Minim editan, jadi abaikan typo dan kalimat nggak efektif, ya. Happy reading and lope-lope yu ol, Gaess... Boleh minta komen biar nggak sepi? hehehe...
**
Becca dan Ben beriringan menuju tempat parkir. Fine dining restaurant menghabiskan lebih banyak waktu dibandingkan makan di warteg. Rasa kenyangnya sama, yang beda hanya sensasi nyaman dan jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk membayar.
"Kamu nggak apa-apa nyetir?" tanya Becca begitu mereka tiba di depan mobil Ben. Mobilnya sendiri diparkir agak jauh dari situ. "Tadi minum anggur, kan?"
"Satu gelas saja, Becca. Nggak ada pengaruhnya. White wine nggak sampai 10% alkoholnya."
"Tetap saja alkohol," bantah Becca. "Aku bingung deh sama orang yang suka minum. Buang uang hanya untuk dapat sakit kepala. Bodoh." Dia sungguh-sungguh dengan ucapannya. Mungkin dia sudah terbiasa dengan kehidupan yang bebas dari alkohol. Dia sudah menjadi atlet sejak kecil, sehingga sudah didoktrin untuk menjauhi alkohol dan barang-barang haram lain yang hanya akan merusak tubuh.
Ben tertawa. "Wine bagus untuk kesehatan."
Becca tetap menggeleng. "Terserah kamu, Ben. Itu hidup dan pilihanmu. Lakukan apa pun yang membuatmu bahagia, asal jangan memintaku menjemputmu di kelab lagi. Sudah ya," Dia menunjuk mobilnya. "Aku mau pulang. Makasih traktirannya."
"Kamu mau langsung pulang?" Ben menahan lengan Becca yang hendak melangkah. "Masih sore. Hanya anak SD yang pulang ke rumah jam segini."
Becca melirik pergelangan tangan. "Setengah sepuluh, Tuan Ben Pratama. Sudah nggak sore lagi ini. Sebagian orang malah sudah tidur."
"Ini akhir pekan, Becca, jadi hitungannya masih sore. Nonton, yuk!"
Becca mengernyit, menatap temannya itu penuh perhitungan. "Bukannya akhir pekan jadwal kamu hura-hura dan buka celana?"
"Sialan!" umpat Ben. "Untuk ukuran perawan, mulut kamu nggak ada sopan-sopannya!"
"Rugi banget juga sopan sama kamu." Becca mengedik tidak peduli. Mereka sudah terbiasa saling menyerang saat bicara. Bersikap sopan malah menggelikan. "Kamu nggak punya teman kencan malam ini?" Dia merapikan rambut dengan jari-jari. Tangan Ben baru saja mampir mengacak-acak di sana.
"Kita kan sudah janjian. Mana aku tahu kita hanya berdua dan bisa selesai secepat ini. Aku sedang malas ke kelab. Dompet baruku lumayan mahal. Sayang kalau hilang lagi. Kewaspadaanku biasanya mengendur saat ada tangan yang mengelus bokongku."
"Jijik, Ben!"
"Sekarang sih jijik. Nanti kalau tahu rasanya, ketagihan, deh." Ben tertawa. "Jadi nonton, ya?"
Becca menimbang-nimbang. Ini akhir pekan, memang tidak masalah kalau dia pulang lebih larut. Dia bukan lagi remaja yang punya jam malam. "Boleh, deh. Aku telepon Mama dulu supaya kunci rumah ditaruh satu di luar. Biar aku nggak perlu membangunkan orang rumah kalau pulang."
"Biar aku yang mintain izin sama Tante." Ben mengambil ponsel di telinga Becca, yang baru saja membalas salam. "Ini Ben, Tante," kata Ben, tanpa menghiraukan tatapan protes Becca. "Saya sama Becca mau nonton, jadi pulangnya mungkin agak larut." Dia diam sebentar untuk mendengarkan, dan kemudian tertawa. "Susah jodohnya kalau Becca. Tante tahu sendiri mulut Becca seperti apa. Harus yang kuat mental kalau mau sama dia. Mulut dan kepalan tangannya sama-sama menyakitkan."
Becca langsung cemberut. Dia berusaha merebut ponselnya kembali, tetapi Ben menahan tangannya. "Kembalikan, Ben!"
"Iya, Tante, jangan khawatir. Saya akan mengawal Becca pulang, kok." Ben masih melanjutkan obrolannya. Setelah mengucap salam, dia lantas mengembalikan ponsel yang dipegangnya kepada Becca. "Mamamu minta tolong sama aku buat cariin kamu jodoh. Kamu yakin nggak tertarik sama Adhi?"
"Mama hanya bercanda." Becca langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Dan aku sama sekali nggak tertarik sama teman mesummu itu. Jauhkan dia dari pandanganku."
"Galak banget, Neng!" Ben melepaskan tangan Becca yang tadi digenggamnya saat menghindari gadis itu merebut teleponnya. "Kita mampir di apartemenku dulu, ya. Cuma simpan mobil. Dekat dari sini juga, kan? Nggak enak jalan pakai mobil beda."
"Pulangnya bagaimana? Aku harus antar kamu dulu?" protes Becca. "Yang ada aku harus mutar, dong."
"Aku sudah janji sama mamamu buat ngantar kamu pulang. Nanti aku naik taksi dari rumahmu."
"Lama dan repot, Ben. Kamu bisa jengotan di jalan."
"Nggak apa-apa." Ben mengedip. "Aku pasti seksi kalau sesekali nggak cukuran."
"Narsis!" omel Becca.
"Bukan narsis. Namanya percaya diri. Memangnya hanya kamu yang setiap hari bisa menyombongkan kecantikan? Walaupun kamu menolak untuk mengakui, dilihat dari segi manapun, aku ini tampan. Kualitas nomor satu."
Becca menggeleng-geleng. "Whatever, Ben. Sebahagia kamu saja, deh." Dia melangkah menuju mobilnya. "Kita ketemu di apartemenmu, ya."
Mereka berpisah dan kemudian bergabung dalam mobil Becca, setelah Ben memarkir mobil di apartemennya. Mereka menuju bioskop di salah satu mal.
Becca menatap kecewa pada jajaran film yang sedang diputar di bioskop yang mereka datangi. Hal seperti ini memang kerap terjadi kalau mengunjungi bioskop tanpa membuka internet lebih dulu. "Kok nggak ada film romcom, sih?" keluhnya. "Ini thriller dan horror semua."
Ben tertawa. "Harusnya kamu tadi bilang, dong, kalau mau nonton yang romantis. Kita nggak perlu ke bioskop. Kita bisa nonton di apartemenku saja. Aku punya banyak koleksi film romantis. Kamu pasti meleleh kalau nonton."
Becca mendelik dan langsung menyikut perut temannya itu. "Sialan! Aku bilang komedi romantis, Ben, bukan bokep. Nonton bokep berdua kamu itu namanya musibah. Pulang-pulang, aku langsung hamil."
"Nggak mungkin hamil kalau pakai pengaman. Kamu kayak anak kecil saja." Ben terdiam sejenak. "Hei, aku beneran baru sadar kalau selama ini aku nggak pernah melihat kamu sebagai perempuan." Dia mengedik. "Jangan salah paham, kamu cantik banget. Kalau nggak, si Adhi nggak mungkin tergila-gila sama kamu. Standar dia kan tinggi. Maksudku, setelah pernah patah hati dengan Rhe, menyenangkan punya teman dekat tanpa melibatkan perasaan suka. Kecuali kalau kamu diam-diam suka padaku. Pesonaku, kan, nggak tertahankan." Ben tertawa di ujung kalimatnya.
Becca langsung melotot. "Kamu mau mati? Mau kupatahkan jadi dua? Aku nggak mungkin suka sama playboy kayak kamu!" sentak Becca. "Kalau pilihannya tinggal kamu, aku mending jadi perawan tua, deh."
"Nah, kan!" seru Ben. "Kita memang cocoknya hanya sebagai teman. Kamu bisa membayangkan kalau misalnya kita make out atau malah make love?"
"Kita?" Becca menunjuk dirinya sendiri dan Ben. Keduanya saling menatap dengan kengerian, dan serentak tertawa. "Horror banget, Ben."
"Iya, memang nggak cocok. Aku sama sekali nggak bisa membayangkan wajahmu kalau sedang horny menatapku."
"Sialan!"
Ben merangkul bahu Becca dan menunjuk salah satu poster film. "Kita nonton Kevin Spacey dan Jamie Foxx saja. Biasanya, filmnya lumayan."
"Action?" Becca siap protes.
"Memangnya kamu mau nonton film horror?"
Becca tidak terlalu menikmati film horror. Dia jelas tidak akan membayar untuk ditakut-takuti. "Oke, kita nonton yang itu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ben and Becca (Terbit)
RomanceDua orang yang terjebak dalam friendzone. Nyaman bersama, tetapi tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan yang lebih. Perbedaan prinsip dan gaya hidup membuat hubungan sebatas teman lebih mudah dijalani. Bersahabat selalu mudah dan menyenangk...