2. Cahaya Setiap Generasi - #1

57 3 0
                                    

Perubahan hampir selalu terasa menyakitkan pada awalnya, terutama bagi mereka yang sudah terlalu lama duduk di zona pribadi mereka yang nyaman. Ada banyak yang harus dikorbankan agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan baru yang datang, yang tidak pernah bisa dielakkan supaya kehidupan bisa terus melangkah maju dan menjadi lebih baik. Perubahan itu sangat perlu, namun apakah semua orang bisa menerimanya dengan hati yang lapang?
Itulah yang dirasakan oleh Cheung (atau kita panggil saja dia dengan namanya, Kwo-sai). Kwo-sai merasa dirinya ada di sebuah lorong yang sangat gelap, tidak tahu mana ujung mana pangkalnya. Tidak ada cahaya atau jalan keluar, dan lingkungan sekitarnya sangat hening tanpa sedikit pun suara. Satu-satunya suara yang bisa ia dengar adalah suara nafasnya yang memburu, yang terengah-engah menahan rasa cemas dan khawatir, yang terus dibayangi oleh rasa takutnya terhadap kesendirian di dalam ruangan gelap yang tak tentu arahnya.
Ingin sekali ia berteriak, namun nafasnya terasa sangat berat dan tertahan di kerongkongan. Suaranya sama sekali tidak bisa keluar. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara yang tidak asing, suara yang sangat hangat dan menenangkan, memanggil-manggil namanya. Ia berusaha menjawab, namun nafasnya terasa sangat berat dan tidak bisa keluar. Suara itu semakin lama semakin menghilang, ditelan kegelapan yang semakin bertambah pekat. Namun suara itu kembali terdengar, suara yang membawa rasa tenang ke dalam hatinya.
“Kwo-sai... Sayangku... Apakah kau masih ingat di masa kecilmu dulu...?” Terdengar suara seorang perempuan yang tidak asing di telinganya.
“Si...siapa kalian...?” Kwo-sai menjawab dengan nafas yang sangat berat, yang masih tertahan di dadanya.
“Sudah lama berlalu, Kwo-sai... Apakah kau sudah melupakan kami...?” Kali ini yang terdengar suara seorang pria, yang juga tidak asing di telinganya.
“Ayah? Ibu? Ke mana saja kalian selama ini....? Aku sangat merindukan kalian....”
Suara yang disebut “ayah” itu melanjutkan lagi, “Jangan khawatir, Kwo-sai. Kami tidak pernah meninggalkanmu. Hanya tubuh kami yang hancur dan hilang, namun cinta kami padamu takkan pernah pergi jauh. Itulah yang membuat kami tetap dapat tinggal di dunia ini, mengawasi dan menjagamu.”
Mendengar suara yang sangat dirindukannya itu, tanpa disadari air mata meleleh ke pipi bocah kecil itu. Suasana berangsur-angsur menjadi terang, dan meskipun pandangannya buram, Kwo-sai bisa melihat dua sosok yang nampak di depannya, meraih kedua tangannya.
“Belum saatnya kita bersatu lagi. Setidaknya masih berpuluh-puluh tahun lagi sampai kita bertemu lagi secara langsung. Jika saat itu datang pun, kami mungkin sudah tidak mengenalimu lagi. Tetapi jangan khawatir, cinta kami tidak akan pernah pergi meninggalkanmu. Cinta kami akan membawamu tumbuh dewasa, cinta kami akan menjagamu dari segala bencana. Percayalah pada dirimu sendiri dan gunakanlah kemampuanmu yang luar biasa itu bukan untuk kepentinganmu sendiri saja, namun untuk orang-orang yang kau cintai dan yang mencintaimu. Seperti itulah nanti pada akhirnya tugas cinta kami untuk menjagamu pun usai, dan kami bisa pulang dalam damai.” Kata suara perempuan itu pada Kwo-sai.
“Tetapi aku ingin terus bersama kalian! Aku tidak ingin kalian pergi!”
“Tidak bisa, anakku. Jika kami tidak pulang ke tempat kita berasal, kami tidak akan bisa kembali melanjutkan siklus dunia ini. Entah bagaimana nanti, kami pasti akan kembali bersamamu, dalam wujud apapun. Tetapi kami harus menyelesaikan tugas kami dulu di dunia ini, yaitu menjagamu sampai kau menemukan siapa dirimu sebenarnya, dan sudah ada kekuatan cinta yang lain yang menggantikan tempat kami. Janganlah takut, dunia ini memang besar dan kejam, namun kekuatan cinta selalu dan tak pernah gagal menaklukkannya. Sekarang bangunlah, bangunlah...., bangunlah....”
Seiring dengan ucapan “bangunlah...” itu, sayup-sayup terdengar mantra dibacakan dan suara mantra itu semakin lama semakin bertambah keras dan menutup kedua suara hangat yang terdengar tadi, yaitu salah satu bagian dari Prajnaparamita Sutra, “Sutra Kebijaksanaan Sejati”:
Tadyatha Om Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha
Tadyatha Om Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha
Tadyatha Om Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha
Kwo-sai pun berteriak memanggil ibunya, “Ibu!” Setelahnya ia membuka matanya, dan ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan, terbaring di atas ranjang, dikelilingi oleh tiga orang pria yang tidak ia kenal, sementara satu orang pria tengah menempelkan tangannya di dahinya, dan dua jari di atas masing-masing matanya. Tangan pria itu terasa sangat hangat dan nyaman menempel di dahinya, dan rasa hangat itu bisa terasa di seluruh tubuhnya yang ringan.
“Akhirnya kau bangun juga, adik kecil.” Pria yang menempelkan tangan di dahinya itu tersenyum. Kwo-sai berusaha mundur sampai punggungnya terpentok pada dinding ranjang itu.
“Siapa kalian? Mau apa kalian? Aku di mana?”
“Tenanglah, kami bukan orang jahat.” Kata pria itu lagi, yang ternyata adalah Hu Shu.
“Kalian, kalian yang hendak menculikku bukan?”
“Bukan, adik kecil. Kami bukan orang jahat. Justru kedua orang yang mengaku paman dan bibimu itulah yang jahat.”
“Lalu siapa kalian?”
“Adik kecil, apa kau bisa bahasa Mandarin? Bahasa Kanton-ku tidak terlalu bagus dan aku takut kau tidak mengerti apa yang ku ucapkan.”
Kwo-sai mulai berbahasa Mandarin, bahasa yang sudah sejak lama mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Hongkong, terutama setelah pulau bekas koloni Inggris itu bergabung kembali dengan Tiongkok.
“Aku bisa gwoyu [sebutan orang Hongkong untuk bahasa Mandarin di Tiongkok], siapa kalian? Kalian mau apa?”
“Setidaknya makanlah dulu. Kau sudah pingsan selama seharian, dan saat ini hari hampir siang. Perutmu pasti lapar.”
Diingatkan demikian, barulah Kwo-sai merasa perutnya melilit karena keroncongan. Benar juga, ia merasa lapar.
“Bangunlah. Setelah kau selesai makan, aku akan melanjutkan ceritaku.”
Melihat tindak-tanduk orang ini agaknya ramah, dan mereka tidak berniat mencelakainya, dengan perlahan karena masih ragu-ragu Kwo-sai turun dari ranjang itu dan melangkah ke meja makan. Ada semangkuk mie tarik di atas meja yang sudah disiapkan untuknya. Tanpa basa-basi lagi ia segera menghampiri mangkuk mie itu dan melahap isinya dengan cepat, di bawah pandangan mata ketiga orang laki-laki yang tersenyum melihat betapa lahapnya bocah kecil itu makan.
“Pelan-pelan saja, jangan sampai tersedak.”
Kwo-sai benar tersedak, dan ia langsung meraih botol air mineral di sampingnya dan menenggak isinya. Ketiga pria itu pun tertawa melihatnya, dan Kwo-sai pun dengan malu-malu juga ikut tertawa.
“Pelan-pelan saja makannya. Kita punya banyak waktu untuk mengobrol.”
“Nah, kalian mengobrollah, dan aku ingin tidur. Tidak setiap hari aku bekerja keras seperti semalam, dan rasanya aku capek sekali.” Kata Wang Ying sambil menghampiri ranjang itu, lalu merebahkan diri ke atasnya.
“Capek? Kau tidak salah? Kau hanya meloncat sana meloncat sini, tangkap sana tangkap sini, sudah bilang capek? Apa kau tidak pernah mencoba mengangkat perahu motor dan melemparkannya?” kata Yu Yide menimpali.
“Tenanglah, kak Yide. Agaknya sarapanmu kurang banyak. Kau belum kenyang agaknya. Apa kau mau kubelikan goubuli [makanan khas Tianjin]  dulu?” Wang Ying bercanda menimpali.
“Ada yang jual goubuli di sini?” Yu Yide langsung menanggapi dengan serius.
“Ada, ada.. Bukan hanya anjing (gou) saja, bahkan ren (orang) buli pun ada.”
Goubuli, arti harfiahnya adalah: “anjing tidak peduli”, adalah makanan khas dari Tianjin, kota asal Yu Yide. Di sini Wang Ying mempelesetkannya menjadi renbuli, atau “orang pun tidak peduli”. Yu Yide tahu ke mana arah candaan Wang Ying ini, maka ia tak lagi menanggapi. “Anak sinting.”
Wang Ying hanya tertawa. Ia memang senang bercanda dengan Yu Yide, orang yang sudah hampir mirip kakak angkat baginya. Yu Yide kemudian membuka sebungkus keripik kentang dan memakan isinya. “Bagus, daripada kau marah-marah saja karena lapar, kau boleh menghabiskan semua cemilan itu. Tidak perlu menyisakan buat kami. Kau ini, kalau tidak lapar, ya tidur.. Tidak tidur, ya lapar..!”  Wang Ying masih menimpali.
[Dalam dialek Tianjin, kata lapar (e dalam bahasa Mandarin) diucapkan sebagai wo (dalam bahasa Mandarin mirip bunyinya dengan berbaring atau tidur).]
Yu Yide tidak mempedulikan ocehan Wang Ying yang mencemooh logat Tianjin-nya yang kental. Wang sementara itu sudah bersantai di atas ranjang, sedangkan Yu terus melahap keripik kentang dari bungkus itu. Kwo-sai sendiri masih sibuk menghabiskan mie di mangkuknya. Karena makan dengan cepat, ia menghabiskan isi mangkuk yang cukup besar itu dalam waktu hanya sepuluh menit saja.
“Apakah kau masih lapar? Jika masih, kau boleh makan punyaku.”kata Hu Shu.
Kwo-sai menggelengkan kepalanya.
“Baiklah, kalau kau sudah cukup makan. Sekarang kita bicarakan hal yang serius.”
Hu Shu menarik kursi dan duduk di atasnya, lalu pandangannya berubah serius.
“Namamu adalah Guoshi [bahasa Mandarin untuk Kwo-sai], margamu adalah Zhang [bahasa Mandarin untuk Cheung], dan kau lahir tahun 1999 bukan?”
Kwo-sai mengangguk.
“Dan ayah-ibumu meninggal akibat kecelakaan 4 tahun yang lalu, dan setelahnya kau tinggal berdua saja dengan kakak perempuanmu bukan?”
Kwo-sai mengangguk lagi.
“Aku juga tahu kalau kau punya kekuatan khusus, yaitu telekinesis. Kau bisa memindahkan barang-barang tanpa perlu menyentuhnya, hanya dengan kekuatan pikiranmu yang kau arahkan dengan kedua tanganmu bukan?”
Kwo-sai mengangguk perlahan, seolah heran bagaimana orang ini bisa tahu semua hal tentangnya, termasuk tentang keahlian khususnya yang bahkan kakak perempuannya pun tak tahu.
“Bagaimana paman tahu akan hal itu? Aku bahkan tidak pernah menunjukkannya pada siapapun, termasuk kakak perempuanku. Paman ini siapa sebenarnya? Apakah paman mengenal orangtuaku?”
Hu Shu tersenyum kecil. “Aku sama sekali tidak kenal dengan keluarga kalian. Namun tentang kekuatanmu itu, aku sudah bisa menduganya. Kau lihat, kami bertiga ini punya shio yang berurutan. Aku shio Tikus, aku lahir tahun 1948. Paman yang badannya besar itu namanya Yu Yide, ia shio Kerbau, lahir tahun 1961. Paman yang tiduran di atas ranjang itu namanya Wang Ying, ia shio Macan, lahir tahun 1974. Dan kau...”
“Aku shio Kelinci, lahir tahun 1999...” Kwo-sai langsung menukas.
“Benar. Jadi kau bisa lihat kalau kita berempat punya shio yang berurutan.”
Kwo-sai mulai berpikir. “Berarti jika aku punya kekuatan khusus, kalian juga punya?”
“Anak pintar.” Hu Shu tersenyum senang, “Masing-masing dari kami punya kekuatan khusus. Aku, Shio Tikus, adalah kepala dari shio yang lain, karena dalam urutan 12 shio memang Tikus adalah yang pertama, bukan? Lalu paman Yu ini punya tenaga yang luar biasa besar...”
“Seperti kerbau lapar...” Wang Ying menukas.
“Betul, seperti kerbau. Nah, paman Wang Ying yang suka melucu itu, dia adalah shio Macan. Ia dikenal sebagai ‘Yang Tak Bisa Dibunuh’. Artinya, jika ada orang yang mau membunuhnya, ia akan balik membunuh orang itu dengan senjatanya sendiri. Nah, kau adalah shio Kelinci, dan shio ini secara alami berdiri di antara dua shio yang besar. Kau tahu shio apa?”
“Mm... macan dan... dan naga bukan?”
“Betul sekali. Macan dan naga. Dua shio yang sangat besar. Maka dari itu, shio Kelinci punya kekuatan khusus mengendalikan benda-benda yang besar tanpa perlu menyentuhnya. Seperti semalam, kau hampir menggencet kami dengan ranjang yang besar.”
“Mm... aku minta maaf untuk itu.”
“Tidak, tidak mengapa. Kau hanya belum tahu saja kejadian sebenarnya. Biar aku lanjutkan ceritaku. Nanti selain kita berempat pun masih ada delapan shio lagi yang harus kita temukan satu persatu. Shio Naga, ia adalah penjelmaan dari Raja Naga Lautan Timur. Kau pernah dengar?”
“Ya.. ya... Di cerita Perjalanan ke Barat ia menguasai lautan dan mengatur cuaca.”
“Betul. Shio Naga punya kekuatan khusus mengendalikan cuaca, bahkan mungkin termasuk menciptakan angin, memanggil petir dan guntur, dan menurunkan hujan. Lalu setelah itu ada shio Ular bukan? Ular adalah hewan yang pendiam, namun berbahaya. Menurut kitab rahasia yang aku baca, shio Ular punya keahlian istimewa sebagai ‘mata hipnotis’. Ia bisa mempengaruhi orang untuk melakukan apa saja yang ia mau lewat tatapan matanya.”
Hu Shu kemudian menyeruput teh yang ada di cangkirnya. Lalu ia melanjutkan lagi.
“Kuda, yang bergerak tanpa bayangan. Kambing, mengobati segala penyakit yang tak bisa disembuhkan sekali pun. Monyet, menguasai tujuh puluh dua perubahan...”
“Seperti kera sakti dari Perjalanan ke Barat.”
“Betul. Kau suka membaca cerita itu rupanya.”
“Aku sering menontonnya berulang-ulang di televisi.”
“Betul sekali. Monyet memang memiliki keahlian seperti sang kera sakti. Lalu Ayam, seperti ayam berkokok yang menandakan bahwa pagi sudah tiba, juga memiliki kekuatan mengendalikan waktu. Ia bisa menghentikan waktu kapan pun ia mau. Lalu Anjing, ia bisa berpindah tempat ke mana pun ia mau. Dan kemudian babi...”
“Makannya banyak, perutnya gendut, badannya gemuk dan bau, pemalas...” Wang Ying menukas lagi.
“Hei, kau ini meracau sembarangan...” Hu Shu menimpali.
Wang Ying kemudian beranjak bangun. “Paman Hu, tidakkah kau lihat? Perawakan kita berempat masing-masing seperti shio kita. Paman Hu tubuhnya kecil seperti tikus, kemudian kakak Yu badannya besar seperti kerbau. Gerakanku lincah dan cepat seperti seekor harimau. Lalu si kelinci kecil ini pun juga mungil dan lucu seperti kelinci. Aku yakin shio Naga nanti pun juga perawakannya tinggi kurus seperti naga... dan begitu juga shio-shio yang lain. Kalau shio Babi, aku yakin badannya pun pasti gempal, gemuk, bau, malas...”
“Baik, baik... Kau bisa tambahkan apapun sesukamu. Nanti kau akan terkejut melihat seperti apa rupa shio Babi sesungguhnya.”
“Benarkah? Apa kakak Hu sudah menemukannya?” tanya Yu Yide penasaran.
“Sebelum kesebelas shio lainnya ditemukan, shio Babi ini tidak akan muncul begitu saja. Namun aku sudah tahu siapa orangnya.”
“Siapa? Siapa? Apa kami mengenalnya?” tanya Wang Ying juga penasaran.
Hu Shu hanya tersenyum penuh misteri, “Kalian tunggu saja nanti. Yang pasti, misi kita sekarang adalah menemukan si Raja Naga Laut Timur.”
Lalu Hu Shu melanjutkan ceritanya.
.......
Jadi sebenarnya, di setiap generasi ada seorang yang dilahirkan di lambang Shio tertentu yang memiliki kekuatan rahasia sesuai dengan Shio di mana ia dilahirkan. Tetapi hanya dalam beberapa ratus tahun sekali ke-12 orang-orang istimewa dengan kekuatan khusus itu dilahirkan dalam rentang waktu generasi yang sama. Terakhir, ke-12 shio ini berkumpul saat Zhu Yuanzhang memberontak melawan penjajah Mongol. Berkat bantuan ke-12 orang yang mendukungnya inilah Zhu Yuanzhang bisa mengusir bangsa Mongol dan bahkan mengalahkan pemberontak-pemberontak lainnya, lalu mendirikan dinasti Ming yang terkenal itu. Namun karena ia takut kalau-kalau mereka yang dulu pernah membantunya itu lalu memberontak dan menggulingkannya – karena ia sendiri tak punya kekuatan khusus – ia lalu membunuh mereka satu-persatu dengan berbagai tuduhan.
Tak lama sebelumnya, sekitar 200 tahun sebelum Zhu Yuanzhang mendirikan dinasti Ming, kedua belas shio ini juga lahir di rentang waktu yang berdekatan, yaitu ketika mereka memberontak terhadap dinasti Song di gunung Liang, meski pada akhirnya mereka diampuni dan direkrut oleh pemerintah sebagai panglima penjaga perbatasan dan pengaman negara. Sejak saat itu sampai berkumpul lagi di masa Zhu Yuanzhang, masing-masing shio terlahir dalam rentang waktu yang berjauhan, namun campur tangan mereka dalam urusan dunia memunculkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah.
Salah satunya adalah Lei Zhen, seorang pelarian dari dinasti Song Selatan yang kabur ke laut timur ketika orang-orang Mongol menyerbu benteng pertahanan terakhir dinasti itu di kota Guangzhou. Menumpang kapal dagang, ia sampai di Qiantang dan lalu melanjutkan pelariannya sampai ke timur laut, sampai akhirnya mendarat di teluk Hakata di pulau Kyushu di Jepang, dan akhirnya diterima sebagai anak buah seorang samurai di sana. Dinasti Song Selatan akhirnya runtuh dan bangsa Mongol memerintah Tiongkok di bawah panji Dinasti Yuan, dan Kublai Khan menjadi kaisarnya.
Beberapa tahun kemudian, terdengar kabar bahwa armada Kublai Khan akan menyerbu Jepang, karena wali shogun Hojo Tokimune  – mungkin atas pengaruh dari biksu-biksu Song yang mengungsi ke Jepang – menolak perintah Kublai Khan agar Jepang tunduk pada kekuasaan Mongol, sebagaimana Korea dan Tiongkok. [Hojo Tokimune (1251-1284) adalah wali shogun Jepang pada masa itu.] Kublai Khan yang murka akan penolakan ini lalu menyiapkan armada kapal dalam jumlah besar yang dibangun dari galangan kapalnya di daerah Tiongkok dan Korea.
Mendengar berita penyerbuan ini, Lei Zhen minta pada tuannya agar diizinkan ikut berperang bersama dengan para samurai melawan serbuan tentara Mongol. Lei Zhen kemudian menceritakan semua sejarah hidupnya, bagaimana orang-orang Mongol menyerbu tanah airnya dan memaksa kaisar Song yang terakhir bunuh diri bersama pengikutnya yang tersisa. Ini adalah dendam kesumat, kata Lei Zhen pada tuannya.
“Apa yang kau bisa lakukan untuk kami?” tanya samurai itu, yang bernama So Sukekuni.
“Tuanku, hamba bisa membantu melenyapkan mereka sehingga mereka tidak akan lagi berani menginjakkan kaki di tanah yang suci ini.”
Namun So masih belum percaya dengan kemampuan apa yang dimiliki Lei Zhen, maka Lei kemudian mengajak keluar tuannya itu dari kediaman mereka, yang kebetulan terletak dekat dengan pantai. Ia berdiri di sisi tebing yang masih dibalut warna malam itu, lalu meminta tuannya berdiri agak jauh di belakangnya, untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Lei berdiri dengan tegak. Tubuhnya yang jangkung dibungkus dengan baju kain yang lebih mirip kimono, yang melambai-lambai diterpa angin darat yang kencang di tengah malam. Malam itu sangat cerah dan bintang-bintang bermunculan di langit, namun beberapa kalah terangnya dari bulan separuh yang bersinar di langit yang luas itu. Lei kemudian mengangkat tangannya ke atas, dan tangannya membuat gerakan memutar-mutar, seperti mengaduk-aduk adonan di angkasa.
Tiba-tiba, angin berhenti bertiup dan awan pun berdatangan memenuhi angkasa yang tadinya cerah itu. Tuan So yang berdiri di kejauhan segera menyadari perubahan cuaca yang mendadak ini. Ia dan keluarganya turun-temurun tinggal di daerah itu, dan ia bisa meramalkan setiap perubahan cuaca yang datang silih-berganti sesuai musim. Namun angin yang tiba-tiba berhenti dan awan yang tiba-tiba memenuhi angkasa itu tidak sesuai dengan musimnya.
Lei melanjutkan gerakannya, masih dengan berdiri tegak dan mengaduk-aduk angkasa. Tak lama kemudian ia memutar-mutar tangannya, dan seiring dengan putaran tangannya itu awan di angkasa juga ikut berputar, dan lama-lama membentuk sebuah pusaran besar di langit yang berputar sesuai dengan kecepatan putaran tangan Lei. Pusaran awan itu lama-lama turun ke bawah dan mencapai laut di cakrawala. Begitu pusaran itu tiba di laut, angin pun berhembus dengan sangat kencang dan permukaan laut bergolak seperti mendidih.
Dari kejauhan, So takjub melihat peristiwa ganjil itu. Kimono-nya melambai-lambai ditiup angin kencang yang tiba-tiba berhembus. Ia sampai harus memalingkan wajah agar debu yang beterbangan itu tak masuk ke matanya. Tak lama kemudian, Lei menurunkan tangannya dan mengambil nafas dalam, dan segeralah semuanya berhenti. Awan yang memenuhi angkasa pun perlahan buyar, dan langit segera kembali cerah. Laut kembali tenang dan angin sepoi-sepoi kembali berhembus. Lei kemudian berjalan dengan tenang dan menghampiri tuannya.
“Kau... kau bisa mengendalikan angkasa?”
“Itu adalah keahlian hamba. Hamba bisa menggunakannya untuk menghancurkan armada Mongol.”
“Baiklah, kau harus ikut dalam pasukan. Kami akan sangat membutuhkan bantuanmu saat menghadapi pasukan Mongol nanti.”
Tuan So kemudian memberikan baju zirah untuk Lei, sebuah hal yang hampir tidak pernah dilakukan oleh seorang komandan samurai untuk anak buah rendahan semacam Lei. Ia kemudian menempatkannya dalam pasukannya, dan bersiap untuk menghadapi serbuan musuh. Tetapi hari memang sudah malam, dan besok mereka harus membuat berbagai persiapan.
“Apa yang terjadi?” tanya Lei pada salah seorang rekannya, yang membangunkannya di pagi buta keesokan harinya.
“Musuh mendarat tanpa sepengetahuan kita! Sekarang mereka sudah berjajar rapi di pantai dan mendirikan perkemahan.”
Lei segera terbangun dari tidurnya, dan ia bergegas mengenakan bajunya. Ia melihat ke luar dan ia melihat ke bawah tebing, dan benar saja, kapal-kapal pasukan Mongol sudah mendarat dan berjejer rapi di tepi pantai, sementara pasukan Mongol sudah mendirikan perkemahan di tepi pantai.
“Apakah tuan So dan yang lain sudah mengetahui hal ini?”
“Sudah, mereka sedang mempersiapkan pasukan. Utusan juga sudah dikirimkan ke Dazaifu untuk meminta bantuan.”
“Sepertinya tidak akan sempat. Ayo kita bersiap menghadapi musuh!”
“Tidak, tidak kau. Tuan So berpesan bahwa kau terlalu berharga untuk mati, makanya kau harus ke Dazaifu segera dan menunggu perintah di sana.”
“Apa? Aku juga bisa bertarung seperti yang lainnya! Aku akan memakai baju zirahku dan akan bersiap.”
Tanpa menghiraukan rekannya itu, Lei Zhen kembali ke pondoknya dan bersiap mengenakan baju zirahnya. Untuk seorang prajurit biasa seperti dia, baju zirahnya tidaklah terlalu rumit, tidak serumit para komandan samurai atau samurai kelas atas yang mengenakan berbagai perlengkapan yang rumit namun dijahit sangat indah dengan benang warna-warni dan helm besar yang mengagumkan, yang biasanya dihiasi dengan tanduk palsu menyerupai tanduk sapi, cula badak, atau tanduk rusa, dibuat dari emas atau logam lain yang mengkilat. Setelah selesai mengenakan baju zirah dan topi kain yang diikatkan kuat melingkari wajahnya dan disimpul di dagunya, Lei mengambil tombak pemberian tuan So, dan ia bergegas turun bersama yang lain.

12 (降世之十二生肖) - Buku 1 : Angin Berputar 第一册:狂暴的旋风Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang