4. Kerbau yang Perkasa - #1

30 1 0
                                    

Dalam setiap perjalanan panjang, pasti ada langkah pertama yang harus dibuat. Langkah pertama yang mengawali sebuah perjalanan yang panjang. Namun banyak juga yang tidak berani membuat langkah pertama yang menentukan ini, karena takut dan khawatir harus melangkah pergi dari tempat yang selama ini membuat mereka nyaman, tempat yang selama ini jadi perlindungan mereka dari segala perubahan di dunia. Namun ketika keberanian untuk melangkah itu datang, seperti sebuah kapal yang tetap tegar menghadapi segala macam badai dan ombak, perjalanan panjang menuju pantai tenang yang diharapkan itu pun bisa dimulai.
Kwo-sai juga membuat langkah pertamanya menuju dunia baru yang sama sekali asing baginya, bersama dengan orang yang juga mula-mulanya asing. Namun lambat laun ia menemukan bahwa ketiga orang ini adalah orang-orang yang ramah dan menyenangkan. Ia seperti menemukan kembali figur ayah yang hilang di diri ketiga paman ini. Ketika berjalan menuju ke stasiun pun, paman Yu Yide mengangkatnya dan membiarkannya duduk di atas bahunya dengan kaki di depan dadanya, seperti seorang ayah yang mengajak anaknya berjalan-jalan di atas bahunya. Kwo-sai belum pernah merasakan hal ini, dan ia sangat senang sekali. Sepanjang jalan ia berceloteh senang melihat lalu-lalang orang di kota Shenzhen yang sibuk dan ramai itu.
Melihat bahwa anak itu sudah mulai akrab dan tidak lagi takut pada mereka, Hu Shu merasa senang. Ia percaya bahwa tugasnya mengumpulkan shio-shio itu akan lebih mudah, karena ada rasa kekeluargaan di antara mereka semua. Itu yang membuat tugasnya menjadi lebih ringan dan menyenangkan untuk dijalankan.
"Kita akan ke mana?"tanya Wang Ying.
"Coba kalian tebak kita ke mana."jawab Hu Shu.
"Ketika kau akan menemukan si kerbau botak, kau memimpikan langit biru dan ombak yang bergulung-gulung. Akhirnya kau mendapatkan kota Tianjin. Setelah menemukannya, kau kemudian memimpikan padang rumput luas dan sebuah istana besar, akhirnya kau mendapatkan kota Beijing dan menemukanku. Setelah itu kau memimpikan teluk besar dengan perahu-perahu dan dupa biting yang menyala. Lalu kita menemukan si kelinci kecil ini di Hongkong. Kali ini apa petunjuknya?" Wang Ying bertanya dengan penasaran. Ia memang tertarik dengan petunjuk-petunjuk misterius dan kode-kode rahasia.
[Tianjin - kota yang terletak dekat ibukota Beijing - secara harfiah berarti "ombak langit", sesuai dengan mimpi yang pertama. Beijing secara harfiah berarti "ibukota utara"; di mana Tiongkok utara identik dengan padang rumput yang luas. Hongkong (bahasa Kanton) secara harfiah berarti "pelabuhan dupa".]
"Agaknya kalian yang tak pernah sekolah tidak akan tahu apa artinya: koin kuno yang berserakan di atas pematang tinggi."
"Bifengtang?" Yu Yide langsung menjawab.
Hu Shu dan Wang Ying tertawa tergelak. Bifengtang adalah nama restoran terkenal yang punya banyak cabang di Tiongkok. Uang (bi) dan Bi pada Bifengtang dilafalkan dengan bunyi yang sama.
"Kau lihat kan, paman Hu? Di kepala kerbau botak ini hanya ada makan dan makan saja." Wang Ying menanggapi.
"Nah, kau yang suka tebak-tebakan dan mengaku pintar, jawablah. Aku ingin lihat apakah kau memang sepintar yang kau bilang." Yu Yide memancing-mancing Wang Ying.
"Tunggu.. tunggu. Koin itu kan uang (qian), ada di atas pematang (tang). Qiantang? Itu seperti nama sungai." Wang Ying mulai menebak-nebak.
Yu Yide hanya terbelalak. Memang harus ia akui kalau Wang Ying cukup cerdas. Namun baginya, Qiantang tidak berarti apa-apa karena itu adalah nama sebuah sungai besar di Tiongkok tengah.
"Ah, aku dulu suka membolos sekolah." Yu Yide berkilah, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau bukannya suka membolos sekolah, kau memang tidak pernah sekolah." Wang Ying menimpali sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Sudah, sudah."Hu Shu menengahi. Sementara itu mereka sudah sampai di stasiun kereta Shenzhen. Stasiun itu berdiri sangat megah, dengan blok-blok kaca menghiasi tampak mukanya yang terlihat megah dengan lengkung setengah oval panjang di atas gerbang utama dan tulisan "Shenzhen" yang besar dan berwarna merah. Mereka masuk ke dalam, dan Hu Shu segera mengumpulkan tanda pengenal dari semua pria dewasa yang ikut dalam rombongannya. Karena mereka bertiga adalah "buronan", tentu saja tanda pengenal mereka adalah tanda pengenal palsu dengan foto dan nama yang berbeda pula.
Setelah mengantri selama 5 menit, Hu Shu kembali dengan tiket mereka masing-masing.
"Hangzhou?" Yu Yide melihat tujuan mereka yang tertera di tiket kereta mereka yang berwarna merah muda itu.
"Betul...! Aku ingat sekarang. Sungai Qiantang ada di Zhejiang dan mengalir melewati Hangzhou bukan?" Wang Ying teringat pelajaran geografinya di sekolah dulu. Hangzhou adalah sebuah kota di Tiongkok Tengah, dekat dengan kota Shanghai yang terkenal itu.
"Lebih tepatnya, dulu Hangzhou bernama Qiantang." Hu Shu membenarkan.
"Bagus!" Yu Yide tersenyum senang, "Kita bisa jalan-jalan di sana, melihat pemandangan indah dan gadis-gadis cantik... Di atas ada surga, di bawah ada Suzhou dan Hangzhou, bukan?"
Kota Suzhou dan Hangzhou memang terkenal dengan pemandangan indah dan gadis-gadis cantik, sampai ada peribahasa "di atas ada surga, di bawah ada Suzhou-Hangzhou" (shang you tian tang, xia you su hang).
Wang Ying dan Hu Shu, juga Kwo-sai hanya berpandangan mendengar komentar Yu Yide itu. Tanpa dikomando, mereka kemudian tertawa hampir bersamaan.
"Kenapa kalian tertawa?"
"Tidak, tidak." Hu Shu menjawab, "Lihat, itu peron keretanya."
Mereka berempat pun menuju ke peron yang dituju, dan kereta mereka sudah siap di sana. Kereta yang mereka tumpangi adalah kereta nomor D, atau kereta cepat. Sehingga hanya butuh waktu sekitar 10 jam untuk mereka sampai di tempat tujuan.
"Kau belum pernah bepergian sejauh ini, bukan?"tanya Wang Ying. Ia memang merasa sangat akrab dengan Kwo-sai, karena ia sendiri punya anak perempuan yang usianya masih balita.
Kwo-sai menggeleng. "Berapa lama kita sampai di sana?" tanya Kwo-sai.
"Mungkin sepuluh, atau sebelas jam." Hu Shu menjawab, sambil masuk ke dalam kabin kereta yang cukup mewah itu.
Mereka pun mencari tempat duduk masing-masing sesuai nomor tiket yang mereka pegang, yang rupanya adalah empat kursi yang saling berhadap-hadapan. Setelah menemukannya, mereka pun duduk di kursi yang empuk dan hangat, yang lebih mirip kursi kabin pesawat itu. Seperti anak kecil, Yu Yide dan Wang Ying berebut untuk menduduki kursi dekat jendela. Karena dasarnya memang tidak suka ribut, Yu Yide pun merelakan kursi dekat jendela untuk diduduki oleh Wang Ying, sementara satu kursi lainnya yang juga dekat jendela ditempati oleh Kwo-sai.
"Nah, karena waktunya akan panjang, bagaimana kalau kita minta paman kerbau ini bercerita? Ia sangat pandai mendongeng dan membuat orang tidur dengan ceritanya. Jadi, tahu-tahu kita sudah sampai di Hangzhou, hanya dengan mendengar ia bercerita saja" Lagi-lagi Wang Ying menggoda Yu Yide.
"Benarkah itu? Aku suka mendengar cerita."kata Kwo-sai.
"Paman Yu, kau sudah dengar belum? Anak ini minta kau bercerita."
"Bercerita? Hmm... baik. Kalau begitu duduklah yang manis, dan aku akan bercerita tentang kisahku sampai bertemu dengan kakak Hu."
Yu Yide pun mulai bercerita, sementara Kwo-sai yang sudah duduk manis itu bersiap untuk mendengarkan dengan serius. Hu Shu sendiri sibuk membaca surat kabar yang tadi ia beli di stasiun, sementara Wang Ying memilih untuk bersandar di kursinya sambil mencoba memejamkan mata, sementara kereta yang mereka tumpangi perlahan mulai menderu dan bergerak maju.
"Hei, bocah sinting..! Aku mau bercerita mengapa kau malah tidur?"
"Kau mulailah saja. Aku mendengarkan. Siapa tahu kalau ceritanya menarik aku tidak jadi tidur."
.........
Darimana aku harus memulai kisahku? Mungkin dari pertama saja. Dulu aku dilahirkan di Beijing, dan ibuku meninggal saat melahirkanku, karena kami tak punya biaya untuk pergi ke rumah sakit. Kami tinggal di sebuah hutong [gang perkampungan kuno yang sempit, khas kota Beijing] yang kecil. Namun saat umurku masih 6 tahun, keluarga kami dipaksa pindah saat tempat tinggal kami digusur untuk dijadikan jalan raya. Akhirnya kami pindah ke Tianjin, dan ayahku, sempat jadi seorang shuimao sampai akhirnya bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Tetapi malang bagi kami karena di hari itu sebuah peti kemas besar di pelabuhan jatuh dan menimpa ayahku, dan ia langsung tewas seketika. [Shuimao ("kucing air"), asal kata sebenarnya adalah shuimo ("mencari ikan dengan mengobok-obok air"), adalah sebutan orang Tianjin untuk perantau menganggur yang mau bekerja apa saja untuk menyambung hidup.]
Aku mendengar kabar itu saat masih di sekolah. Aku tidak berpikir panjang dan langsung lari begitu saja pulang ke rumah. Kata paman tetangga rumah yang juga bekerja dengan ayahku, peti kemas itu terlalu berat sehingga katrol pengangkatnya tidak kuat, dan tali kawatnya putus. Peti itu langsung saja menimpa ayahku yang saat itu sedang mengarahkan kawannya yang mengendalikan mesin katrol yang talinya putus itu. Saat itu paman itu sedang bersiap ke rumah sakit tempat mereka menempatkan jenasah ayah, sehingga aku ikut saja dengannya.
Sampai di depan kamar mayat, mereka tidak mengizinkanku masuk. Entah mengapa, saat itu aku tidak tahu. Baru setelah dewasa aku bersyukur tidak sampai masuk ke dalam untuk melihat jenasah ayahku yang entah sudah seperti apa bentuknya. Setelah itu paman tetangga kami itu bilang, sejak saat itu ia akan merawatku. Hanya saja ia juga bilang bahwa mungkin setelah itu aku tidak lagi bisa bersekolah, karena uang gajinya hanya cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tetapi tetap tidak ada bedanya, karena tidak lama kemudian semua sekolah ditutup dan kata paman semua guru dari berbagai sekolah dikirimkan ke pedalaman untuk menjadi petani. Anak-anaknya pun tak lagi sekolah, dan mereka akhirnya bersama denganku dibawa ke pelabuhan untuk membantu.
[Di masa itu meletuslah peristiwa penting yang kemudian disebut "Revolusi Kebudayaan". Semua murid sekolah dan mahasiswa turun ke jalan untuk berdemo sambil mengelu-elukan Mao Zedong, dan banyak juga yang menangkapi guru-guru mereka untuk diolok-olok dan dicap sebagai "agen sayap kanan". Banyak guru-guru atau dosen universitas yang dikirimkan ke pedalaman untuk bekerja sebagai petani.]
Mulai sejak saat itu, aku berkeliaran di Yujiapu [salah satu daerah pergudangan di Tianjin] dan malamnya aku kembali ke rumah. Ketika aku beranjak remaja, aku mulai menyadari bahwa tenagaku jauh lebih kuat dari anak-anak sebayaku, bahkan dari orang dewasa kebanyakan. Bahkan aku bisa mengerjakan satu blok kontainer seorang diri, tanpa dibantu siapapun, dan anehnya tanpa merasa kelelahan. Kalau untuk memuat barang-barang ke dalam kontainer biasanya butuh lima sampai sepuluh orang (tergantung apa isi muatannya), aku hanya sendirian saja. Itulah mengapa mereka kemudian menjulukiku "kerbau besar", selain karena badanku memang jauh lebih besar dari anak-anak sebayaku, dan makanku pun juga lebih banyak. Tetapi bayaran untuk mengangkut barang atau menurunkan isi kontainer itu tidak kemudian aku pakai sendiri, seringkali aku membaginya dengan teman-teman yang lain. Itulah mengapa mereka kemudian sangat baik padaku.
Karena tenagaku besar, aku juga yang mereka andalkan jadi "jagoan" ketika ada perselisihan di antara sesama kuli angkut. Akhirnya kelompok-kelompok yang lain itu tidak berani dengan kelompok kami, dan bahkan mereka semua mengangkatku menjadi pemimpin mereka. Hanya beberapa bulan kemudian, para kuli angkut pelabuhan jadi semacam kelompok mafia kecil, dan tidak butuh waktu lama sebelum kami bersinggungan dengan "mafia" lainnya di Tianjin.
Tanpa terasa aku menghabiskan masa remaja dan masa mudaku di Yujiapu. Mungkin sudah 30-an tahun aku habiskan di distrik pelabuhan yang seakan jadi satu-satunya dunia yang aku kenal. Sampai akhirnya, hari di mana aku harus memulai perjalanan takdir yang berbeda ini tiba.
Suatu ketika, seorang temanku datang padaku dengan tergopoh-gopoh. Saat itu aku sedang beristirahat di pelabuhan bersama dengan teman-teman yang lain.
"Kakak Yu, kakak Yu!"
Ia langsung menghampiriku, dan dengan nafasnya yang terengah-engah ia mencoba menceritakan sesuatu.
"Zhang En, Atur dulu nafasmu.. Mengapa kau kelihatan terburu-buru sekali? Ada apa?"
"Celaka, celaka." Jawab orang itu sambil masih terengah-engah. "Kakak Li, dia..."
"Li yang mana? Jangan-jangan Li si kuping besar?" Aku sudah curiga kalau lagi-lagi Li si kuping besar membuat masalah.
"Benar, Li si kuping besar. Ia baru saja dihajar orang Beijiang...!" Beijiang adalah pelabuhan utama di Tianjin, dan daerah itu terkenal bermusuhan dan tidak ramah. Orang-orang kami sering berselisih paham dengan mereka, dan tidak jarang perselisihan itu berujung pada perkelahian yang serius.
"Apa masalahnya? Mengapa ia dihajar? Li sedang mabuk bukan?" Aku langsung memotong ucapannya. Li si kuping besar ini memang suka berlagak dan mabuk. Jika ia sudah mabuk, omongannya meracau ke sana kemari dan tidak karuan, dan seringkali ia memakai namaku untuk menakut-nakuti orang.
"I..i..iya." jawab Zhang En. Zhang En dan Li si kuping besar ini memang sangat akrab. Hanya saja Zhang En ini pengecut, dan hanya berani main gertak saja. Kalau ia kalah berkelahi, ia akan segera lari atau sembunyi. Kali ini - seperti biasa - ia lari dan mengadu padaku.
"Sudah, biarkan saja dia. Lambat laun pasti ia akan dihajar atau bahkan dibunuh orang." Aku tetap duduk saja sambil menenggak arak putih Hongxing kesukaanku - aku hanya minum saat beristirahat seusai kerja dan hanya satu sampai dua sloki saja.
"Tapi, kakak Yu... Kali ini situasinya gawat. Mereka benar-benar akan membunuh kakak Li."
"Ahh.." Aku mulai mendengus dengan kesal sambil menaruh gelasku dengan kasar ke meja, "Kalian ini tahunya hanya mabuk dan berkelahi. Hanya merepotkanku saja. Sekarang kau merengek-rengek seperti nenek-nenek. Sudah, bawa aku ke sana!" Aku bangkit berdiri dari kursiku dan Zhang segera mengajakku ke tempat yang dimaksud, yaitu distrik Tanggu yang tidak jauh letaknya dari Yujiapu. Di tempat itu - yang ternyata adalah stasiun kereta Tanggu - Zhang En, alias Zhang si mulut besar, membawaku ke tempat yang dimaksud. Di situ Li sudah terkapar berlumuran darah, tetapi masih bisa meraung-raung dan berteriak, dan yang ia teriakkan adalah namaku.
"Kakak Yu.... Kau di mana kakak Yu... Tolong aku...." suara Li terdengar sangat menyedihkan sekali, seperti suara babi yang hendak disembelih saja.
Aku segera bergegas menghampirinya. Di sekitarnya sudah berdiri enam atau tujuh orang pria, ada yang membawa sekop, ada juga yang membawa pipa besi.
"Jadi kau si Kakak Yu, si kerbau besar itu? Namamu sudah terkenal sampai ke Beijiang namun baru kali ini kami bisa melihat langsung. Aku lihat bentuk badanmu memang sudah sesuai dengan julukanmu. Apa isi otakmu juga sama?" Seorang dari para pengeroyok itu membuka suara, suara dalam logat utara yang serak terdengar kurang jelas bagiku, hanya saja kata "otakmu juga sama" itu cukup jelas.
"Kalian orang Beijiang memang sengaja cari masalah!" Aku segera menggertak mereka dengan keras pula.
"Sudah tidak usah banyak omong, sekarang giliran kalian yang kami hajar!" orang itu langsung mengarahkan teman-temannya untuk maju, dan mereka langsung mengeroyok kami. Hanya saja, kami tidak bersenjata. Seperti biasa, Zhang si mulut besar itu langsung lari terbirit-birit, sementara Wei si muka bopeng langsung meladeni serangan mereka.
Setidaknya ada tiga orang yang menyerangku. Salah satunya membawa sekop pasir. Ia langsung mengayunkan sekop pasir itu ke arah kepalaku dari sisi sebelah kiri, namun gerakannya terlalu lamban. Aku langsung menangkap sekop itu dari tangannya, dan mematahkannya dengan mudah. Sekop itu langsung kubuang ke tanah dan aku menerjang maju. Orang itu agaknya kaget, dan ia langsung mundur ke belakang, sementara temannya diam-diam menyelinap dan menyerangku dari sebelah belakang. Di tangannya ada sebatang pipa besi dan ia mengayunkannya ke punggungku.
Karena aku tidak melihatnya, serangan itu mengenaiku. Namun ia tidak menyangka kalau aku sama sekali tidak terpengaruh dengan pukulan pipa besi-nya, yang bagiku hanya seperti pijatan wanita penghibur dari Yule Yuyuan - hanya saja yang ini tidak menggairahkan [Hei, kau sedang bercerita pada anak kecil!] Oh maaf, maksudku, pukulan pipa besinya itu sama sekali tidak terasa sakit. Aku langsung membalikkan badan, menangkap pipa besinya, lalu mematahkannya sama seperti aku mematahkan sekop yang barusan itu. Sangat mudah sekali, seperti mematahkan korek api saja. Orang itu pun juga terkejut, dan ia hanya bisa melangkah mundur.
Wei si muka bopeng sudah menjatuhkan dua orang yang menyerangnya, agaknya dengan mudah. Tidak heran, karena kakek buyutnya dulu adalah anggota Yihetuan [nama kelompok Pemberontak Boxer], dan ia sering mengatakan kalau kakek dan ayahnya mewarisi ilmu kungfu dari kakek buyutnya itu. Kakeknya pun adalah salah seorang hunhunr terakhir di Tianjin. [Hunhunr (dibaca hu-hur), adalah sebutan untuk kelompok preman di Tianjin pada awal-awal abad ke-20, namun mulai menghilang di dekade 1930-an.]
Orang yang tersisa, termasuk si suara serak itu sepertinya kaget melihat bagaimana kami dengan mudah mengalahkan mereka, apalagi melihatku yang sepertinya kebal terhadap pukulan dan punya tenaga yang sangat kuat.
"Orang Yujiapu, kalian memang hebat. Tunggu pembalasan kami..!"
Mereka langsung berlari kabur begitu saja. Aku sudah bisa menebak kalau mereka pasti akan pulang ke Beijiang dan memanggil kawan-kawannya. Tetapi aku tidak peduli. Sekarang yang penting adalah membawa Li si kuping besar ke rumah sakit agar ia bisa diobati. Seorang teman yang mendengar bahwa kami berkelahi di Tanggu pun datang membawa truk pick up bak terbuka, dan aku menggotong Li ke atas bak. Bersama-sama kami pergi ke rumah sakit terdekat, dan Li segera diobati. Tetapi aku langsung bergegas kembali ke Yujiapu, karena malam ini pasti akan ada serbuan dari orang-orang Beijiang. Mereka tidak mungkin menyerang kami di siang bolong, karena polisi pasti akan menangkapi kami semua.
Oleh karena itu aku mengumpulkan teman-teman di Yujiapu, untuk menghadapi serbuan orang-orang Beijiang. Sejak sore setelah bongkar-muat usai, kami mulai bersiap-siap. Namun anehnya, saat malam hari tiba, bukan orang Beijiang saja yang datang, tetapi juga ada sebuah mobil sedan mewah berhenti di Yujiapu. Orang yang naik mobil sedan mewah itu pastilah bukan kuli pelabuhan. Atau setidaknya, ia mungkin bos mereka, karena sopir mobil mewah itu sampai harus membukakan pintu mobil untuknya.
Orang itu melangkah keluar dari mobilnya dan menghampiri kami dengan sangat tenang. Lagaknya terlalu santai untuk seseorang yang hendak baku hantam.
"Aku ingin bertemu dengan yang dipanggil sebagai Kakak Yu." Orang itu tidak berbasa-basi.
Aku pun melangkah ke depan menghampirinya dan beradu pandang dengannya.
"Aku Yu si kerbau besar. Orang-orangmu yang pertama kali memulai masalah ini dengan menghajar temanku. Saat ini ia terbaring di rumah sakit karena dikeroyok oleh orang-orangmu. Apa kau bos mereka? Kau harus membayar ganti rugi karena ulah orang-orangmu pada temanku itu. Kau harus membayar biaya perawatannya di rumah sakit."
Orang itu hanya terdiam. Sejenak kemudian dia berkata, "Apa kau sudah selesai berbicara?"
"Apa maksudmu?" Aku membalas kata-katanya dengan nada yang sengaja kutinggikan, dan pandangan mataku kubuat sengaja menantangnya.
Tetapi orang itu hanya tersenyum, lalu melepas kacamata hitam besarnya itu, yang kemudian ia gantungkan di kancing baju atasnya yang sebagian ia biarkan terbuka untuk memamerkan kalung emasnya yang berkilauan itu.
"Apa kau pikir untuk itu aku kemari?" Orang itu masih tersenyum, sama sekali tidak menunjukkan wajah yang menantang.
"Lalu untuk apa kau kemari?"
"Mengenai biaya perawatan temanmu, itu tidak menjadi masalah. Katakan saja di mana ia dirawat, akan aku suruh orangku ke sana untuk membereskan biayanya. Aku jamin temanmu akan dirawat sampai sembuh. Aku juga tidak akan memperpanjang masalah antara Beijiang dengan Yujiapu."
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau kemari? Tidak usah bertele-tele, aku bukan orang pintar yang pernah sekolah."
"Begini." Orang itu membuang rokoknya ke tanah dan menginjaknya, "Aku butuh bicara empat mata saja denganmu. Apa boleh aku ke dalam?"
"Masuklah."
Aku membawanya masuk ke sebuah ruangan. Orang-orangnya - yang berpakaian rapi dan tidak banyak bicara atau berlagak apa-apa - menunggu di luar. Teman-temanku yang lain pun kembali duduk-duduk sambil terus mengawasi gerak-gerik "musuh" kami itu.
"Bicaralah." Aku segera membuka percakapan setelah kami berdua masuk ke ruang tertutup.
Orang itu segera duduk di kursi, kursi yang jelek memang. Kami tidak punya cukup uang untuk membeli kursi bagus, apalagi sofa. Namun ia tetap duduk dengan santai, dan mengeluarkan sebungkus rokok putih dari balik jasnya, jas wol abu-abu yang ia kenakan menutupi baju katun warna merah muda.
"Rokok?"
Aku menggeleng. "Bicaralah. Setelah bicara, kau boleh pulang."
Orang itu tersenyum, kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Ia menghisapnya dalam-dalam dan mengepulkannya ke luar.
"Aku mendengar cerita dari orang-orangku yang berkelahi dengan kalian siang tadi. Aku sempat tidak percaya mendengarnya, tetapi agaknya mereka bercerita hal yang sebenarnya. Begini, aku datang untuk menawarkanmu sebuah pekerjaan."
Aku menggelengkan kepala, tetap tanpa mengubah ekspresi wajah. "Terimakasih. Kau tidak perlu repot-repot. Aku sudah senang menjadi pekerja di Yujiapu. Aku tidak mau meninggalkan mereka dan bekerja untukmu di Beijiang."
Orang itu menyandarkan punggungnya ke belakang sambil tertawa. "Kuli." Ia berkata demikian sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya, "Apa itu satu-satunya pekerjaan yang kau tahu?"
"Apa maksudmu?" Aku mulai tersinggung.
"Begini. Kau jangan emosi dulu. Aku menawarkanmu bekerja untukku, bukan sebagai kuli. Biar aku ceritakan sedikit... Kami di Beijiang memang punya usaha yang bagus. Ayahku dulu seorang kuli, dan aku tak mau ikut-ikutan jadi kuli juga. Maka dari itu, aku mengumpulkan orang-orang Beijiang dan menjadi bos mereka. Usaha kami berjalan cukup lancar, terutama dari meja judi."
Rupanya orang ini adalah bandar judi dari Beijiang yang terkenal itu. Benar, aku pernah mendengar kalau ia diam-diam menjalankan bisnis judi gelap besar-besaran, bahkan ada yang menggosipkan bahwa ia menjadi bos hunhunr generasi baru yang mulai meresahkan masyarakat Tianjin. Aku juga mendengar namanya disebut oleh wanita dari Yule Yuyuan. [Agaknya kau sering ke sana, bukan?]
"Lalu kau mau aku melakukan apa?"
"Beberapa klien kami kalah cukup banyak, dan kemudian tidak menepati janji mereka. Kami pun kesulitan menagihnya, karena klien kami ternyata juga punya centeng dan pengawal. Aku ingin agar kau menjadi penagih hutang bagiku, karena aku yakin tidak ada yang bisa menang melawanmu, termasuk centeng-centeng itu. Kalau kau bersedia, kau boleh tetap bekerja di sini bersama teman-temanmu, namun malam harinya kau bekerja untukku."
"Berapa yang kau tawarkan?"
"Bagus. Aku suka itu. Kau tidak bertele-tele dan langsung ke sasaran." Pria itu tertawa lagi. Ia kemudian merogoh sesuatu dari balik jas abu-abu yang membungkus baju warna merah muda yang ia kenakan itu.
"Ini adalah uang mukanya." Ia meletakkan segepok uang di atas meja. "Ini adalah 10 ribu Yuan. Aku ingin kau menagih hutang dari klien kami."
[1 Yuan kurang lebih sama dengan Rp 1.500 di waktu itu.]
Mataku terbelalak melihat segepok uang yang jumlahnya hanya bisa kubayangkan dalam mimpi saja. Ia merogoh sakunya lagi dan menunjukkan foto seorang pria yang sama botaknya seperti aku, hanya saja pria itu terlihat kaya. "Seharusnya bulan lalu ia membayar hutang judinya, tetapi sampai sekarang ia belum melunasinya. Celakanya, ia punya centeng yang cukup kasar juga, dan orang-orangku babak-belur dibuatnya."
"Berapa hutangnya?"
"Lumayan, 2 juta Yuan."
Mataku kembali terbelalak, dan mulutku ternganga. Aku belum pernah membayangkan ada uang sebanyak itu.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Aku rasa ia punya uangnya, tetapi tidak mau membayar. Kalau ia tidak mau memberikan uangnya, bawa saja orangnya dan kita tahan dia sampai keluarganya mau membayar."
"Bagaimana kalau keluarganya lapor polisi?"
"Kau tidak perlu memusingkan hal itu. Yang penting, setelah pekerjaanmu selesai, aku akan memberikan sisanya lagi, 10 ribu Yuan. Uang 20 ribu Yuan tentu cukup banyak untukmu bukan?"
Aku tergiur juga mendengar tawarannya. Tanpa pikir panjang, aku menyanggupinya. Ia kemudian memberikan uang itu dan kuhitung. Benar, jumlahnya 10 ribu Yuan. Aku belum pernah memegang uang sebanyak itu sebelumnya, rasanya tebal dan wanginya tak pernah kucium sebelumnya.
"Kapan aku harus melakukannya?"
"Besok malam orangku akan menjemputmu, dan kau akan dibawa ke tempat orang itu. Satu lagi, belilah baju bagus untuk bekerja dengan kami besok. Bajumu itu, buanglah saja." Ia mengibaskan tangannya seperti isyarat membuang sesuatu.
Tanpa banyak basa-basi lagi, ia pun beranjak bangun dan pergi begitu saja ke balik kegelapan malam. Aku masih memandangi segepok uang yang ia berikan itu. Baiklah kalau begitu, kataku dalam hati. Aku mengambil beberapa lembar dari bendel uang itu, lalu membaginya pada teman-temanku yang masih terheran-heran karena mereka ternyata tidak jadi berkelahi. Tetapi agaknya mereka tidak bertanya macam-macam, dan mengantongi uang gratis yang aku bagikan itu.
............
Dan begitulah, aku menjadi "centeng" baru untuk si bos judi yang belakangan aku tahu dari anak buahnya, bermarga Zhao. Bos Zhao, sebutannya. Hari pertama aku bekerja untuknya, aku dibawa ke tempat orang yang harus kutagih itu. Rumah itu ada di pinggiran Tianjin, dan nampak megah dengan tembok yang tinggi. Dengan kondisi Tianjin yang semakin padat seperti ini, hanya orang-orang yang sangat kaya, atau mereka yang masuk dalam golongan pejabat yang bisa punya rumah mewah sebesar ini.
Namun mereka sepertinya tahu bahwa kami akan datang. Pintunya ditutup rapat, dan centeng-centeng si terhutang itu berjejer rapi menjaga gerbangnya. Ketika kami akan masuk, kami segera dihalangi dengan kasar. Aku pun membalikkan badan.
"Hei, kau mau ke mana? Kita harus masuk ke dalam." Salah seorang anak buah bos Zhao yang menyertaiku pun bertanya. Aku tak menjawabnya, hanya melangkah santai menghampiri mobil yang diparkir di pinggir jalan di seberang gerbang rumah itu, sebuah Great Wall Hover [salah satu jenis mobil buatan Tiongkok] berwarna abu-abu. Aku melongok ke dalam, ternyata tidak ada orang. Biasanya orang suka tertidur di dalam mobilnya, atau melakukan hal yang aneh dan tidak wajar di dalam. Tetapi mobil itu kosong.
Aku langsung mengangkatnya ke atas, dan melemparkannya ke gerbang. Melihat mobil melayang, centeng-centeng itu pun segera kabur. Agaknya ada satu yang tersambar dan terpelanting ke samping. Gerbang itu pun hancur, dan kami segera masuk. Di dalam, lagi-lagi kami dihadang centeng-centengnya, dan aku menghadapi mereka satu-persatu. Semuanya segera kurobohkan, dan orang itu - yang marganya Zhou - hanya bisa terpojok ketakutan di sudut rumahnya, sementara anak-istrinya menonton dengan tak henti-hentinya menangis dan memohon. Aku tidak peduli. Aku akan membawa si Zhou pergi kalau hutang judinya tak dilunasi. Akhirnya ia menyerah dan menyuruh istrinya mengambil uang di brankas, jumlahnya 1 juta Yuan. Ini masih kurang, aku bilang. Namun ia bilang bahwa hutangnya hanya 1 juta saja. Aku bilang, aku tak peduli. Bos Zhao bilang 2 juta, kau harus sediakan 2 juta. Lalu ia menyuruh istrinya melepas semua perhiasannya, ditambah dengan perhiasan di lemari pakaian istrinya, semuanya diberikan kepadaku. Lalu orang bos Zhao mengambil perhiasan itu dan menghitungnya dengan kalkulatornya.
"Ini cukup." Dia bilang. Lalu aku pun meninggalkan keluarga yang ketakutan itu dan kembali ke bos Zhao. Sepanjang perjalanan aku heran, jika ia memang punya uang, mengapa tidak langsung ia lunasi saja hutang-hutangnya? Mengapa harus menunggu sampai ada orang datang dan mendobrak rumahnya, masuk dengan paksa, dan menagih dengan kasar? Toh pada akhirnya ia tetap harus membayar hutangnya.
Bos Zhao memuji hasil kerjaku, dan sesuai janjinya, ia memberikan sisa 10 ribu Yuan. Ia masih memberikan satu kalung emas kepadaku sebagai bonus karena aku berhasil melakukan apa yang selama ini gagal dilakukan oleh centeng-centengnya yang lain. Ketika menerima kalung emas itu, hanya satu hal yang kupikirkan dalam otakku.

12 (降世之十二生肖) - Buku 1 : Angin Berputar 第一册:狂暴的旋风Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang