Sementara itu di medan perang, pasukan Mongol sudah bersiap. Mereka mengenakan baju dari kulit hewan dengan topi yang lebih mirip kopiah bulu di kepala mereka, dan sepatu boot kulit di masing-masing kakinya. Pasukan musuh di garis depan semuanya menenteng busur dan membidik lawan, siap untuk melepaskan anak panah mereka. Sementara itu, seorang samurai bernama Takenaga mengendarai kudanya untuk maju ke depan dan menantang perang. Sesuai adat kebiasaan para samurai saat itu ketika berperang, komandan pasukan akan menyuruh seorang anak buahnya yang paling berani untuk keluar barisan dan maju ke tengah medan perang dan meneriakkan tantangan untuk berduel.
[Samurai adalah sebutan untuk kelas prajurit di Jepang kuno; pedang melengkung yang menjadi ciri khas mereka disebut Katana, atau secara umum Nihonto atau Tsurugi.]
“Namaku Takenaga Sueaki, ayahku adalah Takenaga Torayori. Aku datang atas perintah tuan Tairano Kagetaka, yang diperintah oleh paduka wali Hojo Tokimune, dan diperintah oleh paduka Kaisar untuk menghadapi kalian para barbar penyerbu. Barangsiapa yang berani meladeni tantanganku, keluar barisan dan bersiaplah menyambut kemarahanku!”
Tidak ada tanggapan sama sekali dari para pasukan Mongol. Mereka merasa aneh dengan musuh mereka, naik kuda seorang diri ke tengah medan perang lalu berteriak-teriak dalam bahasa aneh yang tidak mereka mengerti. Takenaga mengulang tantangannya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lantang.
“Namaku Takenaga Sueaki, ayahku adalah Takenaga Torayori. Aku datang atas perintah tuan Tairano Kagetaka, yang diperintah oleh paduka wali Hojo Tokimune, dan diperintah oleh paduka Kaisar untuk menghadapi kalian para barbar penyerbu. Barangsiapa yang berani meladeni tantanganku, keluar barisan dan bersiaplah menyambut kemarahanku!”
Tetap tidak ada tanggapan dari barisan pasukan Mongol. Maka Takenaga pun memacu kudanya sambil menenteng tombak panjangnya yang lazim disebut Naginata dan mendekati garis depan musuh. Melihat gerakan musuh, langsung saja anak-anak panah Mongol yang sudah siap dibidikkan itu melesat dari busurnya, dan menerjang tubuh Takenaga tanpa ampun. Segera saja samurai gagah itu terjatuh ke tanah bersama dengan kudanya dan tewas di tempat. Tewasnya penantang pertama itu membuat Tairano yang memimpin pasukan itu terkejut. Tak lama kemudian, ia sadar dari rasa terkejutnya itu karena hujan anak panah mulai melanda seperti badai bulan kedelapan yang menghantam mereka tanpa ampun. Segera saja ia memerintahkan semua pasukannya untuk mundur dan berlindung di dalam benteng. Namun pasukan Mongol mengejar mereka dan membantai para samurai yang larinya tak terlalu kencang di belakang.
Melihat anak buahnya dibantai seperti anak ayam diburu oleh rubah yang lapar, Tairano memerintahkan anak buahnya untuk kembali dan menghadapi serbuan musuh. Dengan gagah berani ia menenteng tombaknya dan menghadapi gelombang pasukan Mongol yang terkenal kejam dan tanpa ampun itu. Namun pasukannya kalah siap dan mereka segera dibantai dengan menyedihkan.
Tairano terjatuh dari kudanya dan ia menghadapi musuh satu-persatu. Namun musuh yang menghadapinya pun sudah mencabut golok mereka yang melengkung, dan melawan pedang Tairano yang lurus, yang diayunkan ke sana kemari untuk menangkis serangan. Sayangnya, usaha samurai gagah itu sia-sia dan Tairano tewas meregang nyawa di bawah bacokan golok-golok Mongol yang haus darah itu.
Genderang perang ditabuh berulang-ulang dari kubu samurai, dan kali ini So Sukekuni yang memimpin pasukan untuk menghadang serbuan musuh. Baju zirahnya yang berwarna-warni, dengan papan punggung yang lebar yang disulam dengan benang berwarna merah dan putih, membuat baju zirah yang sebenarnya dibuat sebagai kostum perang itu nampak jauh dari kesan menyeramkan, dan terlihat anggun, klasik, dan elegan. Tetapi apalah gunanya baju zirah jika pedang-pedang musuh atau anak panah yang dilepaskan masih tetap mampu menembusnya? So Sukekuni pada akhirnya menemui nasib yang sama dengan rekannya, Tairano, dan ia tewas menghadang serbuan musuh pada hari itu.
Samurai yang tersisa pun kocar-kacir dan mundur teratur. Pasukan Mongol yang menyerbu pantai pada hari itu berhasil merebut benteng mereka, dan menjadikannya pangkalan mereka. Lei juga ikut kabur, dan kali itu dendamnya semakin dalam kepada orang-orang Mongol. Mereka sudah menyerbu tanah airnya, menghancurkan negerinya, dan kini mereka pun seakan tak mau meninggalkannya hidup damai begitu saja.
Ketika malam mulai menjelang, bersama dengan beberapa orang rekannya sesama samurai, Lei mengendap-endap ke tebing di dekat benteng mereka yang sudah jatuh ke tangan musuh itu.
“Ingat, apa yang kalian saksikan hari ini hanyalah untuk kalian sendiri. Jangan sampai ada sepatah kata pun bocor dari mulut kalian. Jika ada yang bertanya, katakan bahwa dewa-lah yang menolong kita.”
Rekan-rekannya itu menangguk, namun masih belum paham apa maksud perkataan Lei Zhen. Lei kemudian berdiri dengan tegak, dan mengulang gerakan yang sama yang pernah ia tunjukkan pada mendiang tuannya, So Sukekuni. Segera saja berhembus angin yang kencang, dan petir menyambar-nyambar dari langit, menghantam benteng yang kini dihuni orang-orang Mongol itu. Ketika menyambar bangunan kayu, segeralah muncul api yang menjilat bangunan-bangunan itu dan menyebar tertiup angin kencang. Lei terus menggerakkan tangannya seperti seorang penari yang luwes, menjadikan langit dan cuaca sebagai barang mainan di bawah kekuasaannya. Angin pun bertiup kencang, dan terciptalah puting beliung yang segera berubah menjadi pusaran api ketika bertemu dengan lidah-lidah api yang menjilati benteng Mongol itu.
Lei kemudian menyasar kapal-kapal perang Mongol yang bersandar di pantai. Ia membangkitkan angin gemuruh dan petir untuk menyambar kapal-kapal itu. Segera bertiuplah angin ribut, dan air laut pasang dengan sangat cepat. Dari puluhan kapal yang merapat, sebagian besar terbakar dan tenggelam, dan hanya dua atau tiga yang tersisa.
Namun membangkitkan cuaca ekstrim seperti itu sangat menguras tenaga Lei. Ia merasa bahwa kalau diteruskan lagi, ia yang akan tewas. Maka, dengan nafas terengah-engah, ia menghentikan gerakan tangannya, dan segeralah cuaca buruk itu reda, berganti malam yang cerah dan laut yang tenang. Ia kemudian melangkah ke atas tebing dan berteriak dengan keras agar suaranya terdengar. Ia berseru dalam bahasa Tiongkok, yang mungkin dikenal juga oleh para Mongol penyerbu itu.
“Dengarkan! Ini akibatnya jika kalian berani menyerbu tanah ini. Tanah ini dilindungi dewa angin dan petir, dan kalian tidak akan mampu merebutnya! Jika kalian ingin selamat, segeralah kembali ke tempat asal kalian dan jangan pernah kembali! Katakan pada kaisar kalian yang jahat itu, supaya ia mengurungkan niatnya untuk menyerbu tanah ini! Ingat, jangan pernah kembali!”
Mendengar suara yang tidak jelas darimana asalnya itu, mereka yang masih ketakutan segera berlarian naik ke kapal mereka dan menarik jangkar. Lei menggunakan sedikit tenaga yang tersisa untuk mengembangkan layar kapal-kapal itu dan mendorong mereka ke laut lepas. Begitu susah-payahnya ia mengerahkan tenaga, sampai akhirnya ia jatuh berlutut ke tanah dan memuntahkan darah. Melihat rekannya memuntahkan darah, samurai yang lain segera memapah Lei dan membawanya ke markas mereka.
.............
Beruntung, Lei berhasil pulih dan kembali seperti sediakala. Komandan samurai yang menginspeksi posisi musuh di keesokan harinya terkaget-kaget melihat musuh mereka sudah hilang semua, dan banyak kapal yang karam. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, dan rekan-rekan Lei semuanya memegang teguh janji mereka untuk tidak membocorkan rahasia. Mulailah tersebar kabar burung bahwa para dewa membantu mereka dan menghancurkan musuh. Mereka menyebutnya kamikaze, “Angin Dewata”. Lei hanya tersenyum karena ia tahu apa kebenaran yang terjadi.
Setelah pulih dari luka-luka dalamnya, Lei mengajukan usul kepada gubernur di Dazaifu agar Jepang membangun armada perang yang bisa menangkal serbuan musuh sebelum musuh sempat mendarat, sehingga musuh bisa dihancurkan di laut. Gagasan ini disetujui, dan ketika gubernur Dazaifu mengetahui bahwa Lei berasal dari Tiongkok, maka Lei pun diberi kepercayaan untuk melaksanakan ide-idenya untuk membangun armada perang di Hakata. Segeralah Lei mengumpulkan rekan-rekan sesama pengungsi dari Tiongkok untuk membagi ilmu mereka mengenai cara membangun kapal. Galangan kapal segera dibangun di teluk Hakata, dan muncullah armada perang laut pertama Jepang di teluk itu.
Tujuh tahun kemudian, Kublai Khan yang masih belum jera juga, lagi-lagi mengirimkan armada lautnya ke Jepang. Namun rencananya ini sudah diketahui oleh pihak Jepang, dan Lei – yang sekarang dikenal sebagai “Raijin”, cara melafalkan namanya dalam bahasa Jepang – memerintahkan agar armada kapal Jepang bersiap-siap di teluk Hakata untuk menghadapi serbuan musuh. Namun ia mendengar bahwa kali ini tidak hanya puluhan kapal yang dikirimkan, melainkan ratusan. Kalau dipaksakan untuk berperang, maka armada yang baru saja dibentuk itu pasti akan dihancurkan, sama seperti seekor anak rusa yang memaksa berlari ke tengah serbuan sekelompok singa yang lapar.
Begitu gentingnya situasi ini sampai-sampai wali shogun saat itu, Hojo Tokimune memerintahkan kepala klan Kikuchi dari provinsi Higo di Kyushu tengah untuk datang langsung ke provinsi Hizen di mana bangsa Jepang mempersiapkan pertahanan menghadapi serbuan tentara Mongol. Mendengar bahwa Kikuchi Takefusa, sang kepala klan Kikuchi datang langsung ke Hakata, Raijin langsung meminta izin untuk menghadap.
“Seorang samurai biasa? Apa kepentingannya?” tanya Kikuchi pada anak buahnya yang datang menghadap untuk melaporkan kedatangan Raijin.
“Tuanku, samurai ini mengaku bisa mendatangkan kamikaze lagi untuk menenggelamkan armada Mongol.”
Kikuchi terbelalak. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
“Menarik. Menarik. Siapa atasannya?”
“Tuanku, dulu ia mengabdi pada mendiang So Sukekuni.”
“So Sukekuni.” Mendengar nama itu disebut, Kikuchi Takefusa menghela nafas. “Ia seorang samurai hebat. Lalu siapa majikannya sekarang?”
“Saat ini ia memiliki klan-nya sendiri, dengan tanah garapan yang menghasilkan 10 koku.”
“Jadi ia samurai kelas paling bawah. Kalau begitu suruh samurai kelas bawah juga yang menerimanya, tidak perlu aku turun tangan sendiri bukan?”
“Baik, tuanku.”
Prajurit itu keluar untuk menyampaikan penolakan Kikuchi. Namun Raijin yang sedari tadi menunggu di luar tetap berusaha untuk sabar ketika prajurit itu menemuinya.
“Jika tuan Kikuchi tidak mau keluar menemuiku, harap tuan Kikuchi sudi untuk menengok ke teras sebentar. Jika dalam satu buluh bambu aku tidak bisa mengesankan tuan Kikuchi, aku takkan mengganggunya lagi. Tolong sampaikan ini.”
[Pada waktu itu di Jepang sering terdapat hiasan di kolam air berupa pipa bambu yang menyalurkan air ke buluh bambu penadah, yang akan secara otomatis menuangkan isinya ke dalam kolam begitu terisi penuh sehingga kembali kosong, dan terisi lagi secara berulang-ulang.]
Samurai itu hanya geleng-geleng kepala dan menyampaikan permintaan aneh ini pada Kikuchi, seperti yang diminta oleh Raijin. Ketika mendengar itu, Kikuchi yang tengah menyantap makan siangnya pun mencoba bersabar, dan meletakkan sumpitnya. Ia lalu keluar ke teras.
“Nah, apa sekarang?”
Tiba-tiba langit berubah mendung, dan awan menjadi sangat pekat. Langit segera berubah menjadi hitam pekat seperti tinta bak yang digores di atas kertas bambu, dan angin bertiup sangat kencang menggugurkan bunga-bunga sakura yang baru saja mekar, yang berguguran di tengah suara petir yang menyambar-nyambar.
“Ada badai! Cepat berlindung!”
Namun Raijin mengeraskan suaranya dan berteriak sampai terdengar oleh Kikuchi.
“Tuanku! Hamba akan menyelamatkan Jepang dan mengusir para penyerbu untuk selamanya! Mohon tuanku mengizinkan hamba masuk!”
“Kau...kau yang memanggil badai ini?”
“Benar, tuanku!”
Lalu Kikuchi berkata pada bawahannya, “Cepat, cepat suruh orang itu masuk!”
Bawahan itu langsung bergegas keluar, dan ia melihat Raijin tengah berdiri menatap angkasa sambil “mengaduk-aduk langit”, seperti yang ia tunjukkan pada mendiang So Sukekuni dulu.
“Hentikanlah, tuanku bersedia menemuimu.”
Maka Raijin pun menarik tangannya dengan perlahan sambil menghela nafas panjang. Begitu ia menarik kedua tangannya yang tadi ia julurkan ke langit itu, segeralah awan mendung yang sangat pekat itu sirna, angin ribut pun reda, dan matahari kembali cerah bersinar di musim semi yang indah itu. Si bawahan Kikuchi yang melihat perubahan yang menakjubkan itu masih tertegun-tegun mengamati angkasa, dan masih tak percaya dengan apa yang ia lihat barusan. Raijin pun masuk ke dalam, dan ia mendapati Kikuchi masih berdiri dengan takjub.
“Kau, kau yang membuat semua ini?” Kikuchi masih terbata-bata, belum sepenuhnya sadar dari kekagetannya.
Raijin sudah berlutut dan memberi hormat dengan takzim.
“Paduka, hamba yang dulu memanggil kamikaze untuk menenggelamkan armada Mongol. Saat ini musuh kembali mengancam negeri, negeri yang sudah sangat baik menampung pelarian ini.”
“Pelarian? Darimana asalmu sebenarnya?”
Lalu Raijin menceritakan asal-usulnya dengan lengkap, tentang bagaimana ia lari dari Guangzhou sampai ke Jepang, lalu ditampung oleh So Sukekuni dan dijadikan seorang samurai kepercayaan. Ia juga menceritakan tentang kekuatan istimewa yang ia miliki ini, dan bagaimana ia menenggelamkan armada pasukan Mongol serta memaksa mereka kabur tujuh tahun yang lalu.
“Maksudmu, kau akan menenggelamkan mereka?”
“Benar, tuanku. Namun hamba dengar bahwa kali ini musuh mengirimkan ratusan kapal untuk menyerbu. Hamba sadar akan keterbatasan kemampuan hamba, dan jika harus melakukan hal ini, sepertinya ini untuk yang terakhir...”
“Maksudmu?”
“Hamba juga manusia, bukan dewa. Hamba pun memiliki keterbatasan. Jika harus menimbulkan angin badai dan ombak ganas yang menenggelamkan ratusan kapal, hamba harus mengerahkan seluruh kekuatan yang hamba miliki, dan nyawa hamba mungkin takkan tertolong lagi.”
Kikuchi terdiam. Ia sengaja tidak menanggapi perkataan ini, menunggu apa yang akan dikatakan Raijin. Apakah Raijin bersedia mengorbankan nyawanya? Dan seperti apa yang ditunggu oleh Kikuchi, Raijin menyanggupinya.
“Hamba bersedia mengorbankan nyawa. Tetapi ada satu permintaan yang hamba ajukan, jika tuanku berkenan.”
“Katakan.”
“Hamba punya seorang istri dan anak yang masih kecil. Hamba takut tidak ada yang mengurus mereka setelah hamba pergi nanti. Mohon tuanku memberi jaminan bahwa mereka tetap ada yang mengurus jika hamba berhasil melakukan apa yang hamba janjikan ini.”
“Jika kau benar bisa memanggil angin dewata sekali lagi dan menenggelamkan mereka semua, aku yakin paduka shogun akan menjamin seisi rumahmu. Aku akan menulis surat pada paduka Hojo untuk menyampaikan hal ini. Aku yakin kata-kataku pasti akan didengar.”
.......
“Aku akan ke sana dan menenggelamkan kapal mereka.” Kata Raijin pada istrinya. Memang setelah peristiwa tujuh tahun berselang setelah invasi Mongol yang pertama, Raijin kemudian menikahi seorang gadis Jepang dan mereka dikaruniai seorang anak perempuan.
“Apa yang akan kau lakukan? Kau hanya seorang diri.”kata istrinya.
Raijin hanya tersenyum, “Memang aku tidak pernah bercerita kepadamu siapa aku sebenarnya. Aku memang sudah bercerita bahwa aku dari Tiongkok, dan lari ke sini ketika orang Mongol keparat itu menghancurkan negeri kami dan membunuh kaisar kami. Tuan So berbaik hati dan menampungku, namun orang-orang Mongol keparat itu membunuhnya juga. Apakah kau ingat peristiwa misterius tujuh tahun yang lalu ketika tiba-tiba ada angin dewata yang menenggelamkan kapal-kapal musuh?”
Istrinya mengangguk, “Ya aku mendengar hal itu. Dewa Petir yang mengalahkan mereka.”
Raijin menghela nafas. “Baiklah. Karena kita sudah menjadi suami-istri, ada baiknya aku menceritakannya kepadamu.”
Lalu Raijin menceritakan semua seluk-beluk peristiwa misterius yang terjadi tujuh tahun berselang, termasuk menyebutkan siapa-siapa saja rekan samurai yang menjadi saksi peristiwa itu. Istrinya tertegun mendengar cerita Raijin, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari suaminya itu.
“Kini, aku memintamu untuk menjaga anak kita, dan aku akan menunaikan tugas dan kewajiban seorang samurai pada tuannya.” Raijin menggenggam kedua tangan istrinya sambil menatap dalam ke sepasang mata cantik itu.
“Namun tuan So sudah meninggal...! Apakah kau tidak kasihan kepada Yoshiko?” Istrinya mulai menitikkan air mata.
Raijin tersenyum, dan setelah menghela nafas panjang, ia melanjutkan kata-katanya, “Dengarlah... Tidak sepantasnya sebagai istri seorang samurai kau mengatakan hal itu. Tuan So memang sudah meninggal, namun tuanku yang sekarang adalah negeri ini. Negeri ini sudah berbaik hati menampung pelarian tanpa tujuan sepertiku, dan sudah saatnya aku membalas budi. Mengenai masa depanmu dan anak kita, janganlah khawatir. Aku sudah menulis surat kepada paduka Hojo mengenai keluarga kita, dan meskipun dalam surat balasannya ia tidak percaya kalau aku bisa berbuat apa-apa, ia berjanji akan memelihara keluarga kita kalau aku bisa ‘mendatangkan angin dewata’ sekali lagi.”
Perempuan itu memeluk tubuh suaminya erat-erat, dan ia pun membiarkan tangisnya lepas di bahu pria itu. Raijin mencoba menenangkannya, “Jangan khawatir. Cintaku akan selalu bersama kalian.”
Raijin segera bangkit dan menuju ke kamar putrinya. Gadis mungil itu tengah tertidur pulas. Setelah mengecup kening gadis itu, Raijin segera mengenakan bajunya. Dengan takzim, penuh rasa hormat, istrinya membantunya mengenakan baju zirahnya itu, meskipun air mata membasahi pipinya yang putih. Setelah ritual kehormatan itu selesai, Raijin segera bergegas meninggalkan rumahnya, menengok ke belakang untuk terakhir kalinya, menahan air mata dari sepasang matanya yang berkaca-kaca, sebelum kemudian melangkah ke dermaga untuk menumpang sebuah perahu dayung yang didayung oleh dua orang pengawal setianya, yang tak ubahnya seperti kawannya sendiri.
“Kanemaru, Sugihara, kalian tahu apa risikonya mengantarkanku kali ini?”
“Tuanku, kami siap mati! Asal musuh bisa dikalahkan, nyawa kami tak ada artinya. Tugas bagi seorang samurai memang berat bagai gunung, namun nyawa kami ringan seperti bulu.” Kanemaru menjawab dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun di kedua matanya. Sugihara pun juga menunjukkan raut wajah penuh ketegasan yang sama.
Raijin tersenyum. Untuk terakhir kalinya, ia menoleh ke arah tanah tinggi tempat rumahnya, negerinya, yang selama ini sudah berbaik hati menjadi naungannya. Mereka lalu menghela perahu itu sampai ke laut lepas. Setelah mendayung bergantian selama lebih dari satu jam, mereka melihat armada kapal di kejauhan.
“Inilah saatnya... Aku berterima kasih kepada kalian yang mau mengantarku. Jika kalian ingin kembali, inilah saatnya. Jika kalian tidak ingin kembali, kalian akan mati bersamaku.”
“Kami siap mati!”
“Ei ei!” teriak Raijin.
“Oh!”sahut kedua bawahannya itu dengan serentak.
Ei ei – oh adalah teriakan perang para kaum samurai Jepang sesaat sebelum memulai pertempuran.
Setelah meneriakkan teriakan perang mereka, Raijin lalu berdiri di atas perahunya. Dengan tenang ia mengangkat tangannya ke atas, lalu membuat gerakan memainkan langit. Segera saja langit yang sudah mendung itu menjadi semakin mendung, dan awan yang bertambah tebal itu pun berputar seiring dengan putaran tangan Raijin. Seperti yang ia tunjukkan pada mendiang tuan So tujuh tahun yang lalu, Raijin membawa awan yang berputar itu ke cakrawala, dan tepat ketika pusaran awan itu bertemu dengan permukaan laut, terbitlah badai dan topan yang sangat dahsyat, yang langsung menerjang kapal-kapal musuh itu seperti seekor naga raksasa yang menelan mangsanya bulat-bulat.
Badai itu berlangsung selama sejam, dan kapal-kapal musuh habis tak bersisa. Prajurit-prajurit Mongol yang ada di geladaknya tewas tenggelam, dan tak ada seorang pun yang kembali hidup-hidup. Setelah melihat badai yang sangat dahsyat menelan armada Mongol, Raijin langsung jatuh terkulai dan mengembuskan nafas terakhirnya. Badai itu pun akhirnya menerjang perahu kecil Raijin juga, dan ketiga orang itu pun ikut tenggelam. Namun senyum kemenangan terpulas tegas di wajah Raijin yang sudah memucat itu, puas karena kini dendam kesumatnya telah terbalas. Puas karena akhirnya ia bisa mati dengan tenang setelah membayar semua hutang budinya, terutama kepada negeri Jepang yang mau menampungnya.
Setelah badai itu reda, puing-puing kapal Mongol dan mayat-mayat pasukan yang malang itu hanyut terbawa arus dan terdampar di teluk Hakata. Orang-orang berkerumun dan memeriksa puing-puing itu, dan memang benar, armada musuh sudah hancur tanpa sisa. Segeralah tersiar kabar bahwa dewa lagi-lagi menolong mereka dan menurunkan kamikaze untuk menolong mereka. Namun Kikuchi mengetahui yang sebenarnya, dan ia memerintahkan agar keluarga Raijin dicari, agar ia bisa memenuhi janjinya pada mendiang Raijin.
Sayangnya, ketika anak buah Kikuchi sampai di kediaman Raijin, mereka menemukan nyonya Raijin sudah tewas bersimbah darah dengan paha terikat. Di depannya ada sepucuk surat. Nyonya muda itu sudah melakukan seppuku, ritual bunuh diri kehormatan dengan membelah perut sendiri, sebagai pemenuhan kewajiban seorang istri samurai ketika suaminya meninggal dunia. Dalam suratnya, ia mengatakan bahwa anak gadisnya yang masih sangat kecil itu sudah ia titipkan pada keluarganya, dan ia memutuskan bunuh diri untuk memenuhi kewajibannya dan kehormatannya sebagai seorang istri.
Ketika berita ini sampai ke pusat kekuasaan para shogun di Kamakura yang terletak jauh di timur, wali Hojo Tokimune segera memenuhi janjinya.Ia kemudian menyempatkan diri datang ke Hakata di barat, dan di sana ia mencari anak gadis Raijin. Anak perempuan itu kemudian ia jadikan anak angkatnya, dan nantinya akan dinikahkan dengan seorang pangeran dari keluarga kekaisaran. Sebelum meninggalkan Hakata, Hojo mendirikan sebuah kuil di Hakata yang ia tujukan untuk “Dewa Petir”, yang juga disebut Raijin dalam bahasa Jepang.
[Baik Lei Zhen ataupun Lei Shen (Dewa Petir) dalam bahasa Jepang semuanya dilafalkan sebagai Raijin.]
Jadi itulah asal mula kamikaze yang terkenal itu, karena seorang Shio Naga yang melarikan diri dari Tiongkok membantu samurai Jepang menghalau serbuan orang Mongol. Melihat efektivitas golok Mongol yang melengkung, para pandai besi Jepang kemudian mengubah desain pedangnya menjadi melengkung dengan hanya satu sisi tajam saja, dan terciptalah pedang katana yang legendaris itu.
.......
Setelah selesai dengan ceritanya yang panjang itu, Hu Shu menyandarkan bahunya ke belakang. Ternyata ketiga orang lainnya sudah berjejer rapi di sisi meja dan mendengarkan ceritanya, seperti anak-anak kecil yang mendengarkan cerita dongeng yang dibacakan oleh guru mereka.
“Kalian ini, seperti anak kecil saja didongengi oleh guru sekolah dasar...”
“Paman Hu, cerita yang ini kami belum pernah mendengar. Lagipula Guoshi memang masih kecil bukan? Ayo paman, ceritakan cerita yang lain lagi...”
“Sudah, sudah... Sekarang saatnya aku menceritakan latar belakang kisah kita pada Guoshi, supaya ia bisa memahami apa tugas dan perannya dalam misi kita. Kalian sudah pernah mendengar cerita ini, namun kalau kalian ingin didongengi lagi, silakan saja.”
Wang Ying dan Yu Yide tidak beranjak dari kursinya, dan seperti anak-anak sekolah dasar yang patuh, mereka duduk manis dan mendengarkan pria paruh baya itu bercerita. Hu Shu hanya menghela nafas lagi, dan tersenyum. “Baiklah anak-anak, aku akan menceritakannya lagi kepada kalian semua.”
......
Jadi memang di setiap generasi, ada saja shio-shio istimewa yang dilahirkan di tengah-tengah umat manusia, yang tujuannya adalah sebagai cahaya setiap generasi, pelindung umat manusia. Namun seperti yang dibilang tadi, ada saat di mana ke-12 shio itu dilahirkan di generasi yang sama.
Aku mendapatkan petunjuk ini dari mendiang guruku. Ia sendiri katanya adalah cucu dari mendiang pangeran Zaize, seorang bangsawan dari kekaisaran sebelumnya.
[Aisin-Gioro Zaize (1876-1929) adalah salah satu bangsawan Dinasti Qing yang masih paman jauh dari kaisar Tiongkok yang terakhir, Puyi.]
Ketika Pangeran Zaize memperbaiki makam ibusuri Cixi yang dihancurkan oleh tentara republik, secara tak sengaja ia menemukan gulungan kitab di balik jubah pemakaman ibusuri. Kitab itu katanya merupakan salinan plakat batu di makam kaisar Zhu Yuanzhang di Nanjing. Namun pangeran Zaize yang putus asa meninggal dunia dalam kemiskinan dan kemalangan. Keluarganya kemudian terpecah, dan cucunya, yang adalah guruku, memutuskan masuk biara dan menjadi biksu Buddha.
Di kitab itu tertulis semua rahasia tentang kekuatan dua belas shio, dan kapan saja waktunya kedua belas shio itu akan turun di waktu yang berdekatan. Entah takdir yang menuntun atau apapun itu, guruku menemukanku saat aku ditinggalkan orangtuaku lari mengungsi akibat banjir yang melanda provinsi Henan, kampung halamanku. Katanya saat itu usiaku 3 tahun, dan satu-satunya kata yang bisa kuucapkan adalah “Hu”. Maka mendiang guru memberiku marga “Hu”, dan karena aku suka bermain-main dengan koleksi buku-buku di biara, maka guru memberi nama “Hu Shu”. Atau mungkin karena ia tahu aku lahir di tahun tikus, maka ia memberi nama itu.
Namun guru tahu bahwa mungkin usianya takkan cukup untuk menanti kelahiran semua shio itu. Maka ia mengajarkan kepadaku semuanya tentang isi kitab rahasia warisan pangeran Zaize itu, termasuk apa-apa saja yang harus kulakukan sebagai pemimpin shio-shio yang lain. Termasuk juga berbagai mantra untuk membuka, menutup, atau melemahkan sementara cakra para shio yang kupimpin itu.
Setelah guru meninggal karena sakit, aku pun pergi meninggalkan biara. Tak lama kemudian pemerintah menutup biara kami, dan mengubahnya menjadi gudang mesiu. Aku pun mengembara sampai akhirnya ada orang yang mengaku agen rahasia pemerintah menemukanku dan memintaku untuk membantu mereka melawan musuh rahasia yang juga mengetahui rahasia ke-12 shio itu. Yang mereka maksudkan sebagai musuh adalah Sekte Teratai Putih. Sekte ini memang sudah dibasmi saat mereka memberontak di masa Pemberontakan Boxer di awal abad ke-20, tetapi ternyata masih ada sisa-sisanya yang melarikan diri dan mencari perlindungan di seluruh penjuru dunia. Ketika kekaisaran runtuh dan republik berdiri, ada beberapa yang kembali lagi ke Tiongkok dan membangun lagi sekte ini, namun mereka terus bergerak di bawah tanah sambil menunggu saat yang tepat untuk keluar dan mewujudkan cita-cita mereka, yaitu mendirikan kekaisaran yang dipimpin oleh Sekte Teratai Putih.
Dua orang yang kemarin mengaku sebagai paman dan bibimu itu, Guoshi, adalah anggota mereka. Yang pria adalah Chen Ming, nama aslinya adalah Li Hongjun. Yang perempuan adalah Bai Huli, “Si Rubah Putih”, nama aslinya adalah Su Yan. Ia adalah bekas aktris opera yang direkrut oleh Sekte Teratai Putih di Shanghai. Mereka berdua berbicara dengan logat Shanghai yang kental, bukan? Mereka selalu berusaha untuk menggagalkan usahaku mengumpulkan shio-shio yang lain, dan kali ini sudah kali ketiga Chen Ming gagal menghentikanku. Sesuai peraturan mereka, jika seorang utusan gagal menjalankan tugasnya sampai tiga kali berturut-turut, maka ia harus dibunuh. Itulah mengapa aku mengatakan pada Wang Ying untuk membiarkannya saja, karena bagaimana pun juga ia pasti akan dibunuh oleh pimpinannya.
.......
“Guoshi, apakah kau paham sekarang?”
Guoshi mengangguk dengan ragu. “Lalu bagaimana mereka bisa tahu siapa namaku? Bahkan mereka menunjukkan surat yang ditulis oleh kakak. Apakah kakakku mengenal mereka?”
Hu Shu menggeleng. “Tidak. Itu adalah salah satu trik Bai Huli. Ia dikenal sangat ahli meniru tulisan tangan. Wang Ying pernah jadi korbannya.”
“Benar. Aku hampir saja percaya bahwa istriku menulis surat padaku. Ternyata itu ulah Bai Huli.” Kata Wang Ying mengiyakan ucapan Hu Shu.
“Aku yakin Sekte Teratai Putih ini sudah punya akses ke orang-orang pemerintahan, dan mereka bisa mengakses data-data penting, termasuk data tentang keluarga dan latar belakang seseorang. Itulah mengapa, mereka ini sangat berbahaya. Untunglah mereka tidak menguasai mantra-mantra yang diajarkan mendiang guru kepadaku. Jika tidak, pasti akan gawat.”
Hu Shu kemudian bangkit dari kursinya. “Guoshi, kini setelah kau mengerti, aku akan mengembalikan kekuatanmu lagi. Apakah kau mau ikut bersama kami?”
“Ke mana? Aku ingin bertemu dengan kakak perempuanku dulu. Ia tidak tahu kemana aku pergi, dan setelah aku tahu kalau surat itu ternyata palsu, berarti ia tidak benar-benar menolakku.”
“Itu bagus.” Kata Hu Shu, “Tetapi Sekte Teratai Putih sudah mengetahui di mana kau tinggal. Jika kau tetap kembali ke rumah, mereka akan menemukanmu lagi. Meskipun kau punya kekuatan istimewa, tidak ada gunanya menghadapi mereka yang jumlahnya sangat banyak. Begini saja. Dalam mimpiku semalam aku mendapat penglihatan tentang ke mana kita harus pergi. Nanti di perjalanan, kau bisa menghubungi kakak perempuanmu. Jika saatnya sudah tepat, Sekte Teratai Putih sudah dikalahkan, aku yakin kalian bisa bersama lagi. Ingatlah, Guoshi, demi kedamaian dunia ini, kita semua harus berkorban.”
“Benar kata Paman Hu.” Wang Ying menimpali lagi, “Demi keberhasilan misi kita ini, aku rela meninggalkan anak perempuanku yang manis. Umurnya baru setahun, dan aku sangat merindukannya. Namun aku percaya kata-kata Paman Hu, bahwa nanti kami pasti akan bertemu lagi. Sabarlah, ini hanya untuk sementara.”
Guoshi pun mengangguk. Lalu ia menurut saja ketika Hu Shu kembali menempelkan tangan di dahinya. Segera perasaan hangat itu kembali muncul, dan semua urat nadinya menjadi sangat lancar dan juga hangat. Hu Shu pun membacakan Mahamutti Mantra, “Mantra Pelepasan Agung”:Bhagavan Sarva Tathāgatavajra
Sarva Siddhiṃ Me Prayaccha
Sarva Karma Su Ca Me Cittaṃ Śreyaḥ Kuru
Oṃ Āḥ Hūṃ Vajra Guru Padma Siddhi HūṃDalam gelapnya mata yang terpejam, Kwo-sai bisa merasakan ada cahaya terang bersinar di matanya. Ia seperti berada di sebuah kereta cepat, dan semua peristiwa dalam hidupnya terkilas dengan cepat di sisi-sisi penglihatannya, seperti sebuah rekaman film yang diputar mundur dengan cepat. Setelah semua rekaman itu berlalu, tiba-tiba ia merasa berada di sebuah kehampaan abadi, namun bukan rasa takut yang menghampirinya dalam kehampaan itu, melainkan sebuah perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Nampak samar-samar ada cahaya keemasan seperti batang pohon bercabang banyak dan berakar kuat, yang kemudian berubah menjadi sesosok figur terang bercahaya yang membentuk siluet patung Buddha dengan pedang di tangan kanannya, dan setangkai bunga teratai di tangan kirinya. Lalu perlahan ia membuka matanya, dan ia merasa kekuatannya kembali lagi. Ia mencengkeram tangannya perlahan-lahan, membuka dan menutup kepalan tangannya untuk merasakan kembali sensasi kekuatan yang pernah ia miliki.
“Apa kau sudah merasakan perbedaan?”Hu Shu bertanya pada Kwo-sai.
Kwo-sai lalu mencoba mengangkat meja di depannya dengan kekuatan telekinetik-nya. Berhasil. Meja itu terangkat tinggi dengan mudahnya sampai menyentuh langit-langit. Ia kemudian menurunkannya kembali dengan perlahan.
“Hei hei...., jangan kau lemparkan ranjang besar itu kepadaku lagi.” Kata Yu Yide menggoda.
Kwo-sai pun tertawa. Ketiga orang paman itu pun juga ikut tertawa. Kini ia merasa menemukan lagi keluarga yang bisa melindunginya. Ia melihat bahwa ketiga paman ini orang baik, dan ia bisa menemukan perlindungan dalam mereka.
“Baiklah. Kita harus bergegas. Kereta api dari Shenzhen akan berangkat pukul 3 sore, dan perjalanan kita akan cukup panjang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
12 (降世之十二生肖) - Buku 1 : Angin Berputar 第一册:狂暴的旋风
FanfictionDahulu kala di Tiongkok, dua belas Shio turun ke dunia dan dilahirkan menjadi manusia dengan kekuatan istimewa. Kerbau yang perkasa, Macan yang tak terkalahkan, Kelinci yang kecil namun mampu menggerakkan berbagai benda tanpa menyentuhnya, ataupun N...