Jika matahari dapat membuatmu tersenyum, mengapa masih menanti jingga?
"Justin"
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Hai Shana!" Shana menoleh ke arah si pemilik suara dengan wajah terkejut. Kehadiran laki-laki itu sontak saja menghentikan kegiatannya yang sedang mengikat tali sepatu.
"Loh? Inikan Justin, cowok yang nolongin aku kemarin? Ngapain dia ke sini?Kok dia tahu rumah aku dimana?"
"Hmm, kamu pasti bingungkan kenapa aku ada disini? Tenang, aku bukan sejenis psycho kok yang suka nguntit seseorang." Shana terheran dengan ucapannya. "Anak ini! Gimana aku gak nganggap dia psycho coba? Kemarin waktu dia nolongin aku, dia udah tahu namaku. Sekarang malah dia tahu dimana rumahku dan sepertinya dia juga bisa baca pikiran deh. Ganteng sih ganteng, tapi ga gini juga kali. Wah, aku mesti hati-hati dong sama dia. Eh, kalau dia bisa baca pikiran berarti dia bisa baca dong apa yang aku pikirin saat ini. Oh my God!! Ribett dah."
"Lama banget mikirnya. Kalau lagi mikir gitu, kamu makin cantik deh." Tuh kan, sekarang dia malah senyum-senyum tidak jelas. Jangan-jangan pipiku sudah bersemu merah karena pujiannya tadi.
"Eh, iya iya. Sorry, tadi ga nanggapin. Lagi heran aja. Loe ngapain ada di sini pagi-pagi? Tahu darimana rumah gue? Terus kemarin kok loe bisa tahu nama gue? Jangan-jangan loe emang psycho ya?" Eh, aduh Shana ngomong apaan sih ini.
"Ooh, wait, wait!! Kalau nanya satu-satu dong Shana. Apa gitu cara kamu buat berterimakasih atas kebaikan aku kemarin? Cara kamu yang seperti itu bisa nyakitin hati orang tahu."
"What? Mellow amat sih jadi cowok. Oke, gue sangat-sangat berterimakasih atas bantuan loe kemarin. Mungkin kalau loe ga datang tepat waktu, ga tahu deh nasib kepala gue gimana dan ya jelas dong gue curiga ama loe. Kemarin loe udah tahu duluan nama gue, sementara kita belum pernah kenalan dan kalau gue ga salah, loe tuh kayaknya anak baru deh soalnya gue belum pernah lihat loe di sekolahan."
"Hahahah, oke aku jelasin nih ya. Yups, aku emang anak baru. Baru seminggu ini pindah ke SMA Pelita Bangsa, tapi aku baru masuk kemarin karena sebelumnya aku terkena demam berdarah. Hmm, jadi kamu ga ingat ya kalau kita pernah ketemu?"
"Pernah ketemu? Kapan? Sementara loe aja baru masuk kemarin. Gimana kita bisa ketemu coba?" Shana memasang tampang super duper bego. Setan nih anak, gimana bisa Shana ingat nama semua murid yang dia temui di sekolah sebesar itu.
"Kita ketemu di kantin. Kamu ingat ga waktu teman kamu nabrak cowok di kantin. Nah, yang dia tabrak itu ya aku. Aku sempat dengar dia teriak nama kamu, maka dari itu aku jadi tahu siapa kamu. Dan ya, ketika kamu terjatuh itu aku baru balik dari kantin. Pas lewat kelas kamu aku dengar suara cewek teriak-teriak manggil nama kamu, aku lari deh buat ngelihat and gotcha, kamu jatuh tepat di tangan aku. Nah, ketika kamu jatuh itu handphone kamu ikut jatuh. Karena semua udah pada histeris ngelihat kamu pingsan, aku juga lupa ngembaliin handphone kamu."
"Oh, jadi cowok ganteng yang ditabrak Gwen itu loe?" Shana baru ingat insiden di kantin yang membuat Gwen mengatakan kalau Justin ganteng.
"Apa? Ganteng? Wah, makasih loh Sha udah muji aku." Justin memasang tampang menggemaskan, dan oh betapa sempurnanya makhluk Tuhan yang satu ini diciptakan.
"Huuh, mulai deh. Baru juga dipuji dikit, udah melayang kayak balon. Awas ntar meletus yang keluar uap semua." Shana mengejeknya sambil tertawa cekikikan. "Oh iya terus waktu kita ketemu di ruang UKS, kenapa gak loe kembaliin sama gue?"
"Nah, waktu aku mau ngomong itu sama kamu teman kamu tiba-tiba muncul."
"Oh, Gavin!" Shana mengucapkan nama itu dengan ketus. Shana baru ingat nama itu yang merusak moment cutenya dengan Justin. Shana juga baru ingat kalau handphonenya terjatuh. Setelah kejadian di mobil dengan Gavin, dia langsung nangis dan tertidur jadi tidak kepikiran buat nyari handphone. Untung aja nih anak jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let Me Go (proses)
Teen FictionTakdir memang sulit ditebak. Ia tak pernah sekalipun berpihak padaku. Aku sudah lelah menghadapi setiap penolakan dalam hidupku. Mama, kak Kenzo bahkan Gavin. Tak ada satupun dari mereka yang menggapai uluran tanganku saat aku butuh pegangan. Hany...