Jea. Perempuan lembut yang belakangan rada labil. Kadang dia begitu cerianya. Namun bisa tiba-tiba berwajah cemberut. Moodnya buruk banget. Naik turun kayak roller coaster yang teralinya rusak.
Seperti Senin pagi itu.
Handphone bergetar bertalu di atas meja lampu. Agak berat kubuka dua mata indahku (kata Jea, mataku indah. Asik).
Jea, batinku dengan mata terpicing.
Kulihat weker.
"Masih jam lima kurang," kataku berbisik sendiri.
Agak malas-malasan, kuraih juga handphone yang tak jauh dari weker.
"Iyah sayang?"
"Jemput aku sekarang sayang. Kangen," kata dia seenaknya.
"Heh. Ini masih subuh loh sayangku," balasku.
"Gak urus. jemput. Gak pake lama. Aku udah di teras nunggu nih," balasnya.
Nah ! Kan! Hebat kan kekasihku itu. Super duper hebatnya. Tak ada kata penolakan yang bakal lolos ketika dia menginginkan apapun. Tak peduli apakah aku mampu atau tidak untuk menuruti permintaannya.
"Mau kemana sih pagi gini? Masih gelap loh sayang," kataku dan berharap dia mau berubah fikiran.
"Gak! Jemput sekarang. Gak mau tau. Jemput sekarang," katanya ketus.
"Iyah...iyah. Aku jemput. Aku mandi dulu,"
"Gak pake mandi. Jemput sekarang,"
"Iyah aku jemput sekarang,"
Dan dengan gerakan buru-buru, aku bangkit dari tidur. Cuci muka dan berganti pakaian.
Kurang 15 menit, aku tiba. Di teras, sudah ada Jea mendekap tubuhnya sendiri.
"Sayang," sapaku.
"Aku pengen ke pantai," balasnya.
"Ini masih pagi banget sayangku. Gak di pantai aja, udah dingin begini," timpalku.
"Yah dipeluk kan. Biar gak dingin," kata dia sekenanya.
Ah, sudahlah. Debat dengan Jea, bahkan berabad-abad waktupun tak cukup. Menang gak, capek iyah.
Motor kukendarai dengan laju lebih pelan kali ini. Jalan pun masih lengang. Lampu-lampu jalan masih memamerkan cahayanya. Bahkan masih terlihat beberapa mata bintang berkelip.
"Aku kangen," katanya. Pelukannya begitu erat hingga sempat terasa sesak aku.
"Aku gak tau, kok belakangan pengen kayak gini terus ama kamu," katanya lagi.
Kusimpan senyum tanpa menimpali.
"Aku tiba-tiba takut kehilangan kamu," katanya lirih.
Tangan kiri refleks bergerak mengusap bahu tangannya, yang masih memeluk melingkari perut.
"Aku ada. Akan selalu ada buat kamu. Gak akan ke mana-mana. Dan akan kemanapun menemani kamu," balasku.
Pelukan Jea makin erat.
Penghujung malam yang syahdu. Aku bahkan ingin waktu seperti ini berjalan panjang dan panjang. Andai bisa, ingin menghentikan waktu, agar bisa semakin lama aku dengan perempuanku.
Jea terkadang menjadi begitu manja. Manja yang teramat sangat. Manja yang teramat aku suka. Saat begitu, dia jadi begitu tenang. Tanpa reaksi yang meledak-ledak, seperti ketika tiba-tiba dia berubah menjadi begitu tak biasa.
Udara subuh yang dingin, tak terasa oleh pelukan perempuanku. Aku bahkan menikmati semesta yang masih pulas.
Aku lupa, kapan terakhir menikmati damai seperti ini. Betul-betul damai. Yang ada, hanya nyanyian angin yang tak begitu gaduh.
