Ben-Becca tayang perdana. Belum aku sunting maksimal, tapi semoga dapat dinikmati. Aku nggak janji buat fast update, ya. Soalnya masih sibuk dengan dunia nyata. Happy reading and lope-lope yu ol, Gaess...
**
Ruangan itu semakin padat seiring malam yang kian menua. Wangi parfum bercampur dengan aroma alkohol. Suara tawa terdengar di antara ingar-bingar musik yang menemani kumpulan orang yang sedang menari di lantai dansa. Khas kelab, tempat yang menjanjikan kebahagiaan semu sebelum realita kembali mengentak setelah suara musik menghilang, dan rasa mabuk perlahan berganti dengan sakit kepala yang menyiksa.
Becca mengembuskan napas kesal. Ini bukan tempat yang ingin dia kunjungi pada pukul dua dini hari. Ini Minggu, seharusnya dia bisa tidur sampai siang. Satu panggilan telepon sialan yang masuk satu jam lalu memenggal mimpi indahnya. Dasar laki-laki tidak punya etika!
Becca mencoba menerobos lautan manusia kurang hiburan yang ada di depannya untuk sampai di meja bar. Tidak mudah, tetapi dia akhirnya sampai juga di tempat tujuannya. Orang yang membuatnya menyeret bokong dari kasur yang nyaman tampak duduk tenang dengan minuman yang masih terisi setengah.
"Kelihatannya kamu nggak terlalu mabuk." Becca mengempaskan tubuh di samping laki-laki itu. "Aku kira kamu sudah teler dan nggak kuat berdiri lagi. Kalau tahu kamu masih segar bugar kayak gini, aku mending tidur saja lagi. Nyusahin banget kamu, Ben. Beneran nyesal aku kenal orang kayak kamu."
Laki-laki itu menyeringai. "Jangan mengomel. Aku cukup mabuk untuk bawa mobil sendiri, Becca. Adhi sedang mengejar lumba-lumba ke Wakatobi sehingga nggak mungkin menjemputku. Nggak mungkin menghubungi Rhe juga, kan? Suami berengseknya itu nggak akan kasih izin dia keluar naik taksi jam segini untuk jemput aku dari kelab."
"Dan pilihannya tinggal aku?" Becca berdecak mencemooh. "Untuk orang yang mengklaim dirinya pengacara sukses dan punya banyak kolega, kehidupan sosialmu memprihatinkan."
Ben tertawa. "Kamu butuh cermin? Kayak kehidupan sosialmu bagus saja. Hubungan dengan para kolegaku profesional, Becca. Aku nggak mungkin menelepon mereka secara acak dan meminta supaya dijemput dari kelab."
Becca melompat dari stool. "Ayo kita pulang sekarang sebelum aku makin menyesal sudah menyusulmu ke sini."
Ben ikut berdiri. "Kamu bayar dulu, gih."
Becca menatapnya sengit. "Apa? Kamu gila? Aku nggak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk barang haram itu. Melanggar prinsip hidupku."
Ben meraih tas Becca, membukanya untuk mengeluarkan dompet, tanpa peduli protes perempuan itu. "Nanti aku ganti. Ceritanya panjang, tapi intinya, dompetku hilang."
"Aku benci cerita yang panjang, Ben. Mana kunci mobilmu?" Becca menadahkan tangan. "Selesaikan urusanmu si sini, biar aku tunggu di luar. Aku benci bau alkohol." Dia berbalik setelah Ben memberikan kunci mobil. "Dompetku jangan sampai hilang juga. Aku bisa menuntutmu atas pasal perampokan."
"Dasar judes. Nggak heran jadi jomlo menahun."
Becca tidak menghiraukan omelan Ben. Dia segera keluar dari kelab dan menuju tempat parkir untuk mengambil mobil Ben.
"Lain kali, aku nggak akan mengangkat telepon dari kamu kalau waktunya nggak masuk akal seperti sekarang," Becca melanjutkan omelannya setelah mereka sudah melaju di jalan raya, meninggalkan kelab. "Naik taksi jam segini berbahaya untuk perempuan secantik aku, Ben. Kamu nggak lihat saja tatapan mesum sopir taksi saat melihatku."
Ben tergelak. "Di masa jayamu, kamu pernah dapat medali emas saat ikut Sea Games. Aku sama sekali nggak khawatir kamu keluar malam dan diganggu laki-laki hidung belang. Mereka beneran cari mati kalau mau berurusan dengan mantan atlet taekwondo."
"Sialan," maki Becca. "Aku belum lama pensiun jadi atlet. Kamu bilang masa jaya, seolah itu ribuan tahun lalu, dan aku bukan atlet taekwondo, melainkan gladiator."
Ben tidak merespon lebih lanjut. Dia meraih tas Becca dan memasukkan dompet yang tadi diambilnya untuk membayar tagihan. "Nanti kutransfer, ya. Dompetku tadi dicopet. Sialan, pencopet ternyata nggak hanya ada di pasar tradisional. Di kelab eksklusif juga ternyata ada. Orang cari duit memang bisa di mana saja. Menjadi pencopet itu ternyata lumayan menjanjikan. Bayangkan saja kalau mereka bisa mencopet sepuluh dompet seperti milikku dalam sehari."
"Memang kamu bawa banyak cash?" tanya Becca tanpa mengalihkan perhatian dari jalanan di depannya. "Dia bisa apa kalau dapat kartu saja? Kecuali kalau kamu ngasih PIN-nya sekalian. Eh, sudah diblokir, kan?"
"Sudah. Busyet, tuh cewek cantik banget. Siapa yang menduga kalau dia pencopet?"
Becca mengarahkan bola mata ke atas. "Tipikal laki-laki. Memangnya cuman orang jelek yang bisa jadi penjahat? Tampang keren jauh lebih berbahaya, terutama untuk laki-laki buaya seperti kamu, Ben. Karena kewaspadaan kalian gampang luntur. Eh, gimana caranya dia bisa mencopetmu? Kok kamu yakin kalau perempuan itu orangnya?"
"Dia yang duduk di sampingku di meja bar tadi. Dia juga yang ngajak turun saat musiknya enak. Hanya dia yang sempat menggerayangiku sebelum dompet sialan itu raib. Aku pikir dia gemas sama bokongku, bukan dompetku."
Kali ini Becca memutar bola mata. "Anggap saja itu ongkos untuk mengerayangi kamu, Ben. Nggak ada yang gratis di dunia ini. Mau pipis saja bayar, kok."
"Dia sebenarnya bisa minta baik-baik, Becca. Aku nggak pernah pelit sama perempuan yang menikmati menggerayangiku."
"Aku nggak tahu kenapa bisa berteman dengan laki-laki amoral kayak kamu."
"Terima kasih untuk pujiannya. Tapi definisi amoralmu nggak tepat. Aku hanya balas menggerayangi orang yang nggak keberatan kusentuh."
"Whatever, Ben. Kenapa kamu nggak tidur saja? Akan aku bangunin kalau sudah sampai di apartemenmu."
"Ide bagus, Becca." Ben mengatur kursi, mencari posisi yang nyaman sebelum memejamkan mata. Tidak lama kemudian tarikan napasnya sudah terdengar teratur.
Becca melirik temannya itu sekilas. Ben terlihat tenang. Aura badboy-nya lenyap tak berbekas dalam kondisi seperti itu. Dia mengembuskan napas sebelum kembali fokus pada lalu lintas yang mulai lengang di depannya.
"Ben... Ben, bangun, sudah sampai." Becca mengguncang lengan Ben setelah memarkir mobil di gedung apartemen laki-laki itu. Butuh sedikit usaha untuk membangunkan orang yang sedang berada dalam pengaruh alkohol.
"Sudah sampai?" Ben akhirnya membuka mata ketika Becca sudah menoleh ke kursi belakang untuk mencari botol air, atau soda untuk disiramkan ke wajah laki-laki itu.
"Iya, sudah sampai. Naik dan lanjutkan tidurmu di atas."
Ben mengerjap beberapa kali, mengusir kantuk sebelum membuka sabuk pengaman. "Mobilnya kamu bawa saja. Besok aku ambil di rumahmu."
"Oke," Becca segera menyetujui usul itu. Dia juga malas menelepon taksi di waktu seperti ini. "Ben!" panggilnya setelah Ben sudah keluar dari mobil.
"Ya?" Ben menunduk dan menatap Becca dari jendela yang kacanya diturunkan temannya itu.
"Kamu nggak bosan hidup kayak gini? Kamu nggak akan mendapatkan Rhe karena dia nggak akan pisah dengan suaminya meskipun kamu berharap. Menjadi lagamon nggak cocok untuk karaktermu. Mau dengar ideku? Cari perempuan baik-baik dan nikahi dia. Rhe berhasil dengan cara itu. Cinta bisa menyusul belakangan."
Ben tersenyum. Dia mengedipkan sebelah mata. "Aku kenal satu orang perempuan baik-baik. Kamu mau menikah denganku?"
Becca segera mengacungkan tinju kesal. "Susah bicara dengan orang mabuk. Naik dan lanjutkan mimpimu. Aku nggak akan menikah dengan laki-laki berengsek gagal move on kayak kamu. I deserve better, Ben." Dia menutup jendela mobil, mengalihkan pandangan dari seringai Ben yang makin lebar. Susah bicara dengan laki-laki yang hanya serius saat bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ben and Becca (Terbit)
RomanceDua orang yang terjebak dalam friendzone. Nyaman bersama, tetapi tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan yang lebih. Perbedaan prinsip dan gaya hidup membuat hubungan sebatas teman lebih mudah dijalani. Bersahabat selalu mudah dan menyenangk...