"Oh, My God!!! Peeeedd... Pedrooo... Da...viinnciii...!!! Baaa... Bagaaai...manaaa... Ka..aauu... bisa hidup keee..kemmm... baaallii..?"
Suara itu terdengar begitu bergetar. Bahkan senter yang dipegang oleh Adam Lewis, pun kembali jatuh ke tanah hingga membuat benda itu tak bisa menyala lagi. Tak ayal, sang pemilik barang pun sedikit menggerutu akibat ulah dari lelaki yang sama sekali tidak ia kenal.
"Sial, bagaimana aku mencari pemantik jika senter ini tak lagi bisa menyala? Heiii... Kau ini siapa? Mengapa kau merusak barang yang bukan milik mu? Aku kan sudah minta maaf. Aku tidak sengaja menabrak mu karena ingin meminjam pemantik pada tetangga rumah ku. Bukankah tak ada satu anggota tubuh mu yang terluka karena tabrakan tadi? Lalu mengapa kau jahat sekali? Apa kau tak takut dosa karena telah dengan sengaja berbuat jahat? Bagaimana jika orang memiliki barang itu adalah seseorang yang hidup miskin dan tak memiliki pekerjaan apa pun? Apa kau tak merasa kasihan karena merusak sesuatu yang berharga miliknya?"
"Deggg..."
Jantung sang 'Malaikat Kematian', terang saja berdegup kencang seperti sebuah genderang perang yang ditabuh keras dan kencang seketika itu juga. Ia merasa ada sebuah telapak tangan besar yang menampar wajahnya, saat lelaki yang ia sebut sebagai Pedro Davinci itu berkata seperti tadi.
Pikirannya melayang pada semua perbuatan jahat yang ia lakukan saat merampas semua harta benda orang-orang berhutang di meja cassino miliknya, membayangkan memperkosa beberapa anak gadis yang dipakai para Ayah bejat untuk membayar hutang juga yang lebih mencekat pangkal tenggorokannya hingga seketika menjadi sulit meneguk salivanya sendiri adalah saat ia menyiksa Agatha Stewart di Kastil hutan Bloomington, hingga wanita itu keguguran dan kehilangan bayi malang yang tak berdosa.
"Hei, apa kau bisa mendengar ku? Kau punya pemantik tidak? Isteri ku sudah kegelapan menunggu di dalam rumah. Kau juga sudah merusak senter ku. Jadi jika kau punya pemantik? Berikan benda itu pada ku cepat?" ucap Pedro Davinci membuyarkan lamunan Adam Lewis.
"Eggghhh... Apa kata mu?"
"Astaga!!! Kau ini tuli atau bagaimana? Aku sudahlah kembalikan senter milik ku!!!" ujar Pedro sembari merebut benda miliknya. "Kau seperti manusia stupid yang benar-benar tak berguna. Di tanya malah diam seperti orang bisu. Jika lain kali kau yang ada diposisi ku yang akan menjadi calon Ayah dan memiliki Isteri yang sedang mengandung, aku sangat yakin kau akan selalu melihat Isteri mu menangis karena tingkah mu yang stupid itu. MENYINGKIR, CEPAT!!! Aku mau lewat. Oh, My God! Semoga aku tak bertemu dengan orang menyebalkan seperti itu lagi nanti. Ckckckkk..." tambahnya sembari berjalan menjauh dari pandangan mata Adam Lewis.
Hal tersebut terang saja membuat sang 'Malaikat Kematian' kesal setengah mati. Ia diam karena mencoba menyakinkan dirinya apakah benar pria pemilik senter tadi adalah Pedro Davinci, tapi malah dianggap lelaki bodoh dan tolol. Belum lagi saat Adam mencoba mengingat semua kata-kata yang menjelaskan tentang kehamilan dan calon Ayah. Semakin terlihat sangat ling lung lah Adam saat itu. Namun karena tiba-tiba saja suara notifikasi ponsel pintarnya berbunyi dan menandakan ada sebuah pesan masuk, maka ia berusaha tak lagi memusingkan masalah wajah lelaki yang mirip sekali dengan Pedro Davinci tadi. Karena dalam hati Adam berpikir cepat, jika besok ia harus menyuruh Ruben dan Mike mencari tau tentang orang itu untuknya.
"Adam, kau dimana? Jangan lupa yah dengan janji makan malamnya. Kalkun panggang yang kau minta sudah aku buatkan untuk mu. Akan ku kirimkan gambarnya setelah ia matang sekitar sepuluh menit lagi. Hati-hati dijalan. Winter storm bisa menerbangkan mu nanti 😊😊😊"
KAMU SEDANG MEMBACA
MANCHESTER, LOVE & TEARS [END]
RomanceKonflik hati, terasa semakin pelik mana kala segala cobaan yang datang menerpa kedalaman perasaan, sama sekali tak bisa dipecahkan dengan baik. Rasa egoisme tinggi, ditambah sebuah konspirasi congkak demi kepentingan logika dan kesenangan mata duni...