Sebelas

40.2K 7.6K 707
                                    

Aku nunggu vomen nyamain part sebelumnya, karena itu beberapa hari didiemin, tapi nggak nyampe-nyampe. Ini pembacanya udah pada kabur karena cerita gaje, atau nggak rela setor jempol lagi? Padahal aku berniat fast update lagi kalo respons-nya bagus. Yah, sutralah, vomen itu hak pembaca. Untuk yang masih bertahan di sini, happy reading en lope-lope yu ol, Gaess...

** 

"Jadi tadi kalian ngomongin apa?" tanya Ben ketika dia dan Becca sudah duduk sambil makan di restoran setelah menjenguk Prita. Dia berharap bisa mendapatkan sesuatu dari Becca. Prita berkeras mengatakan tidak melakukan pembunuhan, dan dia terus mengulang kalau dia tidak tahu apa yang terjadi di suite itu saat kematian Bernard. Pengakuan yang sama sekali tidak membantu karena semua barang bukti mengarah kepadanya sebagai pelaku.

Becca mengedik. "Selain kalau dia iseng dengan Bernard untuk memenangkan tas Lana Marks? Nggak ada. Kalian sudah tahu tentang hal itu juga, kan?"

Ben mengangguk. "Sayangnya teman yang ngajak Prita taruhan itu nggak bisa dihubungi. Dia keluar negeri beberapa hari sebelum kejadian itu. Polisi bilang ada catatannya di imigrasi. Jadi untuk sementara dia belum bisa dimintai keterangan."

"Menurut kamu dia ada hubungannya dengan kejadian di hotel itu?"

"Mengira-ngira nggak akan terlalu bantu banyak untuk saat ini." Tangan Ben mampir di sudut bibir Becca, membersihkan sisa saus yang menempel di situ. "Masa cuman ngobrolin itu aja sih? Kamu kan cukup lama bicara dengan dia tadi. Jangan bilang kalian bernostalgia. Ini bukan saat yang tepat untuk membahas masa lalu."

Becca mengambil tisu dan mengusap sudut bibir, tempat jari Ben tadi mampir, untuk membersihkan kotoran yang mungkin tidak terangkat oleh jari Ben. "Hanya remeh-temeh. Kamu nggak akan tertarik."

"Nggak ada informasi remeh-temeh untuk kasus ini, Becca. Semua mungkin saja berguna. Kamu nggak tahu saja ada banyak perkara yang buktinya bisa ditelusuri dan didapatkan karena informasi yang awalnya dianggap remeh-temeh. Kalau kamu mau teman kamu itu mendapatkan pembelaan terbaik, kamu seharusnya nggak menyimpan rahasia apa pun dari pengacaranya. Aku yakin ada hal penting yang kalian bicarakan tadi."

Becca menyipitkan mata, menatap Ben penuh perhitungan. Dia kemudian mengembuskan napas panjang. Becca tahu kalau Ben sangat bisa dipercaya. Dia sudah lama kenal Ben. Meskipun hubungannya dengan laki-laki ini lebih sering dihiasi dengan keributan karena perbedaan pendapat, dia tahu Ben loyal dan bisa diandalkan.

"Prita berpikir kalau Erlan mungkin saja terlibat dalam pembunuhan Bernard. Dia punya motif, kan?"

Ben menyandarkan punggung di kursi. "Skenario itu juga sudah kami bicarakan dengan tim. Polisi bahkan juga sudah memanggil Erlan untuk dimintai keterangan."

"Hasilnya gimana?" Ganti Becca mengejar.

"Alibi Erlan sangat kuat. Saat kejadian, dia dan Pak Johny Salim sedang berada di Surabaya."

"Untuk membunuh orang, Erlan nggak perlu turun tangan sendiri, kan?" sanggah Becca. "Dari yang aku tangkap dari cerita Prita, Erlan itu tangan kanan ayahnya. Dan tangan kanan Johny Salim pasti punya tumpukan uang. Apa sih yang nggak bisa dilakukan dengan uang di dunia ini? Hanya tiket ke surga yang nggak bisa ditukar dengan rupiah."

Tangan Ben mampir di kepala Becca dan mengacak rambutnya. "Kamu pesimis amat sih, Neng! Masih ada banyak hal yang nggak bisa dibeli dengan uang kok. Rasa nyaman karena persahabatan, misalnya. Kayak kita gini."

Becca langsung cemberut dan memperbaiki rambut dengan jari-jari. "Berhenti ngelakuin itu, Ben!" omelnya. "Aku bukan kucing yang harus kamu elus-elus."

Ben tertawa. "Dari sini kamu mau ke mana?" Dia mengalihkan percakapan. Sepertinya memang tidak ada hal baru yang bisa didapatnya melalui Becca.

"Pulang. Mau ke mana lagi? Hari sabtu gini kan waktu untuk tidur yang banyak."

Ben and Becca (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang