=>6<=

25.4K 150 3
                                    

Aku benci segala tetek bengek soal kerjasama, investasi, dan lain-lain. Semuanya terasa sangat menyebalkan saat telingaku harus fokus pada ocehan kolega, sementara mataku selalu beredar pada tubuh molek sekretarisku sendiri. Laura, ia dengan setia mencatatkan semua omong kosong kolega di laptop, duduk bersisian denganku.

Ah! Tanganku terasa gatal. Ingin rasanya kugerayangi paha mulus itu.

"Pak Leo," panggil pak Yunus.

"Ya?" Aku sedikit terkejut mendengar panggilan dari ayahnya Gladis itu.

"Sepertinya saya mau menarik saham saya dari perusahaan Bapak," kata pak Yunus.

Sontak saja seisi ruangan tampak sama kagetnya denganku. Karena tiga puluh persen saham yang ada di perusahaanku dari pak Yunus.

"Boleh saya tau alasan anda, Pak Yunus?" Aku berusaha menjaga nada bicaraku.

"Tanyakanlah pada sekretaris anda sendiri. Apa yang dilakukannya di apartemen anda," tandas pak Yunus.

Seisi ruang rapat pun saling tukar pandang. Kemudian pak Yunus bangkit. "Saya permisi, Pak Leo."

🌼🌼🌼

Aku memijat kening di kegelapan ruang kerja. Penarikan saham pak Yunus berdampak besar di perusahaanku. Aku terpaksa menunda beberapa event karenanya.

"Apa sekarang Sekretarismu itu bisa menolong?" Gladis memberiku nada sarkastik. "Oh ya aku lupa, ia hanya menolong kelaminmu kan, Leo?"

Kalimat Gladis tadi siang terus berdengung di telingaku. Aku tahu aku lebih membutuhkan Gladis untuk perusahaanku. Tapi, Gladis sama sekali tidak pernah memahamiku. Ia hanya berfokus pada dirinya saja, bukan aku.

Apa yang harus kulakukan?

Kudengar pintu ruanganku didorong dari luar. Gerakan yang cukup perlahan.

"Permisi." Itu suara Laura.

"Heeemmm ...?" Aku sengaja memberinya jawaban tidak bermakna dan informal.

Laura masuk sebanyak dua langkah.

"Tutup pintu di belakangmu," ujarku.

Laura menurutiku.

"Kunci!"

Ia pun menurutiku.

Beberapa saat kami berada dalam keheningan. Bias lampu di gedung sebelah menunjukkan sosok Laura masih berdiri di dekat pintu.

Aku diam saja, aku butuh dipeluknya. Tapi, aku mau ia melakukannya dengan hati bukan perintah dariku.

Laura menapakkan kaki bersepatu tingginya satu langkah. "Boleh aku mengganggu, Bang?"

Aku tersenyum miring mendengar dia menyebutku abang, bukan bapak.

"Ya," jawabku lembut.

Laura pun berjalan mendekatiku. Tangannya berusaha menggapai jemariku dengan ragu. Kemudian, membatalkan niatnya.

"Maaf," lirihnya.

"Untuk apa?"

"S-sahamnya ...."

"Lupakan saja," potongku.

Kulihat di remang cahaya Laura menggigit bibir bawahnya. Ia memainkan ujung kemejanya dengan jemari. Oh, ayolah ... jangan membuatku gila dengan kemolekanmu.

"Bang," panggil Laura lagi.

"Heeemmm ...?"

"Abang enggak mau pulang?"

Aku diam saja. Di apartemen atau di sini sama saja bagiku. Dengan pikiran sekalut ini.

"Abang belum makan, kan?" Laura masih berusaha menghiburku dengan perhatiannya. "Aku beliin makanan buat Abang tadi, boleh aku bawa ke sini?"

Aku kembali menatapnya, ia tampak tulus dan berhati-hati padaku.

"Boleh."

Laura menyunggingkan senyum. "Tunggu ya." Ia segera berlalu keluar ruangan. Beberapa detik kemudian dia sudah kembali dengan satu nampan kecil berisi sandwich dan segelas susu.

"Makasih," ujarku menerima nampan yang disodorkannya.

"Maaf aku enggak sempat bikin sendiri, tadi kerjaannya banyak," gumam Laura.

"Kamu sendiri sudah makan?" balasku.

"Aku sudah," jawabnya. "Boleh aku menemani Abang?"

Aku mengangguk sambil terus menyantap sandwich. Aku merasa begitu lapar sekarang.

Laura berjalan ke sofa tamu di depan mejaku. Ia melepaskan sepatu tingginya. Kemudian tiduran di sofa dengan posisi kaki ke arahku. Seakan memamerkan bentuk indah kakinya untukku.

Tentu saja pemandangan di bawah sinar temaram lampu dari gedung sebelah ini menyentuh kelelakianku. Maka, usai makan aku pun duduk di ujung sofa dekat kakinya.

Laura tampak kelelahan, matanya terpejam. Kuputuskan untuk berpindah tempat ke sisi tubuhnya. Kusingkap helaian halus anak rambut yang menutupi kening Laura.

Aku sudah tidak tahan untuk tidak mengecup bibir ranum Laura. Saat bibirku tinggal beberapa senti lagi dari bibirnya, saat itulah Laura lebih dulu mengecupku. Ia bahkan dengan nakal mengalungkan lengannya di leherku.

"Pura-pura tidur, ya?"

"Abang udah tau kok nanya?"

Aku menarik kedua sudut bibirku. Tatapan manja Laura sedikit mengangkat kegelisahanku soal pekerjaan dan Gladis.

Kubenamkan wajahku di antara dua gunung miliknya. Rasa kantuk tiba-tiba menghampiriku.

"Kamu lelah, Bang," bisik Laura. Tangannya menyisir lembut rambutku. "Tidurlah."

Aku pun tiduran miring di sisi Laura dengan wajah masih terbenam di dada sintalnya. Ia benar. Aku terlalu lelah hari ini.

Saat aku mulai hanyut ke alam mimpi, kudengar Laura berbisik, "Aku mencintaimu sejak lama, Bang." []











Mack, 25 Oktober 2018

Touch My Heart: Ketika Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang