Tiga

84 7 0
                                    

"Percaya love at first sight?" Aku menoleh, menatap teman sebangku-ku ini dengan pandangan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. "love at first sight" Aku semakin mengernyit binggung dengan Nino—teman sebangku-ku yang semakin menjadi-jadi anehnya. Sekarang sedang berlangsung pelajaran dan satu kelas tengah sibuk memperhatikan guru fisika, lalu tiba-tiba dia bertanya padaku. Aneh.

"Gue ga percaya sama love at first sight" Tanpa menoleh, aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa Nino terkejut atas sanggahanku tentang pernyataannya. Memang mengejutkan kenapa aku bisa mengucapkan itu, hanya tiba-tiba saja terlintas kata-kata tadi tanpa alasan. "Why?" Nino kini menghadapku dengan tatapan meminta penjelasan atas sanggahannku yang tanpa alasan.

Aku mengamati gerak-gerik guruku di depan, saat guru fisika melanjutkan menulis di papan, aku menoleh kesamping. "Cinta pandangan pertama itu cuma nafsu" Aku terdiam sejenak menelaah perkataanku barusan, bagaimana bisa aku sedewasa itu mengenai asmara? Padahal aku saja tidak pernah pacaran, suka pernah tapi hanya sebatas suka bukan cinta. Sedang Nino, dia terlihat melongo mendengar penjelasanku. Pasti dia juga berpikir sama halnya denganku.

Aku dan Nino sedang asyik berkutat dengan pikiran masing-masing, masih dengan posisi yang sama—saling berhadapan. Tiba-tiba sebuah suara mengintrupsi kegiatan kami dan dengan enggannya aku dan Nino menoleh kesumber suara. Betapa kagetnya aku ketika melihat guru fisika sedang berdiri disamping mejaku dan Nino.  "Sedang mengobrol, eh?" Tangan kanannya memegang spidol hitam tanpa tutup sedang tangan kirinya memegang buku tebal yang kutahu berjudul Physics I. Aku menelan air ludahku susah payah, ketika menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya 

"Silahkan dilanjut di luar obrolannya"

***

Am I in love with you? Or am I in love with the feeling?

Sejam berlalu setelah insiden pengeluaran secara tidak terhormat di kelas fisika. Aku dan Nino terpaksa bersembunyi di perpustakaan sekolah, menghindar dari pertanyaan-pertanyaan teman kelas lain. Sungguh aku malu sekali, ini baru pertama kalinya ketahuan mengobrol pada jam pelajaran dan di keluarkan dari kelas. Aku dan Nino tidak saling menyalahkan, kami sadar itu kebodohan bersama.

Mungkin benar kata teman-teman kalau guru fisikaku ini sadisnya melebihi penjajah Jepang, sekali melanggar di siksa. Sama seperti guruku, tidak mengerjakan tugas atau ketahuan mengobrol pada saat dia menerangkan maka akan di keluarkan dari kelas fisika. Bukan sampai di situ saja, masih ada hukuman lain yaitu  pengurangan nilai -5. Dan semoga saja orang tuaku tidak mendapat surat dari pihak sekolah atas kebodohanku ini. Bisa mati dicincang aku oleh Ibu.

Aku berdecak sebal ketika lagi-lagi buku yang kubaca tidak menarik minatku sama sekali. Sedari tadi aku sudah bolak-balik ke rak mencari buku yang menarik untuk dibaca, tapi hasilnya nihil. Nino? Dia sedang membaca komik dan tertawa-tawa sendiri tak jelas. Aku tidak menyukai komik, alasanku karna aku terlalu bodoh untuk urutan membacanya, jadilah aku pusing dan malas. Aku sendiri lebih suka menonton ketimbang membaca, menurutku menonton jauh lebih mudah dipahami ketimbang membaca, terlalu banyak permainan kata. Walau begitu aku tetap sering membaca buku dalam konteks pengetahuan.

Karna sudah benar-benar merasa jenuh, akhirnya aku meniggalkan tempat persembunyianku dan Nino—perpustakaan. Berjalan menyusuri lorong-lorong kelas yang tampak senggang. Tentu saja sepi, ini masih jam pelajaran dan baru sejam lagi bel istirahat berbunyi. Aku memikirkan perbincangan bodohku dengan Nino di kelas tadi. love at first sight?

Sepertinya aku berbohong pada Nino kalau aku tidak percaya dengan love at first sight. Karena pada kenyataannya aku sendiri mengalaminya pada Dava, gadis yang ku temui di taman belakang sekolah.

Nafsu?

Hasrat atau keinginan untuk memiliki. Aku? Tak ada keinginan untuk memiliki Dava selama ini, kukira melihatnya saja cukup. Jadi ucapanku tadi salah atau benar? Kukira salah, tapi jika ditinjau dari yang sudah-sudah, yang ku ucapkan itu benar.

Mengalami love at first sight - mengebu-gebu untuk mendapatkan cinta pandangan pertamanya - pacaran Obsession is achieved -> putus.

Jadi initinya dia hanya ingin mendapatkan apa yang dia inginkan. Atau dapat diringkas menjadi Obsesi. Pribahasannya itu seperti 'Habis manis sepah di buang' . Begitu kira-kira pendeskripsian dan siklus love at first sight versi Aditya Baguswangsa. 

Tapi disini aku tetap saja tidak paham, kasus yang sudah-sudah dengan kasusku berbeda. Sejauh ini aku tak ada nafsu memiliki Dava. Atau mungkin pendeskripsian nafsu disini berbeda dengan pemahamanku? Ck.. Sepertinya aku harus memahami pengertian nafsu lebih lanjut dalam konteks ini. Tapi untuk apa? I was too young to think about it. 

Saat sedang berjalan menyusuri lorong-lorong kelas, aku merasa ada yang menyentuh pundakku halus, refleks aku menoleh dan mendapati orang yang baru saja aku pikirkan berada di hadapanku, tersenyum manis. "Kamu Aditya Baguswangsa anak kelas 7.7?" Masih dengan senyuman manis di bibirnya. Aku hanya merespon dengan anggukan, rasanya mulutku sudah tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun karna senyumnya itu. "Di tunggu di BK sama temen kamu, Elnino Stevanus" Suaranya seperti sebuah nyanyian yang menenangkan jiwa bagiku. Aku terbuai. Dia tersenyum sekali lagi, kemudian berjalan menjauh meninggalkanku. Sampai punggung kecilnya menghilang aku tetap berdiri dengan senyum konyolku.

Aku kembali berjalan sambil tetap meningat-ingat wajah Dava dan bagaimana cara dia berucap barusan, mencoba memasukkannya kedalam otakku, sampai aku tersadar dengan yang Dava  sampaikan.

BK?

Elnino Stevanus?

Gawat!!!

***

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang