Dua Belas

56.8K 7.3K 659
                                    

Karena bukuku yang coming soon lagi open PO, upadate-an hari ini berbau promo, ya. Kali aja ada yang khilaf dan langsung ikutan PO. Aseeekkk... Hehehe... namanya juga usaha. Oke, hepi riding en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

 "Lha, katanya ke pabrik?" celutuk Ben. Dia terus mengawasi Becca yang tampak asyik ngobrol sambil terus berjalan ke arahnya. Wajah Becca tampak serius. Aneh saja melihat Becca menampilkan ekspresi seperti itu. Biasanya tampangnya selalu jail, dan kata-katanya terkesan asal.

Adhi melirik pergelangan tangan. "Sudah balik, kali. Sudah jam makan siang gini juga, kan? Mau disamperin, nggak?"

"Ya, iyalah disamperin. Masa mau pura-pura nggak lihat? Yuk!" Dia mengajak Adhi menjauhi pintu restoran yang hendak mereka masuki. "Ternyata nasibmu nggak terlalu buruk. Nyatanya bisa ketemu Becca juga di sini. Jodoh memang nggak ada yang tahu, kan?"

"Kok aku nggak yakin soal jodoh itu lagi, ya?" Adhi tertawa kecil. "Kamu beneran yakin nggak ada apa-apa dengan Becca? Karena kamu kelihatan kesal gitu lihat dia jalan sama orang lain. Apalagi dia bos, yang kata kamu sedang saling PDKT sama Becca."

"Aku nggak kesal, kamu berlebihan," balas Ben. "Aku tuh orang yang pengin banget lihat Becca punya pacar setelah entah sudah jomlo dari tahun kapan. Dia tuh tipe yang sulit jatuh cinta."

"Standar orang cantik kan beda, Ben. Malah aneh kalau jatuh cinta nggak pilih-pilih. Eh, kamu mau dengar pendapatku?"

"Soal apa?" Ben balik bertanya.

"Soal kamu."

"Soal aku? Lho, bukannya kita lagi ngomongin Becca?"

Adhi mengabaikan Ben, dan terus bicara. "Menurutku kamu sudah terlalu nyaman sama Becca, sampai kamu nggak sadar kalau kamu tuh sebenarnya ada rasa sama dia. Kamu...."

"Apa?" potong Ben cepat sambil tertawa. "Pendapat kamu ngawur. Sudah, jangan dilanjutkan lagi."

"Kita sering mengabaikan apa yang kita punya sampai saat kita kehilangan, Ben," Adhi melanjutkan tanpa peduli protes Ben. "Kamu cari cermin deh dan lihat muka jelek kamu sekarang. Kelihatan banget nggak suka lihat Becca jalan sama orang lain. Mulut sama hati kamu perlu diperbaiki sambungannya, biar konek."

"Aku nggak butuh analisis bodoh kamu sekarang." Namun dalam hati Ben mengakui kalau ekspresi Becca yang tampak fokus saat bicara dengan laki-laki yang berjalan di sampingnya memang sedikit mengganggu. Hanya saja, itu bukan karena dia suka sama Becca, tetapi karena ekspresi seperti itu bukan ekspresi normal untuk ukuran Becca. Astaga, Ben menggeleng-geleng. Dia tidak mungkin suka sama Becca. Yang dia taksir jatuh bangun selama bertahun-tahun itu Rhe, bukan Becca. Ya, Becca memang jauh lebih cantik daripada Rhe, tetapi perasaan tidak dikendalikan hal-hal yang berbau fisik semata.

Adhi menepuk punggung Ben keras. "Sebaiknya cari tahu gimana perasaan kamu sebenarnya sebelum menyodorkan sahabatmu itu ke mana-mana, biar kamu nggak kelimpungan sendiri pas sadar akan kehilangan."

Ben sebenarnya akan membantah, tetapi tidak jadi melakukannya, karena jarak mereka dan Becca sudah dekat. Sangat dekat, tetapi Becca tidak menyadarinya. Dia tampak begitu fokus dengan percakapannya. Hal itu membuat Ben makin sebal. Entah mengapa dia tidak suka saat menyadari bahwa bos Becca terlihat jauh lebih tampan saat dilihat dari dekat seperti ini.

"Hei!" Ben memegang siku Becca, saat mereka akhirnya berhadapan.

Becca yang spontan hendak menepis, menghentikan gerakannya saat menyadari siapa yang berani menyentuhnya di tempat umum. "Sialan, Ben!" omelnya. "Bikin kaget saja. Untung responsku sedang jelek, kalau nggak, kamu sudah patah delapan."

Ben and Becca (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang