Dua

51.2K 8.4K 475
                                    

Happy reading, Gaess... lope-lope yu ol. Bagi jempol ya.

**

Ben mengawasi perempuan setengah baya di depannya, berusaha terlihat fokus walaupun sulit. Perempuan itu terlihat seperti ondel-ondel yang siap tampil. Kalau dia tidak buta warna, komposisi warna yang disukainya berarti antimainstream. Make up yang dipakainya seperti karya anak playgroup yang belum lama mengenal crayon. Balita yang tertarik pada warna paling cemerlang dan kuat.

Bayangkan tumpukan uang yang dibawanya untuk kantor ini, Ben memotivasi diri. Tidak ada bau yang paling memikat seperti bau uang. Tidak ada parfum yang bisa menandinginya.

"Ibu yakin mau bercerai lagi? Ini perceraian Ibu yang ketiga dalam waktu dua tahun terakhir," Ben hanya berbasa-basi menanyakannya. Dia sudah tahu perempuan itu bersungguh-sungguh hendak bercerai. Dia seperti sedang memecahkan rekor MURI untuk pernikahan dan perceraian terbanyak di negara ini.

"Jangan panggil Ibu, panggil Mbak saja. Saya belum setua itu." Perempuan itu tersenyum genit.

Ben balas memberikan senyum terbaik, meskipun dia mengomel dalam hati. Ibunya bahkan masih terlihat lebih muda daripada perempuan yang tidak menerima takdir menua itu. Gaya gravitasi telah membuat gelambir di lengan dan dagunya. Dia jelas melewatkan bagian itu saat menjalani operasi plastik.

"Ibu punya tuntutan spesifik kepada calon mantan suami Ibu kali ini?" Ben mengabaikan permintaan perempuan itu untuk dipanggil Mbak.

"Nggak akan terlalu sulit." Perempuan itu mencondongkan tubuh ke arah Ben. "Nggak ada perjanjian pranikah. Aku pasti bisa mendapatkan keinginanku dengan mudah."

Ben mengetuk-ngetukkan pulpen di atas notes. "Kedengarannya bagus. Semoga tidak akan alot."

"Nggak akan alot," ujar perempuan itu yakin. "Saya hanya butuh pendamping di pengadilan. Mas terlihat sempurna untuk itu."

Mengurusi kasus perceraian seperti ini bukan favorit Ben yang menyukai tantangan. Namun perempuan ini adalah klien tetap firma hukum tempatnya bekerja. Di luar hobinya kawin cerai dan memoroti mantan suaminya, dia sendiri adalah pengusaha yang cukup sukses. Jenis klien yang harus dijaga baik-baik.

"Saya sudah punya semua berkas yang dibutuhkan untuk memasukkan gugatan cerai." Ben berdiri. Saatnya untuk mengakhiri pertemuan. "Saya akan menghubungi Ibu untuk update beritanya."

"Ini sudah waktunya makan siang." Perempuan itu melirik jam berwarna emas di pergelangan tangannya. "Kita bisa makan sama-sama."

Ben tidak bodoh, dia menangkap sinyal yang dipancarkan perempuan itu. Dia menggerutu dalam hati. Ini seperti flirting dengan ibunya kalau dia sampai melayani. Astaga, yang benar saja. Dia bisa memilih perempuan mana saja yang diinginkannya untuk jalan, dan perempuan di hadapannya ini sama sekali tidak masuk dalam daftar.

"Terima kasih tawarannya, Bu. Tetapi saya punya pertemuan makan siang yang lain."

"Oke, mungkin lain kali." Perempuan itu mengulurkan tangan.

Teruslah berharap. "Tentu, Bu."

Ben menutup catatannya setelah klien itu pergi. Dia sudah janjian mau makan siang dengan Becca. Temannya itu sudah membayar minumannya di kelab beberapa hari lalu, dan menolak saat Ben akan mengganti uangnya. Mentraktirnya makan siang akan mengurangi sedikit rasa bersalah karena sudah membuat Becca kerepotan mengurusinya saat mabuk.

Sejujurnya, dia tidak terlalu mabuk. Dia hanya malas meninggalkan KTP atau jam tangannya di kelab langganan karena kehilangan dompet. Menjelaskan hal seperti itu sangat tidak nyaman. Lebih baik menyeret Becca dari tempat tidurnya yang hangat.

Ben and Becca (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang