Chapter 7

1.1K 124 1
                                    

Kurang? Bagaimana kisah mereka? Langsung ke TKP. 

Happy reading!

===========================================

Sang tuan Malfoy dengan pakaian khasnya —hitam-hitam berjas rapi— sedikit gelisah menanti sesuatu yang akan segera muncul di perapian rumahnya.

"Jam berapa Harry datang?" Astoria membenarkan kancing Draco yang tak terpasang sempurna.

"Mungkin lima menit lagi," jawab Draco singkat.

Astoria tiba-tiba tersenyum. "Kau tampak gelisah sekali, sayang. Seperti mau kencan saja," ia menepuk dada Draco pelan. Kebiasaannya saat sedang bercanda dengan suaminya.

"Mungkin acaraku hari ini seperti kencan. Tapi kau perlu tahu, love. Aku masih laki-laki normal,"

"Aku sudah membayangkan bagaimana Harry menggenggam tanganmu sambil memanggil 'love'—"

"Akan aku coba nanti!" suara pria terdengar dari ruang keluarga. "Tapi aku tak tanggung jawab kalau kau nanti cemburu denganku, Mrs. Malfoy!"

Harry datang dengan kemeja hijau tua bermotif titik-titik berpadu blazer abu-abu panjang hampir menyentuh lutut. Casual namun tetap rapi. Tak lupa celana jins dan kacamata bulatnya yang tak pernah dilepas selain saat tidur.

"Kalian sudah gila!" pekik Draco sebal. Harry dan Astoria sukses dibuat terbahak karena Draco uring-uringan. Sudah lama juga ia tak digoda seperti itu.

Draco mengambil tas hitamnya siap untuk pergi, "kami pergi dulu, Mrs. Malfoy," kata Harry setelah Draco mencium istrinya sama-sama berpamitan.

"Hati-hati di jalan, good luck!" Astoria terus mengiringi kedua pria itu sampai menghilang tepat di depan pintu.

***

Diagon Alley sedang penuh dengan para penyihir berlalu lalang. Mayoritas mereka datang dengan keluarga yang tak jarang ada beberapa anak kecil yang ikut bersama. Berbeda dengan Harry dan Draco, mereka bukanlah keluarga. Berteman dekatpun baru beberapa tahun, jauh lebih lama menjadi musuh.

"Sejak kecil, aku tak pernah membayangkan akan jalan berdua denganmu di Diagon Alley, Potter," kata Draco berjalan di sisi kiri Harry.

"Ahh rupanya kau tertarik juga dengan gurauan istrimu tadi, Malfoy? Kau genit juga. Haha,"

"What?"

"Lupakan. Aku tak mau kejadian kurang lebih 30 tahun lalu terulang kembali. Aku masih suka kedamaian," ujar Harry hampir saja mengeluarkan kuda-kuda seperti akan berduel dengan Draco saat mereka di tahun ke dua. Untung Draco tak sampai naik darah.

Draco berdehem, "iya.. aku juga sudah capek bertahun-tahun menyandang sebagai musuh bebuyutan Harry Potter sejak tahun pertama. Mungkin kita minggir dulu. Kita mulai dengan melihat apa saja yang sekiranya lebih dulu dibeli. Kau bawa cukup galleon, kan?"

"Memangnya kenapa? Harga bahan-bahan itu mahal?" Harry terkejut. Harry memilih menepi di Florean Fortescue's Ice Cream Parlour. Tempat favoritnya sejak masih bersekolah di Hogwarts. Begitu pula dengan putri bungsunya, Lily. Gadis kecilnya itu sama dengannya, tiap kali mengunjungi Diagon Alley tak sempurna jika tak mengunjungi tempat yang sudah kembali beroperasi meski sang pendiri telah tiada.

"Tenang saja, satu kantung besar sudah lebih dari cukup. Tak perlu membawa semua isi brankasmu dan gaji satu tahunmu sebagai Auror," kata Draco sarkastik.

"Oke, Mr. Malfoy!" jawab Harry lemas lantas menyantap es krim yang dipesannya.

Selagi Harry menyantap es krim sundae-nya, satu persatu Draco mencatat kembali beberapa bahan yang akan dibeli menggunakan bahasanya sendiri. Lebih baik diterjemahkan dan langsung dicatat akan lebih mudah dibandingkan ia harus mengartikan satu persatu saat di toko nanti.

Petaka Dreamcatcher (time travel fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang