Chapter 3

169 15 4
                                    


Hari ini hari libur, biasanya aku membantu ibuku membereskan rumah. Tapi, sebelum melakukan itu aku akan memperkenalkan Renita dan Aulia kepada ibuku.

Aku tahu, pasti ibu tidak akan percaya, dan aku siap untuk mengatakan kalau aku memang bisa melihat mereka. “Bu, apa ibu melihat dua orang temanku di  sampingku?” ucapku.
“Dimana? Kamu kan dari tadi sendirian?” Tanya ibuku heran.

“Di sampingku bu, mereka bernama Renata dan Aulia. Mereka sudah meninggal saat Indonesia belum merdeka. Dan aku bisa melihat mereka, bahkan aku bisa melihat semua makhluk-makhluk tak kasat mata. Tolong percaya padaku bu.. Aku benar-benar  tidak berhalusinasi” ucapku hingga menangis.

Ibuku hanya terdiam setelah mendengarku berbicara. Ia akhirnya percaya dengan apa yang aku ucapkan hingga menangis. Tanpa ibuku menjawab, ia langsung mengambil telepon genggamnya.

Ibuku menelepon orang pintar yang ia kenal. 2 jam setelahnya, orang pintar itu datang.
“Ada apa ibu memanggil saya?” Tanya orang itu.
“Apa benar ada 2 anak di sebelah anak saya?” Tanya ibuku sambil menunjuk kearahku.

“Bagaimana ibu bisa tahu?”
  Ibuku terkejut saat mendengar jawaban itu. Ia sekarang benar-benar percaya apa yang aku katakan.

“Anak saya melihatnya, bahkan mereka sudah berteman sejak lama.”

“Sepertinya anak ibu memang memiliki kemampuan melihat mereka.”

“Apa kemampuan itu bisa dihilangkan?” ucap ibuku.

“Gak!, aku gak mau! Aku tahu ini sangat mengganggu kehidupanku. Tapi aku gak mau kehilangan mereka! Aku masih ingin berteman dengan mereka, mereka itu baik bu! Gak seperti yang ibu pikirkan.” Ucapku memotong pembicaraan. Aku langsung berlari menuju kamar.

  Saat tiba di kamar, aku menangis. Menangis sekencang-kencangnya. Aku tidak mau kehilangan Renata dan Aulia. Aku masih ingin melihat mereka, berteman dengan mereka, dan melewati hari-hari bersama mereka.

Kalau kemampuanku ini dihilangkan, aku tidak akan bisa berinteraksi dengan Renata dan Aulia lagi.
Di depan pintu kamar ada Renata dan Aulia yang ternyata sejak tadi mengikutiku menuju kamar.

Mereka hanya terdiam melihatku menangis. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Sebenarnya mereka ingin aku menghilangkan kemampuanku ini agar tidak diganggu lagi oleh makhluk-makhluk jahat.

Tetapi, di satu sisi mereka sedih, kalau aku menghilangkan kemampuanku mereka hanya bisa melihatku, tapi tidak bisa bercerita lagi tentang pengalaman-pengalaman mereka dulu, atau hanya sekedar memberikan lelucon untuk menghiburku jika aku sedang sedih. Mereka hanya membiarkanku menangis.

“Liana, sudah jangan menangis.” Ucap Renata dengan lembut.
Aku menghiraukan kata-kata Renata. Aku masih tetap saja menangis, karena aku tidak sanggup untuk kehilangan mereka. Aku masih ingin bersama mereka, bernyanyi bersama, bahkan saling bertukar cerita.

Hanya mereka yang mau menjadi sahabatku. Aku tidak pernah merasakan mempunyai sahabat yang sebaik mereka.

  Tiba-tiba Aulia membisikkan sesuatu kepada Renata, Aulia memberitahu bahwa ada cara agar aku mau menghilangkan kemampuanku.
Mereka berniat memperlihatkan wujud asli mereka sebenarnya.

  Deg! Tanganku bergetar, aku tak mampu untuk mengalihkan mataku. Mataku terpaku pada sosok Renata dan Aulia yang sebenarnya. Badannya hancur, tangannya sudah tak berbentuk, dan bersimbah darah. bahkan saat aku melihat tubuh Aulia, kepalanya putus dan tergeletak di lantai kamarku.

“Ya tuhan, kenapa mereka mengerikan sekali.” Gumamku dalam hati.

  Tapi tidak tahu kenapa, aku justru tidak merasa takut. Aku iba dengan mereka, seketika itu aku kembali menitikkan air mata. Lantas kuberanikan diri untuk memeluk mereka.

I Know You're Not HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang