Entah apa yang merasuki ku malam itu untuk pertama kalinya aku kembali berdoa kepada Tuhan, entah untuk menjaga atau merajuk. aku bahkan berdoa dalam keadaan tidak suci. Entah untuk menjaga Negara ini akan cecunguk Belanda atau Jepang yang mungkin kembali atau memohon agar nyawaku diambil apabila itu terjadi. Malam itu pula Kliwon, teman kecilku datang mengetuk pintu rumah dengan wara-wiri yang membuat bapak dan ibuku merenggut kesal. Saat ku buka pula laki-laki itu langsung masuk dan menyalami bapak, ibuku.
"Bu, Inggris datang ingin melucuti senjata Jepang" katanya dengan memasang wajah serius. Bapak dan ibuku pun bingung bukan kepalang, pasalnya yang ingin dilucuti itu senjata tentara Jepang, lalu kenapa pula Kliwon datang dengan tergesa-gesa bak kehabisan dalaman?
Kliwon yang sadar akan radar kebingungan yang dikeluarkan aku, ibuku, dan bapakku pun langsung berdeham dan melanjutkan. "Aku punya firasat kalau kita akan dilucuti pula. Aku tidak pernah mempercayai apapun alasan mereka" mereka berbincang dan berbincang, sedangkan aku membuat kopi yang langsung kusuguhkan di atas meja untuk Kliwon.
Bapak dan ibuku pun ikut berpikir ada benarnya pula Kliwon, tetapi mereka cepat-cepat menepis pikiran itu sebab bapak dan ibuku adalah orang yang selalu berpikiran positif terhadap apapun, yang terkadang tidak membantu seperti saat mereka harus menyerahkan tanah pada Belanda pun mereka selalu positif sampai-sampai raib semua harta.
"Won, mungkin memang mereka hanya ingin melepaskan sandera dan melucuti Jepang saja" tutur Ibuku yang diikuti dengan anggukan Bapak serta aku.
Kliwon pun hanya mengangguk dan berkata kalau mungkin ini semua hanya prasangka buruk mengingat apa yang telah dialami bangsa ini selama kurang lebih beberapa abad lamanya. Kliwon pun mengajakku berbincang di luar sambil membawa kopi yang kusuguhkan untuknya tadi. Ia bilang ia mungkin akan tetap menjadi tentara rakyat mengingat datangnya Inggris yang bisa-bisa menjurus pada hal lain. Dan juga ia berkata mungkin ia akan ditugaskan di luar kota. Tak ada yang dapat aku pikirkan maupun ku ucapkan. Tenggorokan ku tercekat entah apa sebabnya.
"Kenanga, dalam dua sampai tiga bulan ke depan aku pun tak tahu akan ditugaskan kemana—"
Kliwon terdiam untuk beberapa saat dan hanya menatap kepulan asap kopi ataupun menatap langit yang tak berbintang malam ini. Aku hanya menatap bulu matanya, entah apa tapi ia memiliki bulu mata yang indah. Tuhan terkadang tidak adil dalam memberi.
"Aku terdengar gila bila mengatakan ini—tapi aku harus." Kliwon menarik napas gusar dan matanya menatap bola mataku lekat-lekat. "Menikah denganku, sebelum aku pergi ditugaskan entah kemana, paling tidak kita tunangan"
Kepalaku hampir pecah, telingaku mendadak tuli, bahkan bernapas pun harus bersusah payah.
"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku menguatkan segala otot-otot bibir dan rahang. Aku senang. Aku bahkan bisa teriak-teriak kalau aku kuat dan tentu saja tidak punya harga diri. Setidaknya dalam beberapa tahun aku hidup, ini adalah hal paling membahagiakan yang terjadi.
"Karna aku takut kau akan hilang, dan aku yang tak sempat" jelasnya sambil menatap kopi kembali. Kami hening selama beberapa saat dan hanya menikmati semilir angin yang lewat tanpa permisi.
"Won, lakukan dengan benar pada bapak dan ibu. Aku—mau" jawabku pelan. Malu tentunya. Dirinya hampir menjatuhkan gelas kopi lalu tersenyum sumringah dan terus berkata bahwa ia akan melamar dengan benar di hadapan bapak dan ibuku.
Satu lagi doa yang ku panjatkan pada Tuhan malam itu, semoga aku bisa menghentikan waktu dan mengulangnya untuk beberapa dekade.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAMAKU KENANGA
Historical FictionKisah hidup Kenanga yang hanya bisa dijadikan kenangan pilu. Negerinya penuh dengan cecunguk, hidupnya hanya sebatas gundik, prianya tidak bisa bereinkarnasi.