-Dua Puluh Empat-

5K 402 27
                                    


Divote sebelum scroll ke bawah bole tidak ya? Hihiw. Happy reading!




"Sar? Sarah? Sumpah itu Sarah?" ucap Rebecca nyaris tak terdengar.

Sulit dipercaya. Apa sebesar itu efek bentakan Rebecca mengubah Sarah? Kacamatanya dilepas, rambutnya tergerai, bajunya tidak lagi kebesaran, bahkan panjang kaos kaki hanya semata kakinya.

Rebecca berjalan berbalik menuju kelas. Muak dengan pemandangan menjijikan itu tiba-tiba ia bergidik begitu saja. Rebecca mengambil tas hijau toska tadi dan memindahkannya di atas meja. Kini tasnya yang berada di bangku tepat di sebelah David.

Tak lama dari itu bel berdering membuat telinga Rebecca ngilu dalam beberapa saat. Pintu kelas mendadak menjadi ramai. Matanya dapat melihat kalau David dan Sarah jalan beriringan. Mereka tertawa cekikikan dan melangkah menuju tempat duduknya.

Rebecca menatap David dengan tatapan penuh tanya. Sementara pemilik mata indah itu mengacuhkannya. Dalam hati Rebecca menyumpahkan David akan menyesal telah melakukan ini semua.

"Mulai hari ini," katanya lalu menarik napas, "Sarah duduk sama gue."

"Lah terus gue? Gue duduk dimana?"

"Ya terserah lo. Intinya mulai hari ini gue enggak mau duduk sama lo. Gue maunya sama Sarah."

🍏🍏🍏

Ketika bel istirahat Rebecca merenggangkan jari-jarinya. Mulutnya terbuka lebar karena pelajaran tadi sangat membosankan sehingga membuatnya mengantuk sepanjang proses belajar mengajar.

Tapi matanya mendadak terbuka lebar, hatinya panas, dan giginya bergemelatuk kencang saat melihat Sarah dengan beraninya meraih lengan David dan si pemilik tangan hanya tersenyum sambil tertawa.

Saat mereka sudah menjauh, Rebecca, Megan, dan Atha juga berjalan menguntit mengikuti orang itu. Rebecca hanya ngedumel tidak jelas serta kecepatannya dalam berbicara menambah lima kali lipat dari sebelumnya.

"Ngomong mulu lo! Berisik!" tegur Leon saat berpapasan dengan Rebecca.

"Bodo," jawabnya jutek.

"Kalau enggak suka ya bilang. Jangan ditahan-tahan! Langsung sikat!"

"Sikat bapak lo! Sikat dulu tuh gigi. Cabe masih nempel aja belagu!" balas Megan sewot.

"Apa ngomongin cabe-cabe? Orang tadi gue abis makan soto pakai sambal, jadi ya wajar ada cabenya. Enggak seneng lo?"

"Apa untungnya gue enggak seneng hah?"

"Lah mana gue tau! Orang lo yang sewot kenapa harus gue yang mikirin faedahnya?!" jawab Leon kesal.

Rebecca ingin sekali menjedoti kepala mereka berdua sekarang. "Bacot!"

Ia pergi bersama Atha dan membiarkan Megan adu mulut dengan Leon. "Enggak kebayang kalau mereka sampai nikah," celetuk Atha yang dibalas dengusan malas oleh Rebecca.

Kini Rebecca duduk di lantai atas sekolah. Tempat ini sangat sepi karena semua guru-guru sedang mengadakan rapat dadakan yang di dalamnya terdapat Omnya, termasuk semua siswa dan siswi yang memadati area kantin, lapangan sekolah, perpustakaan, hingga ruang BK.

Matanya menatap ke depan. Ia duduk di bangku panjang seorang diri. Sangat sepi di sini mungkin hanya hembusan angin yang menemaninya. Tiba-tiba suara langkah kaki mengejutkannya. Dadanya bergemuruh panik. Kepalanya menoleh ke kanan untuk mengkonfirmasi siapa yang datang.

"Bukan cuma lo yang ngerasa David berubah," katanya.

Rebecca dapat mengenali suara khas tersebut. Biasanya suara itu selalu terdengar untuk lawakan dan gombalan khas yang ditujukan kepada Megan. Namun, suara itu berubah menjadi dingin dan jauh lebih kaku dari biasanya.

"Entah dikasih racun apa sama si Sarah itu."

"Terus, lo mau apa?"

"Kita selidikin."

🍏🍏🍏

"Lo jadi ngelaporin anak yang waktu itu buat gosip tentang lo?" tanya Megan.

"Menurut gue sih engga," sahut Atha.

Megan mendaratkan wajahnya lalu menatap jengah ke Atha sementara dia hanya menyengir lebar.

"Enggak."

"Kenapa?"

"Kalau memang dia salah, gue bisa jadiin dia boomerang buat si Sarap itu."

Atha menyeritkan dahinya tak paham. "Maksudnya? Caranya?"

"Om gue enggak akan segan ngeluarin micin itu dari sekolah. Om gue udah dengar semuanya dan sempat marah juga. Tapi dia tetap ada di kubu gue. Gue akan pertahanin micin itu, gue akan desak dia sampai gue punya bukti banyak buat bikin si Sarap itu nyesel."

"Cuma itu?"

Rebecca mengangkat bahunya. "Enggak tahu juga. Mungkin dia akan sengsara kali dilabrak si Sarap. Liat aja tuh gayanya sekarang. Kayak orang lupa daratan!"

"Hah?"

"Kalau Sarap labrak Micin, pasti bakal kena sanksi dari BK. Udah gitu sekarang dia mirip tante-tante enggak jelas. Itu bisa jadi alasan kuat kenapa dia harus di keluarkan.

Sementara untuk si micin, biarin aja dia hidup di sini. Sampai si Sarap di keluarin, baru Om gue bertindak."

"Kedengarannya ide lo terlalu jahat?" tanya Leon dengan suara kecil.

"Ini bukan masalah jahat. Ini tentang 'carilah musuh yang sepadan'. Hal ini bisa dijadiin pelajaran buat mereka yang suka cari masalah."

"Tapi terdengarnya justru lo yang membesarkan masalah sepele ini?"

"Bukan masalah sepele atau enggaknya. Masalah ini mengancam harga diri gue serta ketenangan hidup gue."

🍏🍏🍏

Rebecca, Megan, Atha, Leon, dan Evan tengah duduk di sebuah kedai kopi dengan bentuk melingkar. Di atas meja sudah tersedia lima buah kertas hvs berisi banyak ide untuk menyelidiki tentang David dan Sarah.

"Lo mau nyumbang ide apa?" tanya Rebecca tanpa berbasa-basi.

"Gini aja, karena gue punya akses kenceng sama dunia internet, gue akan ngelacak data pribadi si Sarah? Gimana?" usul Leon.

"Ide ditampung. Selanjutnya!"

"Kita bayar salah satu anak di sekolah buat jadi temannya si Sarap. Setelah mereka temenan si pelaku ini akan berpura-pura jadi sahabatnya dia. Nanti kita bakal suruh pelaku ini untuk masuk ke rumah dia. Mengamati keadaan sekeliling dia," usul Atha.

"Ide ditampung. Selanjutnya."

"Yang paling utama, kita harus cari bukti yang menguatkan kalau Sarah memang benar-benar pelakunya."

"Ide diterima. Lanjut."

"Bedanya ditampung sama diterima apaan?" tanya Evan.

"Pertanyaan macam apa itu?"

"Masalahnya lo udah menjawab 'ide ditampung' dua kali dan 'ide diterima' sekali. Apa bedanya?"

"Kalau ditampung masih harus dipertimbangkan sementara diterima itu udah pasti kita lakukan. Paham?"

Evan mengangguk.

"Gitu doang?"

Rebecca mengambil secangkir kopi dinginnya lalu menenggaknya hingga setengah. "Misi pertama yang kita lakukan apa?"

"Stalk dulu kebenaran, baru lanjut beralih ke identitas," jawab Leon tegas.

"Misi dimulai."






PLS MOOD SAIA BELAKANGAN INI LG KURANG GUT, MAKLUMI YA GENGS :(

Regards, Alsa

Jakarta, 10 Oktober 2017
21:53 WIB

ShiverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang