-Sembilan-

8.6K 549 13
                                    

Suara Rebecca terulang sangat jelas di memori otaknya. Setiap kata-katanya mengandung makna yang mampu menyelos setiap celah di hatinya.

Otaknya terus menyerap kalimat tersebut seiring darah mengalir. Rebecca tak lagi nampak dihadapannya dan itu membuatnya semakin pusing.

Di dalam dirinya, terdapat dua jiwa yang sedang berperang hebat di dalam sana. Apa yang ia harus lakukan. David pusing.

"Gue harus apa anjir," ucapnya sambil mengacak rambutnya pelan.

Pulang bego. Udah malem

Suara itu berlalu melewati telinga David. Sangat halus dan begitu transparan. David mengangkat tas ranselnya bergegas pergi dari kedai kopi.

Ia mengendarai motornya dengan kecepatan maksimal. Roda motornya sangat cepat berputar dan dengan lincahnya David mengendalikan kendaraannya tersebut untuk menyalip kendaraan lainnya yang berada jauh di depan.

Untungnya, nasib baik tengah menimpanya. Ia tiba di rumah dengan keadaan sehat tanpa luka fisik yang berbekas. Tapi percayalah, di dalam sana ada yang jauh lebih terluka.

David membuka pintu gerbang yang kebetulan ia membawa kuncinya sendiri dan masuk ke dalam rumah seperti maling.

Ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk dan menerjapkan matanya berkali-kali. Napasnya sudah jauh lebih teratur, matanya mulai terkantuk, dan jiwanya sudah sangat lelah.

David Gibson :Bro, bsk gue izin ya. Bilangin tuh sama sekretaris kelas yang tebirnya minta ampun

Leon Nuriza : Tumben amat

David Gibson : Alah bacot anjir. Bilangin aja ya

David menggaruk-garuk lehernya yang gatal. Badannya sangat lengket. Ia beranjak dan segera memasuki kamarnya.

Selepas mandi dan menganti pakaiannya yang santai, lagi-lagi David merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak lupa mematikan lampu besar lalu menyalakan lampu tidur dan televisi.

Ia begitu menikmati siaran berita yang sedang tayang. Ponselnya bergetar. Dan selalu seperti itu.

BBPI

Leon Nuriza : Coach, besok latihan gak?

Evan Anggara : Lusa aja coach. Senin pulang sore

Andre Selatan : Besok, gue tunggu jam 8 malam di tempat biasa. See u guys

Darma Andara : Buset buset

David Gibson : Coach, izin ada urusan keluarga

Andre Selatan : David aja yang izin. Awas lo semua gak dateng. Kalo kalah gak gue traktir nonton di kokas

Evan Anggara : Siap bos q

Wira Revano : 2

Leon Nuriza : 3

Galang Nalendra : Nonton doang?

Andre Selatan : Tai

David segera beralih dari grup basket sekolahnya. Lalu beranjak mengontak Megan.

David Gibson : Minta kontaknya Rebecca

Megan Sabrina : Tkb dasar

Megan Sabrina : Megan Sabrina mengirim kontak

David Gibson : Thanks

Tangannya beralih menekan tanda tambah di sana.

David Gibson : Thanks Becc

Rebecca : For wht?

David Gibson : Buat kalimat lo yang entah rasa apa, tapi bisa cukup menyadarkan gue

Rebecca : It's okay. Allah selalu sama lo, Dav. Jangan lupa selalu ibadah

•••

David duduk termenung di depan televisi di ruang keluarga. Dirinya sudah bersih dan wangi menggunakan celana boxer dan kaus oblong berwarna hitam. Tak ada seragam putih abu-abu, dengan jam tangan yang biasa melekat di pergelangan tangannya. Tak ada dasi abu-abu ataupun topi yang biasa melekat di kepalanya.

Elena keluar dari kamar dan menatap David heran. Biasanya di rumah akan sepi dan terisi hanya asisten rumah tangga. "Kamu enggak sekolah, Dav?"

"Enggak, Ma. David lagi malas keluar."

Elena tersenyum berusaha memaklumi. Ia duduk di samping David dan David meletakkan kepalanya di atas paha Elena menghadap ke layar televisi menonton The Lion King Disney film.

Mereka sudah mulai terhanyut dalam suasana kartun dan sesekali tertawa. Tawa inilah yang David inginkan. Tawa yang sempat menjadi obatnya.

Kekonsentrasian mereka buyar ketika seorang pria bersama seorang wanita berbadan dua datang, lagi. Tanpa basa-basi, orang yang David panggil sebagai 'papa' itu menatap tajam ke arah mereka. "Mana? Apa sudah ditanda tangani?"

Elena bangkit. "Apa? Apa yang ditanda tangani? Maksudmu apa?"

"Oh, anakmu itu belum bilang?"

Hatinya terasa terkena serpihan beling. Begitu perih dan menancap kuat di dalamnya, sampai-sampai sulit untuk diambil. David bangkit dari duduknya, merogoh kantong dari celana boxernya.

Ia maju beberapa langkah mendekat ke arah Romi, tepat di depan matanya.

Srek!

Kertas di tangan David sudah terpotong menjadi dua bagian.

Srek! Srek! Srek! Srek!

Kertas itu berubah menjadi potongan-potongan kecil dalam sekejap mata. Romi merasakan darahnya mendidih dan tangan besarnya itu melayang kembali ke pipi David, lagi.

Romi segera keluar dari rumah bersama wanita itu tanpa kalimat ucapan terakhir atau sekedar kalimat lainnya. Elena dapat melihat bahwa putra kesayangannya itu baru saja mendapat perlakuan kasar dari ayah kandungnya. Hatinya tersiksa bahkan sangat perih. Butiran air mulai tumpah dan dengan cepat David mendekap Elena dalam pelukannya.

David membopong Elena untuk duduk di sofa dan berusaha menenangkannya. Mbak Irna yang sudah melihat semuanya dengan sangat sigap membawakan segelas air putih dan menyerahkannya kepada David.

Dengan sangat perlahan dan hati-hati, ia membantu Elena menenggak minumannya. Setelah sekian menit merasa lebih baik, David membuka suaranya. "Ma, apa Mama pernah mikirin perasaan David?"

"Perasaan apa yang kamu maksud, Dav?" tanya Elena dengan nada meninggi. Wajar saja ia marah, toh Elena juga seorang ibu. Pasti sangat memikirkan anaknya.

"Perasaan David yang hancur karena Mama. Karena Mama yang terus-terusan menyalahkan diri Mama sendiri atas kepergian Mutiara. Atas sikap Mama yang berbeda tanpa hadirnya Papa di sini. Mama punya dunia sendiri di dalam sana. Tanpa Mama sadari, Mama masih punya David.

David kangen Mama yang ceria. Kangen Mama yang ngumpul ribet sama ibu-ibu arisan. Mama yang ngeledekin David, nyomblangin David sama anaknya temen-temen Mama. Kangen masakan bikinan Mama. Kangen sapaan dari Mama. Harusnya David dapat itu semua. Tapi ternyata, hak David hilang begitu aja karena keegoisan Mama," ucap David panjang lebar.

Elena dapat melihat sorot terluka dari mata David. Bola matanya menyimpan banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan namun terasa enggan. Elena memeluk David, membawa tubuh putranya ke dalam pelukan nyaman. Ia menghirup wangi badan David yang sudah lama tak ia cium.

"Dav..." ucap Elena lirik.

David menatap mata Elena dengan tatapan bertanya.

"Maafin Mama."

David udah maafin Mama. Yang penting Mama berubah. "Iya."


Jakarta, 24 September 2017
21:34 WIB

ShiverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang