Part 20

97.6K 5.8K 47
                                    

Aku duduk menyender diatas sofa, sambil meregangkan otot - ototku.

Lena sedang sekolah, dan aku memilih pulang untuk membersihkan rumah, Juan juga sedang kerja sekarang.

Ingatan yang tak pernah ada sebelumnya di otakku beberapa hari ini bermunculan, terlebih ingatan tentang Juan dan Lena.

Aku bersyukur, walaupun harus perlahan - lahan ingatan itu muncul, aku juga sudah menghubungi psikiater secara diam - diam dan menjalani beberapa terapi.

Baru aku ingin menyetel tv suara panggilan terdengar di ponselku.

"Iya Na?"

"Mba, mba bisa kerumah sakit?"

Aku mengerutkan keningku, bingung.

"Mas Juan, hm.. mas Juan babak belur mba"

"Hah?"

"Iya, nanti aku ceritain, mba kerumah sakit dulu yah sekarang mba"

Setelah mendapat alamat rumah sakit yang ternyata ada didekat kantor milik Juan, aku segera menjemput Lena dan membawanya kerumah sakit.

Disana sudah ada Warna yang menunggu didepan ruangan rawat Juan.

"Gimana ceritanya sih Na?"

Dengan ragu - ragu Warna bercerita bahwa Juan mengetahui kalau dia hamil dan dengan penuh emosi Juan mendatangi laki - laki itu, disitulah perkelahian terjadi.

Aku shock. Juan yang kukenal dingin dan tidak mudah emosi bisa melakukan hal semacam itu? Entahlah. Yang jelas saat ini aku marah! Entah marah karena Juan berkelahi, atau marah karena penyebab Juan berkelahi.

Aku menitipkan Lena kepada Warna sebelum masuk kedalam ruang rawat Juan.

Dia sedang duduk diatas ranjang sambil memangku laptopnya, dan langsung menyingkirkan laptop itu begitu tau aku masuk kedalam ruangannya.

Aku duduk di atas ranjang sambil mengamati luka - luka lebam di wajahnya, kulihat juga sudut bibirnya yang robek. Aku hanya mengamati sambil diam.

"Kalo kamu mau marah, marahin aja saya nya"

Aku berdecak.

Dia malah tersenyum "Kamu udah tau ceritanya kan dari Warna?"

"Kenapa kamu bodoh banget sih?" Omelku.

Dia masih tersenyum.

"Kamu nonjokin laki - laki itu juga enggak ada efeknya, Juan!"

"Iya"

"Saya pikir kamu itu laki - laki yang berkepala dingin, kamu gak mudah emosi kayak gitu! Kenapa harus berkelahi sih?!" Aku menyetuh luka lebam di pipinya.

"Ouw" rintihnya.

"Sakit kan? Siapa yang rugi kalo kayak gini?! Kamu juga kan?"

Dia menggenggam tanganku "Kamu cemburu?"

Kutarik tanganku "Apa sih?! Saya tuh cuma kesel kenapa kamu enggak bisa menjaga emosi kamu!"

"Dulu juga kamu bilang gitu saat saya berkelahi belain karyawati di kantor, tapi akhirnya kamu ngaku kalau kamu cemburu" ledeknya.

Aku menyipitkan mataku, mengingat - ngingat, apa iya?

"Maaf bikin kamu khawatir" dia kembali menarik tanganku.

Aku mendengus.

"Saya cuma mau ngasih pelajaran ke laki - laki itu, Landra. Karena Warna enggak akan bisa melakukan hal seperti itu"

Ex-  ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang