"KAMU JAHAT, MAS!" bentak seorang wanita berambut cokelat padaku.
"Maafkan aku, Gladis Honey," bujukku. "Aku enggak bermaksud terlambat menjemputmu, kamu lihat pekerjaanku, bukan?" Kutunjukkan setumpuk kertas di atas meja kerjaku.
"Bulshit!" hardik Gladis, detik berikutnya ia membanting pintu ruang kerjaku.
Kubiarkan ia berlalu dengan emosi. Aku memang mencintainya lebih dari segalanya. Tapi, sikap kekanakannya terkadang membuatku kehilangan harga diri di depan karyawan-karyawanku.
Seorang gadis lain mengetuk pintu yang ditinggalkan Gladis begitu saja. Perlahan ia masuk dengan kepala merunduk. Tubuh mungil, riasan sederhana, dan dibalut dengan pakaian kerja ketat, kemeja putih dan rok di atas lutut warna kelabu.
"Maaf, Pak," ucap gadis itu. "Haruskah saya mengejar Bu Gla ...."
"Tak perlu," jawabku. "Lanjutkan saja kerjamu, Laura."
Laura pun kembali merunduk dan berlalu ke luar ruangan. Ia sekretarisku, terkadang ia memang kuminta membujuk Gladis. Tapi, untuk sekarang ... biarlah Gladis dengan emosinya. Tak apa sekali-sekali kuabaikan, agar ia tahu rasanya dicampakkan.
=>♡<=
"Mas, kumohon jangan putusin aku," rengek Gladis. Bulir cairan bening membasahi pipi putih mulusnya.
"Tapi, aku merasa sudah enggak bisa lanjut sama kamu, Gladis," tuturku berusaha meyakinkan.
"Mas, demi bayi kita." Gladis berlutut di kakiku.
"Apa maksudmu?"
"Mas Leo, aku ... hamil," lanjut Gladis.
"Apa?"
"Sudah malam, Pak," ujar Laura, menyentakkan lamunanku.
Kulihat ke luar jendela, benar saja langit penuh bintang. "Kamu belum pulang, Laura?"
"Saya menemani Bapak lembur," sahutnya.
Kumatikan laptop yang sejak tadi hanya menyala tanpa kugunakan sama sekali. Handphone-ku yang sejak tadi berdering karena berbagai panggilan bisnis dari klien kuambil dan kubanting ke tembok, membuatnya pecah berkeping.
Kulirik Laura, ia menunduk. Tampak takut dengan perlakuanku barusan.
"Kemarilah," ujarku.
Laura berjalan ragu mendekatiku.
Aku yang sudah sarat akan emosi sontak berdiri dan menyeret lengan sekretarisku ini ke sofa putih di sudut ruanganku. Sementara ia sama sekali tidak melakukan penolakan atas sikapku.
Sejengkal sebelum kami mencapai sofa, aku berbalik. "Kamu bisa memijat?"
"Bisa, Pak," jawab Laura, matanya tampak berbinar menatapku.
"Tolong pijitin saya," pintaku seraya duduk di ujung sofa tanpa sandaran lengan itu.
Laura memposisikan dirinya di belakangku. Tangannya mulai memijat kedua bahuku.
"Laura."
"Ya?"
"Berapa usiamu sekarang?" tanyaku memecah kekakuan.
"Dua puluh satu, Pak," jawabnya.
"Hanya beda dua tahun ya dari saya," tambahku.
"I-iya, Pak," timpal Laura. "Mungkin Bapak lupa kalau saya adik kelasnya sewaktu SMA."
"Oh ya?" Aku berbalik menatapnya yang duduk di belakangku.
Sontak saja ia menghentikan pijatannya.
"Kalau gitu kamu enggak pantes dong manggil saya Bapak," selorohku.
"Tapi, Bapak kan atasan saya sekarang," tandas Laura.
"Heeemmmm ... gantilah panggilanmu terhadapku itu," pintaku seraya bersandar di sandaran sofa begitu dekat dengannya.
"Ganti?" Laura menatapku ragu.
Jarak yang terlalu dekat membuat indera pembauku mencium aroma farfum buah-buahan darinya. Sungguh nikmat tersendiri aromanya merasuki paru-paruku.
"Ya, saya tidak suka dipanggil Bapak sebenarnya," jelasku.
"Lalu apa?"
"Terserah kamu," ujarku memancingnya.
"A-Abang?"
"Boleh."
"Benarkah?" Laura tampak berbinar entah kenapa terhadap obrolan sepele seperti ini.
"Ya, kenapa enggak." Kusunggingkan senyuman. "Kamu enggak dicariin orang tua kamu? Ini sudah larut loh." Aku melirik arlojiku.
"Saya indekost, Pak ... eh, Bang," jawabnya.
Manikku menangkap semu di wajahnya. Entah berapa lama gadis yang hanya lulusan SMA ini menjadi sekretarisku, baru kali ini kulihat ia tersipu malu.
"Oh, kebetulan," ujarku. "Kamu bisa masak?"
"Bisa," jawab Laura.
"Memasaklah untukku di rumahku malam ini saja," pintaku.
Laura mengangguk dengan mantap. Rambut ekor kudanya bergoyang sempurna.
"Tapi ... apa kamu tidak capek, Dek?" tanyaku dengan panggilan baru.
"Eh ... enggak kok, Bang," jawabnya. Rona merah kembali terpancar di wajahnya.
"Yuk," ajakku seraya berjalan mengambil jasku di sandaran kursi kerjaku.
=>♡<=
Aku sudah terlelap di sofa ruang tamu saat kucium aroma masakan yang menguar dari dapur. Perut kosongku memintaku untuk bangun. Tapi, rasa lelah membuatku enggan untuk sekedar membuka mata.
Kurasakan kehadiran Laura duduk di samping tubuhku. Aku mengenalinya dari aroma farfumnya.
"Bang, semuanya sudah matang, mau makan sekarang?" tanya Laura.
"Lima menit lagi," tawarku yang terlalu lelah.
Laura terkekeh. "Kalau gitu boleh aku pinjam kamar mandinya?"
"Pakai saja," jawabku.
"Tapi, aku enggak bawa pakaian, Bang," ujar Laura lagi. Aku baru sadar ia mulai berbicara aku-kamu padaku.
"Pakai saja pakaianku di ruang pakaian samping kamar atas," tandasku.
"Abang," panggilnya lagi. "Mandi bareng yuk."
Sontak saja pertanyaannya membuatku membuka mata selebar-lebarnya.
"M-maaf." Laura tampak merasa bersalah. "Aku mandi dulu." Ia pun berlalu ke kamar mandi yang ada di dekat dapur.
Ajakannya tadi membuatku berfantasi macam-macam. Bagaimana jika aku bergabung mandi dengannya? Seberapa molek tubuhnya? Ah ... aku selalu suka tubuh wanita di bawah guyuran air.
Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi dengan segala pikiran tentangnya--yang di dalam sana. Kecipak air yang diciptakannya menjadi instrumen tersendiri bagiku. Membuat ereksiku nyaris mencuat meminta keluar dari resleting celana katunku.[]
Mack, 30 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch My Heart: Ketika Cinta Datang Terlambat
Romance"Di sini, Bang?" "Ya, di situ," jawabku menahan deru napas. "Teruslah, Manis ... ya di situ."