Aku bergelung di atas lantai dengan alas karpet bulu. Tubuhku terlalu lemah untuk berpindah ke kasur.
Indera dengarku menangkap suara pertengkaran Gladis dan Laura. Gladislah yang mendominasi. Jangankan untuk menengahi mereka, aku saja tidak bisa mengurus tubuhku sekarang. Rasa kantuk terlalu kuat, kubiarkan saja diriku yang tanpa pakaian disapu dinginnya AC kamar.
Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku bangun, suasana sudah sepi. Kepalaku rasanya berat sekali, ada kehangatan yang menyelimutiku. Sehelai selimut tebal membungkusku.
"Sayang ...," panggilku dengan suara serak. Tapi, tak ada jawaban dari Gladis.
"Sayang ... kamu di mana?" Aku memicingkan mata di tengah temaramnya lampu kamar. Kulihat di jendela kaca, kegelapan menghiasi di luar sana.
Kupaksakan tubuhku bangkit. Ada suara-suara sumbang di perutku yang minta diisi. Seketika kepalaku berdenyut hebat. Kucengkeram rambutku menahan sakit yang mendera.
"Sayaaang ...," panggilku lagi.
Sepertinya tak ada Gladis di sini. Aku bangkit dengan seluruh tubuh sakit-sakit. Kukenakan jubah mandi putih yang tersampir di kursi.
"Sayang," panggilku lagi, masih berharap ada Gladis di sini.
Namun, setelah kucari ke seluruh ruangan, tidak ada siapa pun di sini. Aku benar-benar sendiri sekarang. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul sembilan.
Kucari handphone kembali ke kamar. Kudapati benda persegi panjang itu tergeletak di nakas dan kehabisan baterai. Kuisi dayanya, aku harus menunggu sekian menit agar handphone bisa digunakan.
Kuputuskan untuk mencari makanan di dapur. Saat aku menuruni tangga, kudengar suara telepon rumah berdering di ruang tamu.
Kupercepat langkah menuju pesawat telepon tersebut.
"Halo," sapaku.
"Abang sudah bangun?" Itu suara Laura.
=>♡<=
Aku menyantap ikan kaleng, roti, dan buah-buahan yang ada di kulkas. Aku tak menyangka, perutku bisa selapar ini. Sisa-sisa makanku berserakan di meja makan dan lantai.
Bel apartemenku berbunyi. Membuatku tersentak dan spontan menyapu sisa makanan di wajahku. Bel kedua berbunyi lagi saat aku mencuci tangan di wastafel.
Segera aku melangkah ke pintu apartemen dengan langkah gontai. Kurasa makanan-makanan tadi belum cukup menyuplai tenaga untukku.
Begitu pintu terkuak, aku dihamburi pelukan dari si pengetuk pintu. Ia terisak di bahuku. "Maafkan aku, Bang," bisiknya.
"Maaf untuk apa, Laura?" tanyaku.
"Gara-gara aku, Bu Gladis marah sama Abang," lanjutnya.
Kututup pintu di belakang Laura. Aku tidak suka ada warga apartemen lain yang kebetulan mendengar obrolan kami. Perlahan kuurai pelukan Laura.
Manikku membelalak saat melihat luka lebam di wajah Laura. "Siapa yang melakukan ini?"
Laura menunduk sambil memainkan ujung gaunnya. Ada gurat kesedihan di raut polosnya.
"Laura." Kuangkat dagunya membuatnya mendongak menatapku. "Apakah ini semua perbuatan Gladis?"
Laura hanya mengangguk kemudian memungut dua kantong kresek berisi entah apa yang tadi sedikit dilemparkannya ke lantai. Ia melangkah menuju dapur.
"Laura," panggilku. Tapi, panggilanku tidak menghentikan langkahnya.
Kuikuti langkah gadis itu. Jujur saja, gerakan pinggul sekretarisku ini di setiap langkahnya membuat dadaku kembali berdebar. Terlebih lagi gaunnya yang berwarna merah jambu dan berbahan tipis dan lembut membentuk lekuk sempurnanya semakin jelas terlihat. Hal yang membuatku sungguh menggilainya.
Laura meletakkan bungkusan kreseknya di atas meja dapur. Ia mengeluarkan dua porsi nasi, ayam bakar, dan sayuran ke piring. "Aku tahu kamu kelaparan, Bang," katanya sembari melirik sampah bekas makananku tadi.
Aku sudah tidak bisa menahan diri akan sikap manis gadis ini. Kulingkari tubuhnya dari belakang dengan kedua lengan. Kuciumi pundak dan lehernya.
Laura melenguh, "Bang ...."
Suaranya begitu merdu di telingaku. Kuteruskan mencumbu leher dan sekitar telinganya. Perlahan kususuri rahangnya dengan ciuman. Laura pun menyambut bibirku dengan kuluman dan isapan yang membuat jantungku membara. Tangannya pun mulai bermain di jubah mandiku.
"Bang ...," desisnya di sela ciuman kami. Perlahan ia menggoyang-goyangkan bokongnya yang telah bersenggolan dengan ereksiku. "Si Dedek bangun lagi, Bang."
Aku sadar jika kuteruskan hasrat ini bisa berakibat fatal bagiku. Bagi tubuhku yang sudah over dosis bercinta sejak semalam. Perlahan kulepaskan bibir dari Laura.
"Ini kamu yang masak?" tanyaku sambil mengusap kedua sudut bibirku.
Laura masih memejamkan mata. Aku tahu ia pun tengah mengontrol dirinya. Kedua tangannya masih mencengkram jubah mandiku.
"Aku tadi beli di restoran," ujarnya.
Kutatap ia lekat-lekat. "Apa ini sakit?" Kusentuh keningnya yang ditutup plester luka.
"Sedikit," jawabnya.
Kukecup lembut di atas plester luka itu. "Sekarang bagaimana?"
"Aaah ... Abang bisa aja," ia menyenggol perutku dengan siku.
"Kalau ini?" Kuusap luka lebam di tulang pipi kanannya.
"Sakit enggak ya ...?" Laura sok berpikir.
Aku tersenyum sembari memberinya kecupan di lebamnya. Kucoba untuk berlaku selembut mungkin. "Sekarang bagaimana?"
"Mau lagi," pintanya manja.
Aku tersenyum jahil sembari menatap makanan di atas meja.
"Abang!" Laura merengek dan membalikkan tubuhnya menghadapku. "Mau lagi."
"Aku lapar, Sayang," bisikku.
"Aku suapin ya," ujarnya seraya mengalungkan kedua lengannya di leherku.
"Boleh," jawabku. Kutarik sebuah kursi dan duduk di atasnya, sengaja kujauhkan posisi kursi dengan meja makan.
Laura mencuci tangannya dan duduk di pangkuanku. Kusambut pinggulnya dengan dekapan tangan kanan. Sementara tangan yang lain bermain-main di ujung gaun Laura.
Suapan demi suapan diberikan Laura padaku. Sesekali ia melontarkan candaan padaku. Suasana hangat yang diciptakan Laura tak pernah kurasakan sebelumnya. Tawa renyahnya, sikap manjanya, dan perhatian gadis ini sungguh terasa berbeda.[]
Mack, 15 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch My Heart: Ketika Cinta Datang Terlambat
Romance"Di sini, Bang?" "Ya, di situ," jawabku menahan deru napas. "Teruslah, Manis ... ya di situ."