Menghilang saja semua perasaan ini, bila akhirnya aku tak akan mendua denganmu. Karena nyatanya begitu sakit ketika di masa depan tak ada lagi sosokmu. Entah kau sudah bersama orang lain, atau justru aku yang bersama yang lain.
Tapi sakitnya tak pernah sekuat itu. Entah ini takdir atau bagaimana. Aku selalu menemukan ketenangan darimu. Bahkan tanpa perlu kau berucap secara langsung padaku. Tanpa interaksi, semua kegalauan ini bisa hilang.
Kau seperti mengerti aku. Dan ini aneh. Karena kita saja tak pernah sedekat itu.
Kau seperti tahu apa yang sedang ku gundahkan. Kau seolah mengerti perasaanku ketika suatu musibah terjadi. Pada waktu bersamaan. Terjadi pula pada masing-masing kita. Mendadak kita berdua merasa hal yang sama. Padahal tak sedang bersama.
Salah. Aku tahu ini salah. Aku hanya membenarkan semua perasaanku. Hanya membiarkan anganku semakin terbang tanpa ada bukti yang nyata. Aku tahu ini salah.
Tapi mengapa tak bisa berhenti. Dirimu menjadi satu-satunya penyejukku. Yang mengerti aku tanpa perlu banyak bicara. Tak sengaja terbelit takdir yang mirip seperti sehati.
Seolah kita berdua satu. Yang terpisah. Dan tak tahu apakah akan bertemu lagi. Satu yang menjadi dua yang tak tahu dapatkah menjadi satu lagi.
●
Ketika tulisanmu mendadak menggugahku, sore menjelang berbuka.
Jakarta, 31 Agustus 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper - Bawa Perasaan
PoesíaAku kembali pada menulis, terutama saat kau juga kembali padaku. Aku kembali mendamba, tanpa alasan sebenarnya dan tanpa rencana. Teruntuk kamu, yang selalu berjarak 🌹 . . Konten sama seperti yang ada di blog handsstory.wordpress.com :)