Aku hanya bisa tertunduk dalam, ketika dengan suara bergetar kau berusaha meyakinkanku atas apa yang terjadi.Aku menolak menatapmu yang kutahu terus berusaha menahan tangisan agar tak pecah. Aku memilih diam, karena aku tahu, apapun yang akan aku ucapkan, tak akan mengubah apapun tentang kita.
"Maafkan aku Dee. Maafkan aku. Demi Tuhan, tak ada niat menyakitimu," katamu.
Kedua tanganku tetap kau menggenggam erat. Bahkan semakin erat.
"Sayang, tolong lihat aku. Lihat aku Dee," pintamu dengan suara memelas.
Namun aku tetap tak bergeming. Aku lebih memilih diam menunduk dan semakin dalam.
Kenyataan inilah yang selama ini selalu aku khawatirkan. Inilah situasi yang tak pernah aku inginkan.
Inilah saat terapuh yang aku rasakan, setelah sembilan tahun menjalani perjalanan panjang bersama.
"Dee, aku tak punya pilihan. Kita tak akan pernah punya pilihan. Cepat atau lambat, kaupun akan melalui apa yang aku lalui saat ini," katamu. Lagi-lagi berusaha meyakinkanku.
"Dee. Kamu boleh menyalahkan aku. Aku terima apapun hukuman darimu. Namun tolong, pahami kondisiku," katamu.
Memahami kondisimu? Ya Tuhan, selama sembilan tahun menjadi kekasihmu, baru kali ini aku mendengar pembelaan yang paling kurasa paling sadis darimu.
Memahami kondisimu? Bagaimana dengan aku? Siapa yang akan memahami kerapuhanku? Siapa yang akan memahami lukaku? Sakitku? Patahku. Patah hatiku.
Aku menghela nafas. Ini terasa sangat berat. Sembilan tahun rasanya tak berarti apa-apa. Sembilan tahun yang kita tata begitu manis, bahkan mampu kau buyarkan hanya dalam hitungan hari. Dan lalu kau memintaku memahami kondisimu?
"Sayang, tak inginkah kau menatapku. Lihat aku. Please, katakan sesuatu. Diammu akan semakin menyiksaku," katamu merajuk.
Dari ekor mataku, bisa kuliat air matamu mulai menetes. Bahkan saat kau patahkan hatikupun, tetap tak tega melihat kau menangis.
Dan tangisan kali ini bukan karena bahagia. Namun tangisan ketegaanmu mematahkan harapanku. Namun kau patahkan hingga lebur menjadi abu pun, tetap saja lebih menyakitkan melihat kau menangis.
Pelan kuangkat wajah. Kepalamu ikut tengadah. Tetap bersimpuh di hadapanku. Dengan wajah yang betul-betul berduka.
"Kau ingin aku mengatakan apa?" kataku.
Serak suara ini. Tenggorokan terasa sangat kering. Lidahku bahkan begitu kaku.
"Katakan apapun Dee. Apapun...Aku menerima kata apapun yang akan kau ucapkan," jawabmu sembari mengelus pipiku dengan tangan kananmu.
"Apa yang harus aku katakan. Apakah masih begitu penting jika aku mengatakan sesuatu?"
"Apapun Dee. Apapun. Maki aku...aku rela sayang. Sungguh aku minta maaf. Aku betul-betul minta maaf," katamu.
Dan sedetik kemudian, tangisanmu pecah.
Ya Tuhan. Perempuan yang teramat aku sayangi itu, kini betul-betul menangis.
Pecah! Tangisannya seakan ikut mengiris rongga hati semesta.
"Hentikan tangisanmu. Kau tahu, aku paling tidak bisa melihatmu menangis, Jea. Jangan menangis lagi,"
"Aku minta maaf, Dee,"
"Aku memaafkanmu. Sungguh, aku memaafkanmu. Aku ikhlas, Jea,"
"Aku betul-betul menyesal, Dee"
"Aku memaafkanmu,"
"Aku menyesal, Dee. Aku mohon maafkan aku,"
"Bahkan sebelum kau menyakitiku. Aku sudah memaafkanmu sayang," balasku.
Cengeng ! Makiku dalam hati. Lemah ! Kau terlalu lemah Dee! Tak seharusnya kau ikut menyuarakan tangisanmu. Harusnya kau tetap diam. Harusnya kau tetap tertunduk. Harusnya kau tolak pertemuan ini. Harusnya !
***
