Beberapa bulan terakhir, nyaris semakin sedikit waktu bersama kekasihku. Kesibukan pekerjaan yang semakin menggila, membuat kami lupa membayar rasa rindu. Sapaan pagi, bahkan kadang baru terbalas saat kami rehat ketika jam istirahat.
Cinta kadang tak berbanding lurus dengan keinginan melepas rindu. Pekerjaan memang menjadi tuan yang selalu berhasil memperbudak para pekerja gila. Pekerja gila yang gila kerja, seperti aku dan kekasihku.
Saking gilanya, hari Minggu yang biasanya kami jadikan satu-satunya waktu membayar sepekan kerinduan, pun nyaris tak mampu mempertemukan kami.
Jenuh ?
Entahlah. Memasuki tahun ke lima, aku merasa cintaku tetap saja kasmaran pada kekasihku. Tetap saja berapi-api. Tetap membara seperti pertama ketika kuputuskan membuka hati seluas-luasnya untuk cinta yang besar dari seorang Jealani. Tetap hangat setiap kali memeluknya. Tetap penuh berahi setiap kali mengecup bibirnya.
Hasrat bahkan tetap meletup-letup setiap kali melihat tubuh mungilnya lelap dengan wajah damai. Aku merasa. Yah, mungkin hanya perasaanku saja. Entah dengan rasa kekasihku.
Lima tahun ? Yaps, lima tahun. Lima tahun yang rasanya bergulir singkat. Lima tahun yang menyadarkan aku, betapa perempuan memang terkadang sulit dimengerti. Lima tahun yang terkadang membuatku tertawa geli. Tak jarang menahan amarah atau bahkan membiarkannya meledak ketika kekasihku mulai berulah dan membuat kesabaranku seakan diuji habis-habisan.
Lima tahun yang tak bisa kuhitung telah berapa liter keringat kami habiskan setiap kali berburu nikmat. Aha...yang terakhir itu yang kerap membuatku berhasil melepas sejenak keyboard laptop, demi menikmati rindu yang tiba-tiba memuncak. Rindu menuju puncak bersama kekasihku.
Kuraih handphone yang sejak tadi bungkam. Pucuk dicinta ulampun tiba. Inilah hebatnya ikatan batin antara dua perempuan yang kecanduan cinta. Tau-tau, satu pesan dari kekasihku muncul dilayar selular. "Aku kangen loh," katanya dalam pesan singkat via Line. Lengkap dengan stiker si Cony bertabur lambang hati berwarna pink.
"Aku gak loh," balasku.
Yaps, saat bersamaan perhatian kekasihku tengah pun terfokus pada selularnya.
"Yah udah. Aku balik kerja aja," kekasihku membalas.
Aku tertawa tanpa suara. Dapat kubayangkan, betapa jengkelnya dia membaca balasanku tadi.
"Jangan suka ngambek. Ingat umur," balasku lagi.
"Masalah ama umurku tah? Sana cari yang lebih muda," balasnya ketus.
Tawaku mulai bersuara. Saat dongkol seperti itu, kekasihku sanggat menggemaskan. Andai dia di depanku, bakal kuhujami dengan triliunan ciuman hingga dia lelah. Duh...
"Aku gak mungkin gak kangenlah, sayangku. Kangenku berasa udah nembus ke ubun-ubun loh," balasku.
Namun tak ada balasan. Yah, pesan terakhir itu hanya di read tanpa dibalas. Meski menunggu hingga jam kerja berakhir, tetap saja tak ada balasan. Alamat tsunami nih, fikirku.
Dan meski mulai gelisah, aku berusaha untuk tetap berfikir positif. Mungkin saat aku mengirim pesan terakhir, kekasihku hanya bisa membaca tanpa sempat membalas, karena harus kembali bergulat dengan kerjaannya yang segila tugas-tugas kantorku yang seakan tak ada habisnya.
Kubenahi meja kerja. Membereskan beberapa map dan memasukkannya ke dalam rangsel.
Beres ! Waktunya pulang.
Bergegas aku menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Pada anak tangga ketiga terakhir, mataku tertuju pada sofa yang dikhususkan untuk tamu kantor. Ada sosok mungil disana. Rambutnya dibiarkan terurai, menutupi atasan blazer hitam yang dikenakannya.
