1. Menjemput Kelinci Kecil

102 5 0
                                    

Orang bilang bahwa penjahat yang benar-benar jahat, atau dengan kata lain, penjahat yang sempurna, adalah penjahat yang bisa mengelabui semua orang untuk percaya bahwa bukan dia penjahatnya, dan memutar-balikkan fakta bahwa orang baik-lah yang jadi penjahatnya. Atau setidaknya mendekati hal itu, karena orang pun juga bilang bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, yang ada hanyalah kejahatan yang ditutup-tutupi dan dibumbui sedemikian rupa, sehingga tidak ada orang yang menyadari bahwa kejahatan itu tengah berlangsung di depan mata mereka.
Apakah Cheung kecil juga menyadari hal itu ketika dua orang yang menyebut diri mereka “paman dan bibimu dari Taiwan” datang ke apartemen yang ia tinggali bersama dengan kakak perempuannya? Cheung masih terlalu kecil untuk memahaminya, setidaknya itu dugaan mereka. Bocah berumur 8 tahun itu sepertinya masih terlalu kecil untuk menyadarinya. Ia juga masih terlalu kecil untuk memahami kehilangan kedua orangtuanya, sekitar 4 tahun yang lalu. Saat itu kakak perempuan satu-satunya juga baru beranjak remaja, namun setidaknya ia bisa menyadari apa yang akan berubah dalam kehidupan mereka sejak saat itu.
“Ayah dan ibu tidak ada lagi bersama kita... kini hanya tinggal kau dan aku.” Itu yang gadis remaja itu katakan ke adik laki-lakinya saat mereka pada akhirnya harus menyebarkan abu kedua orangtua mereka dari puncak bukit yang menghadap ke laut selatan. Sungguh tragis dan mendadak kepergian kedua orangtua mereka, akibat sebuah mobil yang dikendarai oleh supir yang mabuk tiba-tiba menabrak dua orang pejalan kaki – yang tak lain adalah kedua orangtua mereka itu. Kasus ini pun ditangani polisi, namun pada akhirnya mereka – Cheung kecil dan kakak perempuannya – harus puas dengan kompensasi yang diberikan oleh keluarga si penabrak, yang ternyata adalah seorang bos mafia yang cukup disegani di Tsimshatsui  dan sekitarnya. Tsimshatsui adalah nama sebuah daerah di Hongkong, di bagian selatan semenanjung Kowloon yang terkenal dengan daerah turis dan komersial. Perjanjian kompensasi itu menyatakan bahwa Cheung kecil dan kakak perempuannya akan mendapatkan sokongan dana sebesar 2.000 dolar Hongkong tiap bulan, dan mereka bisa menempati apartemen mereka secara cuma-cuma, di samping biaya pendidikan untuk Cheung kecil dan kakak perempuannya sampai masing-masing dari mereka lulus sekolah menengah.
Kini sang kakak sudah lulus sekolah menengah, dan gadis 18 tahun itu memilih untuk bekerja sebagai sales promotion girl di sebuah toko perhiasan di daerah Mongkok, daerah yang terkenal dengan butik-butik ternama dan pasar malamnya. Kecantikan gadis yang sedang beranjak dewasa itu membuatnya mudah diterima di mana saja, sekaligus mengantarkannya ke pelukan berbagai pria hidung belang. Sudah jadi hal biasa bagi Cheung kecil untuk melihat kakaknya pulang dalam keadaan mabuk, memuntahkan isi perutnya ke lantai apartemen mereka yang sempit itu, dan Cheung harus membersihkan muntahan kakaknya yang berceceran ke mana-mana. Bukan hal yang asing juga bagi Cheung kecil ketika kakaknya pulang membawa seorang laki-laki asing yang berganti-ganti, atau suara-suara lenguhan aneh dari dalam kamar kakak perempuannya. “Seragammu sudah usang, belilah yang baru.” atau “Nanti sepulang sekolah kau boleh pergi main video game dengan teman-temanmu.” menjadi kata-kata yang diucapkan kakaknya keesokan harinya sambil menyodorkan uang 50 atau 100 dolar padanya. Cheung tak pernah berani menanyakan asal uang itu pada kakaknya, yang sejak kematian kedua orangtua mereka menjadi seorang gadis pemurung yang suka marah-marah tanpa alasan.
Namun meskipun kakaknya sering memarahinya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi selama hampir 2 jam ketika Cheung tak sengaja menumpahkan susu coklatnya ke baju kakak perempuannya itu, Cheung selalu menyayangi kakaknya itu. Hanya ia satu-satunya keluarga yang kumiliki, itu yang selalu Cheung ulang-ulang dalam hati ketika kakaknya pulang dalam keadaan mabuk, atau marah-marah tanpa alasan. Itu juga yang ia sampaikan kepada “paman dan bibinya” yang mengajaknya pergi ke Taiwan saja.
“Kita harus menunggu kakak pulang.” Cheung berkeras menolak.
Si paman, yang usianya mungkin hampir beranjak 50-an, langsung menoleh ke arah istrinya. Sesudah itu ia tersenyum.
“Ketahuilah bahwa kakakmu-lah yang menulis surat pada kami.” Kata si bibi.
“Surat apa?”
Si bibi kemudian menaruh tas tangannya yang mewah itu – tas kulit berwarna merah-oranye tanpa motif, sederhana namun sebuah plat logam berwarna keemasan di sisi depan bawahnya dengan logo “Dolce Gabbana” menunjukkan bahwa tas itu memang mahal, berbeda dengan tas-tas kakaknya yang hanya barang tiruan yang dibawa dari Shenzhen. Dari dalam tas tangan itu, si bibi mengeluarkan sepucuk surat yang dilipat rapi.
“Lihatlah sendiri.”
Cheung menerima surat itu dari si bibi, lalu membukanya. Ia langsung bisa mengenali tulisan tangan kakaknya dan bau parfum kakaknya yang selalu ia gosokkan di pergelangan tangannya.
“Paman dan bibi, sudah lama tidak bertemu. Apa kabar kalian? Sejak upacara kematian ayah dan ibu, kita sudah tidak bertemu kembali. Aku mendapat alamat kalian dari buku catatan ayah, dan aku segera menulis surat ini kepada kalian. Sejak kematian ayah, aku dan Kwo-sai [ini nama si Cheung kecil, Cheung Kwo-sai] memang tidak terlalu berkekurangan setelah si bos mafia itu selalu mengirim uang kepada kami setiap bulan, tetapi setelah aku lulus sekolah dan harus bekerja, kehidupan mulai menjadi berat. Uang 1.000 dolar yang kini hanya diberikan untuk Kwo-sai tidak cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari. Meskipun kami masih bisa menempati apartemen kami secara gratis sampai 10 tahun lagi, aku tidak ingin hidup seperti ini terus. Aku mohon paman dan bibi mau membawa Kwo-sai ke Taiwan saja, dan aku akan pindah bersama dengan pacarku. Ia berjanji akan membawaku menemaninya bersekolah di Amerika dan tak lama lagi kami akan menikah. Kwo-sai pasti bisa memahami ini dan aku yakin ia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Taiwan. Aku mohon dengan sangat kepada kalian.
Keponakan kalian, Cheung Oi-sin.”
Cheung kecil menghela nafas. Tidak biasanya bagi seorang anak seusianya untuk mengerti bahwa menghela nafas dapat meringankan beban di dada. Namun sejak kakak perempuannya suka mabuk-mabukan, ia mulai belajar untuk menghela nafas.
Si paman mencondongkan badannya ke depan setelah tadi menyandarkan punggungnya di punggung sofa ruang tengah apartemen kecil itu. “Kau lihat sendiri kan, Kwo-sai, kakakmu yang meminta kami untuk membawamu ke Taiwan. Ia ingin hidup bebas dan lepas dari kewajiban untuk mengurusmu.”
“Kau jangan sekeras itu.” Istrinya menegur kata-kata suaminya yang terlalu tegas itu. “Ia masih terlalu kecil untuk mengerti.”
Tanpa diduga, Cheung kecil tersenyum. “Tidak paman, bibi, aku sudah memahaminya. Akhir-akhir ini kakak memang suka marah-marah, dan ketika ia marah ia sering mengatakan bahwa aku hanya menjadi beban baginya. Mungkin memang lebih baik kalau aku pergi.”
Kedua orang suami-istri itu saling berpandangan dan tersenyum. “Baiklah kalau begitu,”kata si paman, “sekarang juga kita berangkat. Besok pagi-pagi kita berangkat dengan pesawat ke Taiwan. Kami sudah mencarikan sekolah terbaik untukmu di Taichung.”
Paman dan bibi kemudian bangkit berdiri dari duduk mereka di sofa itu, namun Cheung tidak ikut beranjak bangun.
“Kwo-sai, kau tak perlu berkemas. Semua baju dan perlengkapanmu akan kami urus setelah kita sampai di Taichung. Kami juga akan membelikan yang baru nanti.” Kata si bibi.
“Bukan, bukan itu. Meskipun kakak sudah tidak menginginkanku lagi, tidak bisakah kita setidaknya menunggunya? Aku masih ingin bertemu dengannya.”
Bibi itu kemudian mendekati Cheung dan berjongkok di depannya.
“Kwo-sai, dengarkan kata bibi... Kakakmu biasa pulang malam, bukan? Kalau kita harus menunggunya, mungkin kita akan ketinggalan pesawat. Dengarkan aku, kakakmu nanti pasti akan mengunjungi kita di Taichung. Jika perlu, kami yang akan mengurus tiket pesawatnya dari Hongkong, ataupun Amerika ke Taiwan. Kau tidak usah khawatir. Kalian masih bisa bertemu lagi. Sekarang, kita harus berangkat. Taksi masih menunggu di luar.”
“Aku ingin ganti baju dulu.”
“Baiklah, kami akan menunggumu. Cepatlah, taksi masih menunggu.” Kata si paman.
Dengan langkah gontai dan lamban, Cheung masuk ke kamarnya. Lima menit. Sepuluh menit. Tak terasa hampir setengah jam Cheung ada di kamarnya.
“Sedang apa anak ini? Lama sekali ia ganti baju!” kata si paman gusar.
“Tenanglah, tenang. Biar aku yang mengetuk pintunya.” Si bibi coba menenangkan suaminya yang mulai tidak sabar.
Si bibi melangkah ke kamar bocah kecil itu dan perlahan mengetuk pintunya. “Kwo-sai, apakah kau baik-baik saja? Mengapa lama sekali ganti baju?”
Tak terdengar suara. Si bibi mengetuk lagi sambil memanggil-manggil namanya. “Kwo-sai, Kwo-sai.”
Masih tak terdengar suara. Si bibi mulai khawatir, dan ia memutar gagang pintu untuk masuk ke dalam. “Sebentar, bibi. Aku sedang memakai sepatu.” Sahut Kwo-sai dari dalam. “Aku akan keluar.”
Tak lama kemudian, Cheung keluar dari kamarnya. Matanya sembab dan nafasnya berat, suaranya pun agak sengau. Ia baru saja selesai menangis. Melihat wajah anak malang ini, si bibi pun menghela nafas panjang lalu memeluk anak kecil itu. “Tak apa, Kwo-sai. Terkadang hidup memang tidak adil bagi kita. Tetapi percayalah, jika kau tetap kuat, setidaknya masih ada yang bisa diharapkan dari hari esok. Kuatlah...! Sejak saat ini, kau bukan lagi anak kecil, tetapi sudah jadi seorang pria.”
Cheung kecil mengangguk ketika si bibi itu membelai dahi kecilnya. “Ayo kita pergi.”
Mereka pun melangkah keluar dari apartemen itu, ruangan kecil dan sempit yang disebut Cheung sebagai “rumah” sejak awal hidupnya, tempat ia pernah merasakan kasih sayang ayah dan ibunya selama empat tahun yang singkat, tempat ia menghabiskan masa kecilnya yang tidak terlalu indah bersama dengan kakak perempuannya yang ternyata tak lagi menginginkannya. Ia hanya bisa menengok ke belakang sesaat, sebelum meninggalkan “rumah” itu untuk seterusnya.
Ketika di lorong menuju ke pintu depan bangunan apartemen itu, mereka berpapasan dengan Lau kecil, anak tetangga sebelah yang sering jadi teman mainnya, sedang bermain sendiri di lorong itu. Melihat kawannya di depan, Cheung berlari mendapati temannya itu.
“Cheung, kau mau ke mana?”
Belum sempat Cheung menjawab, paman dan bibinya segera menarik dan membopongnya. Mereka segera membawa Cheung masuk ke taksi, dan melintas pergi begitu saja. Lau mencoba mengejar mereka, namun hujan deras di luar menghentikan langkahnya. Lau memanggil-manggil nama temannya itu, namun mereka sudah menghilang di balik pekatnya hujan di bulan Juni “hujan bunga plum” yang mengguyur Hongkong dan sekitarnya.
“Aku hanya ingin berpamitan sebentar.”
“Tidak, Kwo-sai. Taksi sudah terlalu lama menunggu. Kita harus segera ke hotel karena bibi dan paman harus berkemas. Kau juga harus beristirahat supaya besok kita bisa bangun pagi-pagi dan mengejar pesawat.”kata si bibi.
Sejam setelah mereka menghilang ke jalanan Hongkong yang mulai padat di sore hari itu, datanglah tiga orang laki-laki ke apartemen itu. Laki-laki pertama mungkin umurnya lebih dari 50 tahun, berkumis abu-abu, perawakannya pendek dan rambutnya yang sudah mulai memutih dipotong cepak. Ia memakai jaket kain berwarna coklat kusam di luar kaos bergaris-garis yang menutupi perutnya yang mulai membuncit. Laki-laki kedua lebih muda usianya, namun mungkin tak kurang dari 40 tahun umurnya. Badannya tinggi dan gempal, namun terlihat sangat berotot dan kekar, dan kepalanya dibiarkan plontos tanpa rambut sehelai pun. Yang ketiga lebih muda, mungkin baru beranjak 30-an umurnya, namun tatapan matanya yang sipit itu sangat tajam dan kuat. Dari gerakan tubuhnya nampak bahwa ia sangat cekatan dan luwes, namun tetap terkesan tegap dan kokoh.
“Paman Hu, kau yakin ini tempatnya?” tanya si pria yang ketiga, dengan logat utara yang sangat kental.
“Tidak mungkin salah lagi. Aku yakin ini tempatnya.” Jawab pria pertama, yang dipanggil “Paman Hu”.
Mereka sampai di depan apartemen Cheung dan memencet bel di sisi ambang pintu itu. Tidak ada jawaban. Paman Hu memencet belnya lagi, sampai hampir sepuluh kali. Tetapi tidak ada jawaban. Paman Hu lalu mengetuk-ketuk pintu berulang kali sambil berteriak, “Ada orang tidak?”
“Pintu besinya tidak ditutup, seharusnya ada orang di dalam.” Si pria kedua yang bertubuh besar itu membuat logikanya sendiri.
“Tetapi tidak ada jawaban dari dalam.” Kata si pria ketiga. Merasa penasaran, ia pun meraih gagang pintu dan memutarnya. Ternyata tidak terkunci dan terbuka begitu saja.
“Tidak terkunci.” Kata si pria kedua heran.
Tanpa dikomando, mereka bertiga pun masuk ke dalam. Lampu di ruangan tengah masih menyala, namun tidak ada tanda-tanda adanya orang di dalam.
“Ada orang di sini?” Paman Hu berteriak lagi.
Tiba-tiba ada suara anak kecil menyahut dari luar apartemen itu, tepat di depan pintu darimana mereka masuk.
“Kalian mencari siapa? Cheung sudah pergi.” Kata anak itu, yang ternyata adalah Lau kecil.
“Paman Hu, kau yang bisa bahasa Kanton , coba tanyai dia.” Kata pria ketiga, masih dengan logat utara yang sangat kental.
Paman Hu kemudian menghampiri anak kecil itu lalu berjongkok di depannya.
“Adik, kau kenal dengan orang yang tinggal di sini?”
Anak itu mengangguk, “Cheung itu temanku. Kami sering bermain bersama. Ia tinggal di sini dengan kakak perempuannya. Kalian siapa?”
“Emm... Kami teman ayahnya dari daratan. Kami ke sini memang menengok dia dan kakaknya. Apa kau tahu mereka pergi ke mana?”
“Tadi Cheung pergi bersama dengan dua orang paman dan bibi, tetapi aku belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Kalau kakak perempuannya, biasanya pulang tengah malam sambil mabuk.”
“Paman dan bibi?” Paman Hu mengernyitkan dahinya, sampai alisnya yang tebal yang perlahan mulai memutih itu bertemu di tengah, “Apa kau masih ingat seperti apa mereka?”
Anak itu mengangguk lagi dan dengan bersemangat ia bercerita, “Tadi mereka  berdua membawa Cheung pergi naik taksi, sepertinya buru-buru sekali. Cheung bahkan tidak menjawab ia mau pergi ke mana. Aku tidak begitu ingat wajah mereka, tetapi si bibi itu cantik dan memakai baju bagus. Bau tubuhnya wangi sekali seperti buah persik yang matang.”
Paman Hu mengeluarkan telpon genggamnya, lalu mengotak-atik isinya untuk mencari gambar. Setelah menemukannya, ia menunjukkan gambar di layar telponnya itu pada Lau kecil.
“Apa wajah bibi itu seperti ini?”
Lau kecil langsung mengangguk-angguk dengan cepat. “Betul, itu dia. Cantik bukan?”
Paman Hu memasukkan lagi telpon genggamnya ke saku jaketnya dan beranjak berdiri. “Celaka, kita keduluan... Adik kecil, apa kau tahu ke mana kira-kira mereka pergi?”
Lau kecil menggeleng, “Aku tidak tahu. Cheung juga tidak menjawab waktu kutanya. Ia akan kembali bukan?”
“Itu yang kami tidak tahu.. Tetapi tenanglah, kalaupun ia dalam bahaya, kami akan menyelamatkannya. Tetapi kau jangan bilang kepada siapa-siapa, karena kalau kau sampai bilang, mungkin Cheung tidak akan kembali lagi.”
“Tidak, tidak, aku tidak akan bilang.”
“Baguslah kalau begitu. Yide, Wang Ying, kita harus pergi sekarang.”
Pria kedua, yang dipanggil Yide, dan pria ketiga, yang dipanggil Wang Ying, segera meninggalkan apartemen itu. Mereka segera bergegas turun ke bawah, meskipun tidak tahu ke mana harus mencari lagi.
“Kakak Hu, kita harus ke mana sekarang?” tanya Yide.
“Yang penting sekarang kita cari taksi dulu.”
Yide dan Wang Ying mengangguk, dan mereka bertiga segera mencegat taksi yang lewat.
“Pergi ke mana?” tanya si supir taksi.
“Jalan lurus saja. Aku tunjukkan arahnya.” Jawab Paman Hu.
Mereka bertiga kemudian naik. Yide duduk di depan, dan Wang Ying duduk di belakang bersama dengan paman Hu. Segera setelah taksi itu berjalan, Paman Hu menarik nafas dalam dan panjang, dan sembari menghembuskan nafasnya itu dengan perlahan, ia menutup matanya. Ia jatuh ke dalam situasi meditasi yang sangat dalam. Ia membaca Mahanetrā Manta:
Namo bahujāgaraŋ netrā sahassaŋ addhā
ayya anantaŋ cakkhundriyaŋ abhivadami
acchariyaŋ adhicittā
pabhaŋ akkhāhi ato anulomaŋ jānāmi

12 (降世之十二生肖) - Buku 1 : Angin Berputar 第一册:狂暴的旋风Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang