Dua

169 4 0
                                    

"Kanan kiri kanan kiri"

Sore ini aku mengikuti pelatihan gerak jalan dalam peringatan HUT-RI. Senangnya bukan main ketika tahu aku ditunjuk mewakili sekolah, ya walaupun hanya antarsekolah. Tapi menurutku ini cukup bagus sebagai sebuah permulaan. "Aditya Baguswangsa" Aku menoleh menatap pelatih yang memanggilku. "Sejajarkan dirimu dengan yang lain" Aku meringis ketika menyadari bahwa aku tertinggal beberapa centi dengan yang lain. Maklum terlalu senang.

Kami berlatih di lapangan Rampal, lapangan yang lumayan besar ukurannya di kotaku. Asal jangan kau bandingakn saja dengan Maracana stadium di Rio De Janeiro, Brazil. Jelas jauh berbeda, bukan tandingannya.

Entah kenapa sekolahku lebih memilih untuk kami berlatih di lapangan Rampal ketimbang di lapangan sekolah sendiri. Padahal jika dibandingkan, lapangan sekolah cukup luas jika hanya untuk berlatih seperti ini. Kata kakak-kakak kelas, sekolah memang sengaja memilih untuk berlatih di lapangan luar. Sengaja untuk memamerkan siswa siswinya yang berkelas. Hah dasar suka pamer!

"Dek mau minum?" tawar seorang laki-laki berpostur tubuh tegap mengenakan kaos ijo tua. Aku yakin laki-laki ini bukanlah anak dari sekolahku. Tentu saja bukan, gila saja kau jika ada anak SMP sepertinya, otot lengannya yang sudah terbentuk. Bisa-bisa guru olahraga di sekolah minder dengan muridnya. "Endak mas. Makasih" tolakku halus pada laki-laki berpayudara ini. Dia tersenyum ramah kemudian melangkah mundur kembali menawari anak-anak lain. Sebenarnya dia itu tentara atau office-boy sih? Ah bodoh lah..

Kuteguk air mineral yang telah kubawa dari rumah. Ibu selalu menyiapkan semua kebutuhanku baik itu untuk sekolah atau yang lainnya, termasuk minuman dan makanan kecil yang kubawa ini. Kata ibu "bawa bekal sendiri lebih sehat, daripada jajan di luar cuma bikin penyakit. Sekalian hemat uang jajan" Iya memang benar kata ibu, tapi aku malah terkesan jadi anak mama.

Setiap kali teman-teman jajan di kantin aku akan makan bekal yang di bawakan Ibu di kelas. Tentu saja aku mendapat perhatian lebih dari teman perempuanku, bukan karena ketampananku tapi  karena bekal yang ku bawa. Sebenarnya aku malu dan ingin memprotes tapi aku juga takut ibu marah, Ck.

Ketika aku sedang asyik menatap sekumpulan orang, mataku menemukan sesosok punggung yang tak asing bagiku. Punggung yang akhir-akhir ini sering ku amati. Dava. Apa yang dia lakukan disini? Apa mungkin dia juga ikut pelatihan gerak jalan? Eh mana mungkin dia ikut, dia kan pendek. Lalu kenapa dia di sini? Aku berpikir sejenak sampai akhirnya aku menemukan fakta bahwa ini adalah lapangan umum yang tentu saja bebas bagi siapa pun untuk berada di tempat ini. Aku mendengus mengetahui fakta keberadaannya "Jangan terlalu berharap kau dit" Pertama yang ada pada otakku adalah dia mengikutiku, ternyata? No!

"Berharap apaan dit?" Aku tergeragap saat Ronald –kakak kelas memberikan pertanyaan atas rancauan tak jelasku. "No what-what mas. Hehe" Jawabku dengan candaan. Dia hanya mengangkat bahu asal kemudian melanjutkan perbincangan dengan teman sebelahnya. Aku menghela nafas lega karena Ronald tidak melanjutkan pertanyaan.

Kembali aku fokus menatap Dava yang berada pada jarak lima meter dari tempatku. Jadi mungkin dia tidak akan tahu, kecuali jika dia juga mengamatiku. Dari pandanganku sekarang, perempuan itu sedang lari-lari bersama teman-temannya, dilihat dari gayanya yang mengenakan sepatu olahraga dan trening. Aku tersenyum miring melihat tingkahnya yang kelewat lambat.

***

Hari ini jam kosong disemua kelas. Hal ini disengaja oleh pihak sekolah mengingat besok adalah hari peringatan dibangunnya sekolah atau bisa disebut hari ulang tahun sekolah. Semua siswa diwajibkan untuk berpartisipasi dalam acara. Seperti menghias kelas, fashion, musik, memasak dan masih banyak lagi. Aku lebih memilih untuk menghias kelas, karena menurutku itu hal yang terlihat simple.

Hingga pada akhirnya berdirilah aku di sini, di depang ruang kelas. Bersandar pada tembok menikmati pemandangan suram. Kelasku hancur. Lebih hancur dari pada kelas Taman Kanak-kanak. Bagaimana tidak? Dibelakang dihias dengan gambar-gambar atau bentuk-bentuk tak jelas yang sesekali dipasang kemudian dilepas dan dipasang kembali. Sedang di mading, potongan-potongan tulisan tertempel acak. Tidak ada menarik-menariknya untuk dibaca. Sedang di depan, tembok terpampamg polos. Hiasan asli berupa jejak-jejak jahil yang ingin mengabadikan telapak kaki meraka. Di samping kanan kiri, terdapat kata-kata mutiara yang biasa diucapkan orang. Aku menghela nafas menyadari keadaan kelas yang amburadul. Memilih keluar dari kelabilan.

Aku memilih untuk berkeliling, melihat-lihat karya kretif anak kelas tujuh yang lain. Dikelas 7.1, keadaannya tak berbeda jauh dari kelasku, semrawut. Sampah berserakan di lantai, dindingnya tertempel kata-kata mutiara yang intinya hampir mirip dengan milik kelasku. Aku meneruskan acara menontonku ke kelas sebelah, kelas 7.2. Harus ku akui kelas ini semrawut luar biasa. Dibagian pintu masuk diberi hiasan kertas warna-warni bertumpuk-tumpuk, yang terkesan seperti ruangan pembuangan sampah. "Piye dit? Bagus to?" Aku hanya tersenyum garing dan memilih pergi dari kelas 7.2, menghindar untuk menjawab pertanyaannya yang pasti akan kujawab jujur. Sangat Jelek.

Sekarang aku berada di depan kelas 7.4, sengaja melewati kelas 7.3 karena menurutku pasti sama saja. Tidak jelas. Aku dengar dari kawan-kawan, dekor kelas 7.4 berbeda dengan yang lain. Benar saja, terlihat dari tulisan yang tertempel di pintu masuk, Welcome to My Class.

Ketika melangkah masuk pertama kali yang menarik perhatianku adalah mading bermodel buku tiga dimensi dengan tempelan artikel-artikel acak namun terlihat apik. Juga ada rak buku mini yang tersusun rapi beserta globe di atasnya. Tak lupa dengan manik-manik yang menempel dinding yang tampak menarik minat belajar diruang kelas.

Aku berdecak kagum pada setiap detail isi kelas ini. Mataku tak henti-hentinya meneliti setiap sudut ruang, sampai mataku berhenti pada suatu titik. Titik dimana seorang gadis bermanik coklat lamat berdiri menyapu lantai dengan gerakan lambat dan berulang-ulang. Padahal dari sudut mataku tidak ada kotoran di sekitarnya. Dan hal ini membuatku terkikik geli.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang