Dear, My Lovely Friend.
Raymon Walcott.Mungkin kita memang akan selamanya hanya akan menjadi seorang sahabat baik. Aku sudah sangat lama berusaha untuk bisa menjadi yang terbaik dan sempurna. Agar bisa sedikit saja bisa mencuri perhatianmu. Tapi, aku rasa semuanya memang sia-sia. Aku sudah sangat bersalah karena telah memaksamu untuk meniduriku, Ray. Awalnya aku fikir. Mungkin bila aku mengandung anakmu. Kau bisa sedikit memberiku satu kesempatan saja. Meski itu semua kau lakukan demi anak ini. Tapi, ternyata tadi. Aku baru saja menyadarinya, Ray. Bahwa cintamu pada Agatha Stewart begitu kuat, hingga bisa mengalahkan nafsu liarmu selama ini padaku. Maka dari itu. Aku harap kau bisa memainkan permainan yang sudah aku buat ini dengan baik. Ingat! Jangan sampai keceplosan, yah? Kau harus bisa menyimpan rahasia. Jadi, aku harap dengan adanya kejadian seperti ini. Kau akan berubah menjadi sosok Pedro Davinci yang angkuh dan penuh rahasia. Kemudian bisa menikah dan hidup bahagia bersama Athamu itu. Kalian berdua. Memang pasangan serasi sejak dulu. Aku saja yang jahat karena selalu mengganggumu. Untuk El Nino, aku akan merawatnya dengan baik, Ray. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan aku dan Pedro Davinci yah? Aku juga akan mencari pengobatan hipnoterapy terbaik di benua lain. Agar semua kisah masa lalunya benar-benar tak bisa lagi kembali. Kau harusnya berterima kasih padaku, kan? Hehehe... Kau ini. Ayo cepat berterima kasihlah sekarang. Hihini... Jadi kau harus bahagia yah, Ray? Bila kau bahagia? Sahabat terbaik mu ini, juga akan berusaha hidup bahagia. Okey?
*ayo senyum. Hehehe* Oh, iyah. Mobil teman mu. Sudah ia ambil tadi. Kata lelaki itu. Ia ingin menjemput kekasihnya. Bye, Ray. Aku pergi...
I LOVE YOU SO MUCHYour Best Friend,
Lusia Morgan.💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔
"ARRGGGHHHHHH... BRRRUUUGHHH... PRAAANGGG..."
Raymon Walcott. Berteriak seperti manusia tidak waras di dalam rumah tua peninggalan kedua orang tuanya itu, setelah ia selesai membaca secarik kertas berisi kata-kata dari Lusia Morgan.
"LUUUCCYYYY... ARRRGGHHHH... Bagaimana ini bisa terjadi, Honey? Bagaimana bisa kau pergi meninggalkan aku seperti ini. ARRRGGHHHH... PRRAAANNGGG... Aku baru menyadarinya, Lucy! Aku baru menyadari jika aku sangat membutuhkanmu. KAU PERGI KE MAANAAA... LUUSSIIAA... MOORGAANN...? KEEMBAALIII... KEMBAALIII... DAN JANGAN PERGI LAGI, HONEYYY... AARRGHHH... HAAGGG... HAAGGG... HAAGGG... Kita akan membesarkan El Nino bersama-sama, Lucy. AYO KITA MENIKAHHH...! HANYA AKU YANG BOLEH MEMILIKIMU, HONEEYY... KEMAANAAA... KAUUU... PERGIII... DENGAN SI BRENGSEK ITUUU... AARRGHHH...!"
Kilatan lidah api. Seolah kian berdatangan dan siap memanggang seorang Raymon Walcott hidup-hidup saat itu juga. Tubuh bergetarnya pelan tapi pasti lantas jatuh terduduk ke lantai kayu rumah tua tersebut, dan pikiran jelas saat ini sudah sama seperti jalan buntu. Yang sama sekali tak bisa ia lewati karena sebuah tembok pemisah, telah berdiri kokoh di depan matanya. Ingin ia menangis. Tapi entah mengapa air di dalam kelopak matanya sama sekali tidak bisa keluar sama sekali, sehingga segala penyesalan hanya bisa ia keluarkan dalam bentuk amukan. Pada benda mati yang kini sudah jatuh berserakan dalam ruang tamu kecil tersebut.
"Malang sekali nasib pemuda ini. Hahhh... Aku berharap. Lain kali, aku tak lagi melihat kejadian seperti ini lagi dalam hidupku. Rasa-rasanya aku seperti melihat pantulan diriku sendiri." batin sang Driver yang sejak tadi menemani Raymon.
Pria paruh baya itu lantas pergi, tanpa meminta ongkos atas jasanya yang sudah mengantarkan Raymon pulang. Sementara Raymon? Ia mengambil ponsel pintar miliknya. Mencari nomor kontak Lusia Morgan dan terus berusaha agar bisa mendengarkan suara sang pujaan hati. Namun hasilnya? Nihil. Suara operator telepon yang menyuruhnya menelpon beberapa saat lagi, pun terus berulang kali ia dengar. Ketika tangannya juga terus mencoba menelpon Lusia. Lagi, lagi dan lagi.
"Lucyyy... Apa kau benar-benar sudah tak peduli lagi denganku, Honey? Apa tak bisa kau memberi ku maaf hingga kau harus pergi dari ku seperti ini? Aktifkan nomor ponsel mu, Lucy. Jangan seperti iniiii... Pleaaseee..."
Sedang ditempat lain, tepatnya dalam sebuah gerbong kereta api bawah tanah? Lusia Morgan sedang duduk dengan pandangan kosong. Menatap ke arah depan. Tak tahu apa yang sedang ia lamunkan. Namun yang pasti siang menjelang sore itu. Jalur keberangkatan kereta tersebut adalah menuju ke Kota industri di Britania Raya. Sekaligus Kota yang pertama kali membuat sebuah stasiun kereta api, Manchester.
Yah, Lusia memilih pergi ke sana menggunakan jasa kereta api bawah tanah. Karena takut orang-orang suruhan Adam atau yang lainnya. Dapat mengenali dan mengetahui. Jika Pedro Davinci, sang Mafia perjudian terkenal di dunia hitam London itu masih hidup dan kini bersama dengannya. Jujur saja, dari kedalaman hati Lusia? Ia sangat ingin mengembalikan Pedro pada keluarganya. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari pintu kayu rumah tua di peternakan domba tadi sekelebat bayangan tentang bagaimana reaksi Raymon Walcott yang mendengar tentang berita kritisnya Agatha Stewart terus saja menari-nari dalam pikirannya. Pada akhirnya ia mengurungkan niatan tersebut, Lantas dengan cepat ia menyuruh taxy yang membawa mereka berdua berputar arah menuju ke stasiun kereta bawah tanah dan ia pun memilih pergi ke Kota Manchester. Disana ada sebuah Mansion kecil yang sangat terbengkalai. Warisan dari Mendiang Nenek yang telah melahirkan Mendiang Ibunya.
Sebenarnya ia sangat ingin pergi menemui Moses Morgan. Lelaki itu adalah Ayah kandung Lusia, yang sudah sekitar lima tahun lalu menikah dan tinggal bersama Ibu tirinya di kota Chelsea. Hanya saja, ketika ia mengingat bagaimana perlakuan wanita kedua sang Ayah itu padanya, ditambah dengan ia sedang membawa Pedro Davinci dan juga berita tentang Embrio kecil yang kini sedang ia kandung? Maka perihal tentang Moses Morgan pun membuat Lucy benar-benar berpikir jutaan kali untuk pergi dan tinggal di kota Chelsea, kendati mereka berdua selalu saja berkomunikasi dengan baik.
Untungnya saat ia membersihkan luka bakar disisi kiri wajah Pedro Davinci kemarin. Ia sempat memasang kain perban dipipi sang tampan itu. Jadi saat ia pergi dari rumah tadi, Pedro hanya tinggal ia pakaikan jaket besar milik Raymon, hingga bagian penutup kepala di jaket tersebut dapat ia tutup tutupkan di kepala Pedro. Jika tidak demikian? Jalan satu-satunya yang ditempuh Lucy adalah membungkus seluruh wajah tampan lelaki malang itu dengan kain perban, lalu ia tinggal membuat sebuah alasan jika wajah Pedro tak boleh terkena debu. Untuk meyakinkannya.
"Kau, ingin apa? Egh, apa kau tidak lapar? Kau ingin soft drink atau roti isi itu? Bukannya sejak tadi kau sama sekali tidak makan? Makanan yang kau beli tadi saja sudah aku habiskan semuanya. Bukankah kau sedang mengandung anak kita? Apa dia tidak kenapa-napa bila kau kau tak makan?" tegur Pedro tiba-tiba.
Damn it! Lusia Morgan sangat terkejut seketika itu, hingga ia pun dengan cepat melihat ke arah telunjuk Pedro Davinci yang sedang terarah pada seorang wanita dengan beberapa barang dagangan. Pandangan matanya lalu kembali mengarah pada Pedro Deavinci, ketika ia mengingat lelaki itu mengucapkan kata 'Anak kita'.
"Hiksss... Hiksss... Hiksss..."
Maka pecahlah sudah bendungan
air yamg sudah sedari tadi ia tahan, ketika ia mengingat si Ayah biologis dari Embrio kecil dalam perutnya. Sementara Pedro yang bingung dengan sikap Lucy dengan cepat berjalan dan menghampiri pedagang wanita itu tanpa memedulikan tatapan aneh orang-orang diselitar kereta, yang mungkin mengira Pedro telah berbuat jahat karena isak tangis Lusia. Pedro Berkomunikasi dengan inti omongan ingin membeli beberapa makanan dan minuman tersebut, karena merasa Isterinya menangis akibat embrio dalam perut Lucy sudah sangat lapar akibat kesalahannya yang menghabiskan semua jatah makan siang Lucy.
Maka semakin kencang pula Lusia menagis di kursi kereta tersebut, karena sekali lagi ia mengingat betapa seharusnya Raymon Walcott lah yang melakukan untuknya. Bukan seorang Pedro Davinci yang jelas-jelas bukan Ayah dari Embrio kecil yang berada dalam kandungannya.
"Heiii... Diamlah. Kau menagis karena lapar 'kan? Apa kata-kata ku tadi terlalu menyinggung perasaanmu? Lihat ini, ibu tadi memberinya secara cuma-cuma. Aku pikir dia berjualan disini. Tapi ternyata ini ia beli untuk Anak-anak dan Suaminya di Manchester. Jadi, Ayo makanlah ehmmm Sch--"
"Lusia Morgan! Namaku Lusia Morgan dan Namamu Nino Fernandez!"
"Ach... Ya. Ini, Lus... Lusia."
Pedro Davinci terlihat sangat perhatian, kikuk dan juga bingung dalam waktu yang bersamaan. Sebab sekelebat tulisan 'Schatzi', entah bagaimana bisa sampai berada dalam pikiran disertai dengan pita suaranya yang juga hampir melontarkan nama tersebut. Tapi rupanya tulisan tadi tadi lamat-lamat semakin mengabur menjadi seperti sebuah bayangan serupa klise foto berwarna hitam keabu-abuan dan membuat pusaran seperti sebuah segitiga bermuda terus berputar kencang di kepala pemuda dengan clan Davinci itu. Maka tak lama kemudian sebuah teriakan histeris pun pada akhirnya terjadi seketika itu juga. Dengan tubuh besar Pedro yang jatuh terduduk ke lantai besi gerbong kereta.
"AARRGHHH.... APAAA.... INIIII... AARRGHHH... SAAKIITTTT... HAAAHHHH.... SAAKITTT... LUUUCYYY... SAAAKIIITTT... AARRGHHH..." rintih Pedro sekeras mungkin.
Terang saja Lusia Morgan panik dan ketakukan ketika melihat bagaimana Pedro yang sedang berhisteris memegangi kepalanya.
"PED-- NIN... NIINOOOO... NIINNN... KAUUU... KENAAAPAAA... NIIINOOOO... AP...APAAA... YANGGG... SAAKITTT... TOOOLOOONGGG... HIKSSS... HIKSSS... SESEORANG DI SINI TOLONGGG... AKUUU... MENGANGKATNYA KE ATAS TEMPAT DUDUK INIII...!"
Lusia Morgan benar-benar sangat mengerti jika Pedro Davinci pasti sedang mengalami masa dimana sebuah 'devaju' datang dalam pikirannya. Sehingga sakit di kepalanya semakin kuat menyerang akibat dari ia yang memaksakan kehendaknya untuk mengingat klise hitam putih tadi. Ia seorang Dokter kecantikan, yang sebelum menerima gelar spesialisnya? Tentu juga adalah seorang Dokter umum yang menangani beberapa penyakit lain, serta sangat tahu mengapa Pedro sampai mengalami hal demikian. Maka dengan masih terus berusaha meminta pertolongan pada beberapa orang yang berada dalam gerbong kereta yang sama dengannya, Lucy pun berusaha semaksimal mungkin. Untuk membuat Pedro Davinci tenang. Meski sama sekali tidak lantas bisa membuat rasa sakit itu hilang seketika.
"BERHENTI MEMAKSA UNTUK MENGINGAT SEMUA BAYANGAN YANG DATANG DALAM PIKIRANMU, NINOOO... KONDISI TUBUHMU SEDANG TIDAK BAIK SAAT INI. BIARKAN INGATAN ITU DATANG DENGAN SENDIRINYA NANTI. JIKA KAU TERLALU MEMAKSA? AKU TAK BISA MENJAMIN SUSUNAN SARAF OTAK MU YANG LAIN AKAN BERFUNGSI DENGAN BAIK ATAU TIDAK NANTIII... STOOPPP... NIINOOO... STOOOPPP..."
Suara teriakkan Lusia Morgan terdengar sangat keras dan menggema dalam gerbong kereta bawah tanah itu, karena sejujurnya ia mulai merasa panik dengan apa yang terjadi dengan Pedro Davinci. Tubuhnya pun tak kalah bergetar dengan nafas tersengal-sengal akibat berteriak sekencang itu, sedang para penumpang lain? Mungkin juga merasakan sebuah ketegangan yang sama layaknya wanita hamil tersebut. Sehingga yang terjadi saat ini, beberapa suara isak tangis begitu terdengar jelas di indera pendengaran Lucy, namun pastinya suara isak tangis itu tidak keluar dari pita suaranya. Karena tak enak hati dengan penumpang kereta disana, Lucy pun mencoba sekali lagi berusaha untuk menenangkan Pedro Davinci. Kali ini mencoba untuk menyentuh tubuh lelaki itu. Tapi baru saja telapak tangannya menyentuh kening datar sang lelaki yang ia beri nama Nino Fernandez itu. Tiba-tiba saja sebuah pelukan erat dari tubuh besar Pedro nyatanya sudah mendarat di tubuh kecil Lusia Morgan dan membuatnya kaku tak dapat bergerak.
"AKUUU... SANGATTT... MENCINTAIIII... MUUU... SCHATZHIIII... JANGAANN... PERGI LAGI DARII... KUUU... APAPUN YANG TERJADI? KITA AKAN SELALU BERSAMA MEMBESARKAN CALON BAYI KITA, SCHATZIIII... AKU AKAN BEKERJA SEKERAS APA PUN!!! DEMI BISA MEMBAHAGIAKAN KELUARGA KECIL KITA. YAHHH....! AKUUU... JANJI, SCHATZIII... AKUU... JANJIIII...! CUPPP..."
Bahkan ia pun mendapat sebuah kecupan hangat dan sebegitu lamanya dipuncak kepala disertai serangkaian kata-kata yang super romantis. Lusia Morgan, sang wanita hamil semakin dan semakin tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan hatinya dan ia pun menangis sesenggukkan, memukul kecil dada bidang Pedro Davinci yang memeluknya dengan sangat erat dan berkata-kata dalam hati kecilnya.
"Rayyyy... Dia bahkan sudah benar-benar mengira Aku adalah Agatha, Ray. Dia juga sangat mencintai Atha mu. Mengapa tak kau biarkan saja lelaki ini yang memiliki wanita itu agar aku bisa sekali lagi berusaha untuk bisa memilikimu, Rayyyyy.... KENAAAPPPAA.... RAYMON WALCOTT? KENAPAA... KAU SELALU JAHAT PADA KU DAN TIDAK BISA BERTINGKAH MANIS SEPERTI LELAKI INI? Hiksss... Hiksss... Hiksss... Aku Mencintaimu, Ray. Aku terlalu amat sangat ingin memilikimu. Menjadi wanita yang selalu ada hingga kau menua nanti. Apa aku salah, Rayyy? APA AKU SALAHHH?"💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
MANCHESTER, LOVE & TEARS [END]
RomanceKonflik hati, terasa semakin pelik mana kala segala cobaan yang datang menerpa kedalaman perasaan, sama sekali tak bisa dipecahkan dengan baik. Rasa egoisme tinggi, ditambah sebuah konspirasi congkak demi kepentingan logika dan kesenangan mata duni...