Setibanya di rumah sakit, aku buru-buru menuju Intalasi Gawat Darurat. Bertanya pada seorang petugas di sana dan dengan langkah cepat menuju salah satu ruang.Kulihat ibu di sana, masih dengan wajah panik. Dan si bungsu gendutku...terkulai dengan tangan kanan diinfus. Ada perban dibagian tulang kering kaki kirinya. Ibah melihat bocah 7 tahun itu terbaring lemah di atas ranjang yang serba putih.
"Dedek..." kataku dengan sedikit menjerit.
"Wali kelasnya yang telepon Ibu. Jatohnya di tangga. Anaknya main kejar-kejaran ama temannya waktu jam istirahat. Untung pak Daus ada yang nganter Ibu ke sekolahan..."
Ibu ketika panik, yah memang seperti itu. Akan dengan sangat detail merunut kejadian demi kejadian. Kuelus punggung tangan Dedek.
"Duh, kasihannya Dedek,"
"Temen nih yang dorong Kak. Dedek tadinya mau ke kelas.."
"Udah...udah...besok-besok mesti hati-hati loh Dek. Nih kalau begini, Dedek gak bisa main loh," potongku.
Kuusap keningnya.
"Ibu istirahat aja dulu. Biar aku yang tungguin Dedek," kataku.
Dan detik berikutnya, aku baru tersadar jika ada perempuan asing dalam ruangan yang sama.
"Astaga!" pekikku.
"Bu ini...."
"Jealani tante..." dan perempuan itu tau-tau sudah mengulurkan tangannya ke arah Ibu sembari menyembut namanya.
Oh, namanya Jealani toh. Batinku. Tau-tau si Ibu dah dapet nama aja. Padahal aku yang nemu nih mahluk di jalan, jangankan nama, salamanpun belum. Kataku dalam hati.
"Aku dianter dia Bu. Tadinya mau nunggu angkot, tapi dipaksa ikut ke mobil dia,"
"Karena tadi si Mbaknya kelihatan buru-buru. Sampe nabrak," katanya menahan tawa.
"Nabrak?"
"Aku yang nabrak Bu waktu mau ke halte. Asikan baca pesan Ibu, makanya tidak liat,"
"Yaelah Kakak...Untuk si nonnya gak kenapa-napa,"
"Panggil saja Jea, tante," timpalnya.
Sesaat hening.
"Kalau tente mau pulang, biar aku anter sekalian. Ketulan aku mau balik ke kantor," katanya.
Aku menoleh.
"Gak...gak...Ibu nunggu pak Daus saja. Bentar lagi juga sampe ke mari. Paling nganter penumpang ini sampai belum balik," kataku berusaha menolak tawaran kedua peremuan itu.
"Gak apa-apa lagi. Ibunya capek loh. Kasihan. Biar aku anter deh. Ibunya gak bakal aku bawa lari kok," balasnya sembari tersenyum.
"Gak usah. Biar nungguin Pak Daus,"
"Kamu di sini tungguin Dedek. Ayo, Bu. Aku anter,"
Dan bagai dihipnotis, si Ibu turut aja.
Ah, si Ibu mah. Gak bisanya beasa-basi. Aku jadi merasa gak enak sendiri.
"Yah udah yah. Ibu pulang ke rumah dulu. Nanti sore ibu balik. Mau titip apa, Kak?"
"Gak usah Bu," jawabku.
"Yah udah, Ibu jalan dulu yah." Kubalas dengan sekali anggukan.
"Pergi dulu Mbak," dia pamit.
"Terimakasih yah udah bantuin. Maaf merepotkan," timpalku.
Kan lagi-lagi dia hanya tersenyum. Tuhan, senyumnya...
***
REHAT DULU. SABAR YAH 😁
