=>7<=

23.2K 141 2
                                    

Hidungku mengendus aroma nikmat arabika. Tapi, mataku enggan menatap terangnya dunia. Hingga belaian lembut menyisir helai rambutku, barulah mataku memicing perlahan.

"Kopi, Bang," bisik Laura. Napasnya menyapu daun telingaku. Ia meletakkan dagu lancipnya di pundakku dengan tangan kanan masih di kepalaku dan tangan kiri bermain di bibirku.

Perlakuan manis sekretarisku ini sontak membuat sudut bibirku membingkai senyuman. "Makasih," ujarku. Aku menelentangkan tubuh, ingin lebih leluasa menatapnya.

"Abang pules banget tidurnya," ucap Laura. "Sampai anunya bangun dicuekin."

Kumainkan ujung rambut Laura dengan jari telunjuk. "Emang kalau anunya bangun kenapa?"

"Aku jadi horni, Bang." Laura mendekatkan wajahnya padaku. Ia menyentuhkan bibirnya di bibir bawahku. "Aku suka aromamu saat bangun tidur." Ia mengulum bibirku, perlahan lidahnya pun mempermainkan lidahku.

Aku hanya mengikuti permainannya. Mengabaikan di mana kami sepagi ini. Kurasakan tangan Laura mulai bermain nakal di milikku. Ia mengusap pelan celana katun yang kukenakan sejak kemarin. Jemarinya menarik resleting, memasuki celana dalamku, dan mulai menyentuh ereksiku dengan ujung jarinya.

Aku mendorongnya perlahan. "Sebaiknya kita pulang," ujarku. Aku berdiri begitu saja.

"Tapi, Bang," protes Laura. Maniknya menatap secangkir kopi di atas meja.

Aku menyeruput kopi itu sebagai penghargaan untuknya. Kusunggingkan senyum sembari menutup cangkir kopi dengan piring kecil di atas meja. "Mau ikut?" tawarku.

Laura mengangguk kuat.

Air hangat menjalari sekujur tubuhku di bawah shower, saat kudengar ketukan di pintu kamar mandi.

"Ya?"

"Bang, Laura boleh ikut?"

Kubuka pintu kamar mandi. Di balik pintu kulihat Laura hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuhnya. Retinanya membulat menatap bagian bawahku. Tanpa ijinku, ia masuk ke kamar mandi dan menutup pintu di belakangnya. Ia menyampirkan handuknya di sebelah handukku, menampilkan kulit putih mulusnya.

Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang menyambut perlakuan Laura. Ia melangkah perlahan ke arahku, menatap mataku, sambil sedikit menutupi kemaluannya dengan tangan.

"Kenapa ditutupin lagi?" tanyaku.

Laura tersipu sambil menggigit bibirnya. Ia memindahkan lengannya ke leherku sambil terus menyelami mataku.

Aku pun menyambutnya dengan mengusap pinggang dan bokong sintal Laura. Kugerayangi leher dan pundaknya terlebih dahulu, membuatnya merintih perlahan. Kuangkat tubuh mungilnya, membuatnya berdiri di atas kloset. Posisi yang memudahkanku melumat dadanya.

Laura meremas rambutku, saat aku menyisakan bercak merah di dadanya dari bibirku. Kupermainkan putingnya dengan lidah, membuat bokongnya sedikit menari erotik, aku yakin vaginanya mulai basah.

Namun, kali ini aku tidak mau kalah dalam permainan ini. Sambil terus mempermainkan payudaranya dengan isapan-isapan, tanganku menggerayangi bagian-bagian sensitif tubuhnya. Sesekali kuremas bokong sintal itu. Membuat Laura mengharapkan jariku bermain di klitorisnya. Tapi, aku masih terus menghindari bagian itu.

Kuturunkan serangan kecupanku ke bagian perutnya, hingga ke bulu-bulu halusnya. Laura mengangkat kakinya ke bahuku, membuka liangnya yang sudah benar-benar basah dan berdenyut. Kuserang klitorisnya dengan jilatan-jilatan kasar. Aroma kenikmatan Laura pun memenuhi paru-paruku.

"Terus, Bang ... aaahhh ...!" Ia membenamkan wajahku ke selangkangannya. Laura bahkan menggoyangkan pinggulnya maju-mundur seiring jilatanku.

Kuhentikan goyangannya dengan mencengkeram bokongnya dengan kedua tangan. Kemudian, kumasukkan lidahku ke liangnya dan kujilati ia dari dalam. Membuat Laura mengejang dan semakin kuat mencengkeram rambutku.

"Aaawwwsss ... aaahhh ...!" Detik berikutnya cairan kenikmatan Laura menyembur mengenai wajahku. "Aaah ... Abaaang ...!"

Aku tersenyum puas menatap wajahnya. Kulihat ia menggigit bibir bawah dan mengatur napas.

Laura menunduk sembari mengalungkan lengannya di leherku. Ia mengusap wajahku yang terkena cairannya dengan tangan lain. Perlahan ia pun turun dari kloset sembari menciumiku. Tangan mungilnya sedikit kesulitan berpegangan padaku, karena tubuhku masih basah oleh air bercampur keringat.

"Bang, aku punya solusi untuk perusahaanmu," bisik Laura saat aku tengah memijit pelipis dengan setumpuk berkas di meja kerjaku.

"Apa?" Aku menatapnya, kupikir ia akan memberiku angin surga lagi di siang yang memusingkan ini. Kulihat raut wajahnya tampak serius.

"Begini, Bang ...." Laura menjelaskan padaku soal pinjaman dari bank dengan menggadaikan tempat perusahaanku berdiri. "Hanya itu satu-satunya cara mendapatkan dana tercepat, Bang," tutup Laura.

Aku terhenyak di sandaran kursi. "Tapi, bagaimana kalau kita kalah dalam tender kali ini?"

"Bang, kamu punya banyak karyawan berkompeten di sini yang membutuhkan usahamu terus berjalan. Kamu enggak mau kan kita semua jadi pengangguran? Begitu juga kami, Bang. Aku yakin mereka semua siap bekerja dalam tim, Bang. Kamu enggak sendirian di sini," tutur Laura.

Aku tersenyum senang dengan gagasannya. "Baik, aku akan mengikuti usulmu," ujarku.

"Yes!" Laura tampak berbinar. Ia bahkan bertepuk tangan.

"Tapi ...."

"Tapi apa, Bang?"

"Ada dua syarat."

"Apa tuh?" Laura menyentil hidungku pelan.

"Pertama, adakan pertemuan dengan semua karyawan."

Laura mengangguk. "Kedua?"

"Jelaskan sesuatu padaku tentang perasaanmu!"

"Maksud Abang?"

"Semalam kamu bilang kalau kamu udah lama mencintaiku, sejak kapan?"

Laura menggigit bibir bawahnya. Manik indahnya menatap jemarinya yang saling bertautan.

"Laura," panggilku.

Laura hanya berani menatap sekilas padaku. "Aku malu, Bang."

"Kenapa harus malu?" Aku berdiri dan mengangkat dagunya dengan satu jari.

"Itu sudah terlalu lama," ujar Laura. Ia benar-benar tidak berani menatap mataku.

Aku tersenyum sembari mendekapnya dengan kedua tangan. "Katakanlah, kumohon."

"Waktu itu kamu selalu dimiliki gadis lain. Kamu bahkan enggak pernah sekali pun memerhatikanku," lirih Laura.

Aku diam saja, memberinya ruang untuk bicara.

"Satu SMA, Bang," tutur Laura.

Aku masih mendekapnya sembari mengingat-ingat, yang mana Laura ketika itu.

"Abang sudah dua SMA," tambah Laura.

"Wah, jadi aku punya pengagum rahasia? Keren," ejekku sambil melepaskan dekapanku.

Laura memonyongkan bibirnya. "Iiissshhh ... Abang!"

Aku tertawa lepas, padahal aku sama sekali tidak mengingatnya sebagai adik kelasku. "Boleh tau siapa yang pertama kali merenggut mahkotamu, Laura?"

Laura menggeleng dengan kuat.

Aku mengernyit, aku yakin waktu di kamar mandi itu Laura sudah tidak perawan lagi.

"Aku punya banyak fotomu di kamar, Bang." Laura menunduk, jemarinya mencolek-colek permukaan celanaku.

"Terus?"

"Aku ...." []












Mack, 15 November 2018

Touch My Heart: Ketika Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang