuan yang sama seperti Pandu berikan padanya? Tidaklah pria ini menyadari jika wanita yang ia nikahi masih ada di samping, lalu seenaknya saja mereka mempertontonkan adegan mesra di depannya.

"Mas, ada istrimu." Seakan baru menyadari lirihan Saras. Pandu kembali menegakkan tubuhnya dan memandang Tari yang menatap lurus keluar jendela.

Ini kedua kalinya ia melihat wanita yang sudah membuat Pandu melupakan janjinya pada sang putri. Kali ini ia bisa melihat jelas bagaimana rupa Saras.

Satu kata yang disimpulkan Tari. Cantik.

Walau masih sedikit pucat, Tari mengakui jika Saras masihlah terlihat menawan. Melihat bagaimana bentuk fisiknya secara dekat jelas membuat Tari minder, saras itu: mempunyai rambut panjang dan ikal pada ujungnya, berhidung mancung dan berdagu lancip. Jangan lupakan bulu mata lentik juga alis rapi yang begitu sempurna membingkai wajahnya. Melihatnya sebentar saja, Tari bisa menilai jika Saras termasuk wanita yang terlihat kalem dan lemah lembut.

Sedangkan dirinya ... jauh dari kata lemah lembut dan kalem. Tari justru risih dengan rambut panjangnya, jika saja Pandu tak memintanya untuk memanjangkan rambutnya. Iya ... Pandu menyukai wanita berambut panjang.

Binar itu kembali Tari lihat, walau hanya sebentar. Tapi ia tahu betul jika suaminya itu terlihat bahagia berada di dekat Saras. Lalu apa gunanya ia berada di sini layaknya kambing congek yang melihat adegan tatap-tatapan ala ABG puber. Tari tak buta jika Saras juga memunculkan binar yang sama terhadap Pandu.

Terdengar retakan tak kasat mata dalam dada Tari, yang ia yakinin adalah hatinya. Lima tahun berumah tangga Tari melihat binar itu ditujukan untuk wanita lain namun bukan untuk dirinya.

Lalu apa arti dirinya selama ini?

Keheningan melingkupi mereka berdua selama perjalanan kembali pulang, terlalu malas bagi Tari untuk berbasa-basi busuk. Ia hanya ingin mendinginkan kepalanya.

Pandu beberapa kali melirik Tari yang sedari tadi pandangannya lurus ke depan tapi tampak kosong. Biasanya Tari selalu berceloteh dari apa yang ia kerjakan sehari-hari sampai mengomentari apa saja yang ia lihat sepanjang perjalanan.

Semenjak keluar dari kamar rawat Saras, istrinya lebih banyak diam dan terlihat melamun. Entah apa yang dilamunkannya.

Tari hampir saja meloncat dari tempat duduknya, tatkala mobil berhenti di carport tanpa menghiraukan Pandu yang memanggil namanya sebelum dirinya memarkir mobilnya dengan benar.

Pandu melihat Tari sedang menenggak habis air dingin dalam botol dan menaruhnya dengan sembarangan di atas meja.

"Kamu kenapa sih, Ri?" tanya Pandu menarik lengan Tari agar menghadap ke arahnya.

"Aku haus!"

"Kamu diem aja dari tadi?"

Tari menggeram pelan mendapati suaminya tak peka sama sekali atas kecemburuannya. "Lalu aku harus gimana, Mas? Teriak-teriak kayak orang gila?"

"Semenjak pulang dari jenguk Saras kamu jadi pendiem. Mas harus balik ke rumah sakit, Ri. Masih ada yang harus mas urus untuk Naira"

Telinga Tari berdengin begitu Pandu mengucapkan nama wanita itu, ingin sekali ia mengharamkan Pandu menyebut nama itu.

"Kenapa harus kamu, Mas?"

"Nggak ada yang ngurus Saras, Ri. Dia sendirian di Jakarta. Kalo bukan Mas lalu siapa lagi?"

"Kemana orang tuanya? Atau saudaranya yang lain? Dia nggak mungkin idup sebatang kara di dunia ini?"

"Saras anak tunggal. Dia nggak punya sodara lain, orangtuanya meninggal waktu ia menikah dengan suaminya."

Ingin rasanya Tari mencabik-cabik Pandu saat ini.

"Kemana mertuanya? Apa mertuanya tak diberitahu kalo cucunya udah lahir? Trus kenapa paklek Budi nggak dikabari, bukannya dia keponakannya?" Cecar Tari tak terima.

"Mas belum ngasih kabar ke paklek Budi
Kalo untuk mertuanya Saras, mas sama sekali nggak tahu di mana mereka. Saras nggak cerita."

Tari menghembuskan napas lelahnya, ia menyerah untuk terus berargumen dengan Pandu.

Melihat itu Pandu menangkup wajah Tari dan mengecup kening Tari. "Mas janji nggak bakalan lama. Mas udah janji sama Kai sepulang sekolah ngajakin dia jalan-jalan, sebagai permintaanmaafku karena melupakan acaranya kemarin." Mengecup kening Tari sekali lagi, Pandu kemudian beranjak pergi meninggalkan Tari yang berdiri lunglai di tempatnya.

Selalu saja seperti ini. Sampai kapan hatinya akan luluh hanya karena sikap lembut Pandu padanya. Ternyata mencintai itu semenyedihkan ini.

🍁🍁🍁🍁

Sidoarjo, 30 Oktober 2019
-Dean Akhmad-

Terjebak PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang