Kenyataan memang pahit. Tapi ingat, itu semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Yang terpenting, ambil segala hikmah dari kenyataan pahit tersebut.
Gerbang bercorak perpaduan warna antara orange dan kuning itu terbuka. Dira yang baru saja memasuki halaman rumahnya setelah menutup kembali pintu gerbang.
Dengan wajah lelahnya dia nampak tak punya semangat hidup.
"Assalamualaikum." Ucapnya saat memasuki rumahnya.
Tak ada seorang pun yang dilihatnya saat memasuki rumah. Mungkin mamanya sedang istirahat atau sedang menyiram tanamannya yang berada di belakang rumah. Papanya juga saat sore begini masih berada dikantornya. Dan Dion sedang pergi bersama Lala.
Dira langsung berjalan kearah tangga dan menuju ke lantai dua dimana kamarnya berada. Sesampainya di kamar, Dira langsung membuka pakaiannya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selepas menjalankan aktivitasnya, Dira berjalan ke tempat tidur dengan membawa sebuah novel ditangannya. Dia membuka halaman pertama novel tersebut. Dia membaca kata demi kata pada novel itu tapi tak ada satupun kata yang masuk dipikirannya. Raganya ada disitu tapi pikirannya berkelana kemana.
Dia memikirkan berbagai pertanyaan dibenaknya, Apakah aku harus memberitahu papa dan mama? Bagaimana caranya memberitahu papa dan mama? Apa yang akan terjadi bila papa dan mama mengetahui penyakit yang aku derita?. Dan berbagai pertanyaan itu langsung ditepisnya dengan membuat sebuah keputusan untuk memberitahu keluarganya mengenai penyakit yang di deritanya. Bagaimanapun juga kedua orang tuanya harus mengetahui penyakit ini.
Perlahan tapi pasti matanya tertutup bersamaan dengan datangnya mimpi yang indah tanpa adanya satu permasalahan di mimpi tersebut.
⚫⚫⚫
Sebelum adzan Maghrib berkumandang, Dira telah bangun dari mimpi indahnya. Dalam tidurnya dia bermimpi bahwa keajaiban Tuhan akan datang padanya. Dan dia percaya akan adanya keajaiban Tuhan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Hanya Tuhan yang tahu. Kita hanya bisa mengikuti skenario yang telah Tuhan buat. Dan skenario yang Tuhan buat adalah skenario yang paling indah dan yang paling terbaik untuk kita.
Setelah adzan Maghrib suara Mamanya yang menyuruh Dira untuk segera melaksanakan sholat Maghrib berjamaah di Masjid komplek rumah.
Selepas menjalankan kewajibannya, Dira kembali turun kebawah untuk makan malam bersama keluarganya. Dan di momen inilah dia akan memberitahu keluarganya mengenai penyakit yang di deritanya.
"Tumben lo gak cerewet." Ujar Dion saat Dira baru saja duduk di kursi yang berada di samping Dion.
"Lagi gak mood ngomong."
"Hem... Pa, Ma udah makan malam ini, ada yang pengen aku omongin sama mama dan papa." Ucap Dira sambil melihat kearah Papanya yang duduk di samping Mamanya yang tengah mengambil makanan untuk Dira.
"Emangnya mau bicara apa Dir.?" Tanya mama Dira bingung.
"Ehm...entar aja mah. Udah makan baru aku mau ngomong."
"Yaudah, setelah makan kita kumpul di ruang keluarga." Ujar papanya.
Sebelum makan, Dira mendengar suara Dion yang berbisik padanya. "Emang lo mau ngomong apaan sih? Kepo gue."
"Entar aja ah. Mau makan dulu ini. Lapar gue."
Setelah makan malam, semuanya berkumpul di ruang keluarga. Papa dan mamanya duduk di atas sofa. Dira dan Dion duduk di lantai dengan alas sebuah karpet yang empuk.
Sesaat semua mata yang berada di ruang keluarga melirik kearah Dira. Suasana begitu tegang menunggu Dira mengeluarkan suara.
Selang 3 menit semuanya duduk terdiam, akhirnya Dira mengeluarkan suaranya. "Ehm...anu...ehm aku, aku mau ngomong sesuatu." Ujarnya gugup.
"Ngomong aja kali. Kayak orang mau kawinan aja." Ucap Dion mencairkan suasana yang tegang.
"Hush, sembarangan kalau ngomong." Ucap Mama Dira. Dion hanya terkekeh mendengar penuturan mamanya.
"Tunggu, aku mau ngambil sesuatu dulu di kamar." Setelah mengucapkan kalimat itu, Dira segera berlari menuju kamarnya.
Dira memasuki kamarnya dan mencari amplop yang berisikan kertas diagnosis dokter beberapa hari yang lalu. Dia mencari amplop tersebut dan menemukannya di laci nakas. Perlahan dia mengambil amplop tersebut. Tangannya bergetar memegang amplop berwarna putih itu. Sesaat dia terdiam untuk menormalkan detakan jantungnya. Setelah dirasanya jantungnya kembali normal, dia kembali turun ke lantai bawah.
Baru saja duduk di karpet, Dion langsung memberikan pertanyaan padanya, "Apaan dah tuh," Ujar Dion sambil menunjuk amplop yang dipegang Dira.
"Isinya uang yah? Eh tapi kok ada tulisan nama rumah sakit yah?" Lanjut Dion bingung.
"Diem dulu ah." Ketus Dira.
"Iya. Ketus amat dah." Balas Dion sambil mencibirkan bibirnya.
"Eh, eh, sudah, sudah. Kok malah kalian yang ribut," Ujar papanya.
"Jadi, Dira kamu mau ngomong apa?." Tanya papanya.
Dira hanya diam. Tak mampu mengeluarkan suara. Dia tak tahu harus darimana dia memulai. Degupan jantungnya kembali terdengar. Kegugupan kembali menerpanya.
Tak bisa. Dia tak bisa terus berdiam diri. Akhirnya hal yang pertama dilakukannya adalah memberikan amplop itu kepada papanya.
Papanya mengambil amplop yang Dira berikan dengan tatapan bingung. Seolah olah bertanya Ini apa? dengan tatapan yang diberikannya. Apalagi pada amplop tersebut terpampang dengan jelas nama rumah sakit dimana dirinya mengecek kondisinya yang dilakukan pada beberapa hari lalu.
Tanpa menunggu waktu lagi, papa Dira dan juga mamanya membuka, membaca, dan memahami apa yang tertulis di dalam kertas itu. Dan betapa terkejutnya papa sekaligus mama Dira setelah membaca bagian paling akhir pada kertas tersebut.
"Innalillah," gumam papa Dira sambil memegang dadanya. Betapa sakit hati orang tua apabila mengetahui penyakit yang diderita oleh anak gadis satu-satunya. Apalagi ini adalah penyakit yang paling mematikan. Terlebih lagi seorang ayah. Orang yang rela menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah demi anak yang sangat dicintainya.
Sementara itu mamanya sudah tak sanggup lagi membendung air matanya. Seketika air matanya tumpah. Dia langsung memeluk Dira yang duduk di karpet. Dira membalas pelukan mamanya, dia juga ikut menangis. Menangis dengan sangat pelan. Dia tak mau terlihat lemah. Dia bisa. Dia mampu. Dan dia kuat melewati semua ini.
Dion yang bingung melihat Dira dan juga mamanya yang menangis sambil berpelukan, segera mengambil kertas yang saat ini masih berada di genggaman sang papa.
Sesaat dia termangu setelah membaca lembaran kertas itu. Dia jatuh terduduk dengan tangan gemetar memegang kertas itu. Matanya panas. Tak mampu ditahannya. Air matanya jatuh, tapi segera dihapusnya. Hatinya perih. Menahan sakit. Sakit yang sangat mengejutkannya pada sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa saudara satu-satunya, adik kembarnya, harus melawan penyakit yang paling mengerikan sekaligus mematikan.
"Hiks... kenapa Dir? Kenapa? Kenapa ini nak?" Sambil masih terus menangis mamanya menangkup wajah Dira dan bertanya padanya.
Dira hanya menggeleng pelan sambil masih terus menangis tanda dia tidak tahu. Dia juga tidak tahu apa yang telah salah pada dirinya sehingga dia mengidap penyakit ini.
Dengan masih menangis di pelukan sang mama, terdengar suara papa Dira yang berbicara dengan nada sangat serius.
"Secepatnya, Papa akan membawa Dira ke Singapura untuk pengobatan." ujar Papa Dira.
-------------
Hamlilah update lagi. Sorry kalau ada typo.
Update ga tentu yah.
Doain semoga cepet update.💕15 September 2017.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gone
Teen FictionKau! Kau sungguh tega meninggalkanku. Meninggalkan sejuta kenangan yang telah engkau torehkan kepadaku. Meninggalkan beribu ribu rasa cintaku padamu. Meninggalkan seribu alasan yang tak pasti. Meninggalkan ratusan pertanyaan dibenakku. Meninggalkan...