PROLOG

313 16 4
                                    



"Emang kamu bisa ngedongeng ?" .

"Enggak sih, tapi kalo kamu yang minta yah bakal aku coba" .

"Yaudah, coba ceritain sesuatu yang menurut kamu bakal bikin aku tertarik" .

Aku berpikir sejenak. Kemudian kumulailah dongeng sesuai permintaannya.

"Pada suatu hari, seekor kunang-kunang baru saja kehilangan hal yang paling dicintainya, membuat ia jatuh terpuruk, benar-benar terpuruk. Ia merasa inilah akhir dari segalanya. Keterpurukan itu membuat hal paling indah dalam dirinya ikut sirna. Kini ia hanyalah kunang-kunang gelap tanpa cahaya pada dirinya..." .

Aku menatap wajahnya, ia menyimak ceritaku dengan penuh minat. Aku tersenyum simpul melihatnya, kemudian melanjutkan.

"...Sebenarnya ia sadar, jagat ini membentang begitu luas dengan segala keindahan di dalamnya, tapi hanya itu yang ia tahu, sehingga ia pilih bernaung di dalam tempurung yang dipikirnya akan menjaganya dari terik mentari, guyuran hujan atau pun terjangan badai. Sayang, tanpa ia sadari keindahan di luar sana lah yang sebenarnya mampu menjadi ombak yang akan dengan perlahan mengikis serpihan-serpihan kepedihan yang tertanam di batinnya. Ia memilih bersembunyi dan merenungi nasib di tempurung yang mengekang dunianya ini.

Tapi semuanya berubah ketika seekor kunang-kunang masuk ke tempurungnya. Kunang-kunang itu menarik perhatiannya, kerlipnya begitu unik, hijau-kebiruan, kerlip yang indah ditatap, bunyi kepakan sayapnya pun elok didengar..." .

"Sejak kapan kamu bisa bahasa yang puitis gini ?" potongnya.

"Ck, dengerin dulu sih!" .

"Hehehe... Maaf, maaf. Silahkan dilanjutkan" .

Aku berpikir sejenak.

"Tuh kan jadi lupa, udah sampai mana tadi ?" .

"Kunang-kunang jingga" katanya membantuku mengingat.

"Kunang-kunang ini mungkin kesasar, pikirnya. Kunang-kunang kebiruan itu kemudian bertanya padanya, "bang, WC umum dimana yah ?"" .

Ia menatapku dengan mimik kaget bercampur heran.

"Udah ? gitu doang ceritanya ??" Kujawab pertanyaannya dengan anggukan yang mantap.

"Ish... Nyebelin, tahu gini mending gak usah ngedongeng" katanya dengan mimik marah yang dibuat-buat. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.

Segera setelah tawaku mampu kukendalikan, aku membujuknya.

"Hehehe... maap, maap. Tadi Cuma becanda. Yaudah aku lanjutin yah ceritanya" .

Ia menatapku, masih dengan mimik marah yang dibuat-buat, ia mengancam.

"Awas kalo bercanda lagi!!" .

Aku berdehem, kemudian melanjutkan.

"Kunang-kunang kebiruan itu tak berkata apa-apa padanya, ia hanya menghampiri, kemudian berlalu meninggalkannya. Ia bingung, apa mungkin dia ingin aku mengikutinya, pikirnya, membuat ia penasaran.

Jauh di dalam hatinya, si Gelap ingin ikut bersama si Biru itu untuk memuaskan rasa penasarannya, tetapi ego melarangnya. Perang hebat terjadi di dalam batinnya. Ia menatap si Biru keluar dari tempurung. Cahaya menimpa sayapnya yang berkepak dengan indah. Ia semakin penasaran. Setelah Biru hilang dari pandangannya, ditariknya nafasnya dalam-dalam, sayapnya pun menuntunnya meninggalkan tempurung gelap itu" .

Kini ia menyimak dengan serius. Aku semakin bersemangat melanjutkan cerita.

"Ia bingung, kemana perginya si Biru ? . Sesaat kemudian didapatinya Biru terbang di antara padang ilalang yang menjulang tinggi. Sempat terbersit keraguan untuk melanjutkan niatnya. Baru saja ia hendak kembali ke tempurung ketika rasa penasarannya semakin menjadi. Dengan tergesa-gesa, diikutinya Biru hingga diakhir padang itu. Biru terbang ke atas pohon yang dihiasi dengan daun lebat, si gelap mengekor di belakangnya. Jauh di atas sana, ada seberkas cahaya yang menyala dengan cemerlang, apa itu ? rasa penasarannya kian bertambah.

Begitu ia sampai pada puncak yang sempat memancing rasa penasarannya itu, saat itu pula ia kecewa ketika mendapati bahwa tak ada yang istimewa di pohon ini. Ini hanyalah puncak pohon biasa dengan pemandangan yang biasa-biasa pula. Baru saja ia hendak kembali ke bawah ketika ia dapati jingga hinggap di daun paling puncak di antara dedaunan lainnya. Apa yang dilakukan jingga di atas sana ? . Lagi-lagi karena rasa penasarannya ia pun mengikutinya. Ia melirik ke arah jingga. Jingga sedang menatap objek yang entah apalah itu, ia kemudian menatap ke arah yang sama.

Matanya terbelalak ketika ia dapati pelangi yang begitu indah terbentang di depannya. Ia terkagum-kagum. Ternyata seindah inilah pelangi. Tak pernah terpikir olehnya menikmati hal-hal di sudut pandang yang berbeda. Yang selama ini terpikir olehnya adalah, itu hanyalah pelangi biasa yang mekar setelah hujan. Sudah sering terlihat. Sudah amat membosankan. Tetapi di puncak pohon yang rindang ini ia tersadar, terlalu banyak hal indah yang ia lewatkan dengan berdiam diri di tempurung gelapnya. Ia sadar, ia harus bangkit. Ia harus mengakhiri masa keterpurukan ini. Tak ada gunanya terus berlarut-larut dalam kesedihan.

Tidak, ternyata hal indah ini tak mengikis kepedihannya seperti ombak mengikis karang, tetapi seperti lampion yang menerangi kegelapan. Sampai kapan pun kepedihan akan tetap ada di dalam hatinya dan takkan bisa ia hapus. Tapi jika ia ingin bangkit, ia hanya perlu mencari sumber tenaga yang akan menjaga agar lampionnya tetap menyala, karena dengan lampion itulah kegelapan akan tertutupi oleh cahaya.

Ia menatap Biru dengan rasa penuh terima kasih" .

Aku mengakhiri cerita dengan senyum yang merekah dan mata yang menatap pemandangan di depanku. Beberapa saat setelah akhir cerita suasana menjadi hening.

Aku menatap dia yang berada di sampingku. Ia menatap lekat mataku, mungkin puas ataupun heran dengan ceritaku, entahlah.

"Dan kamu tahu gak ?... Kunang-kunang gelap yang berkurung diri di tempurung itu adalah aku yang dulu. Dan kunang-kunang kebiruan itu adalah kamu..." .

Mata kami saling beradu.

"Kamu yang datang mengulurkan tangan ketika aku terjatuh. Yah, walaupun awalnya kamu rada rese sih" Ia tertawa mendengar ucapanku.

"Tapi, kamu yang menyadarkan aku bahwa aku masih harus berjuang untuk orang yang kusayangi. Kamu yang menyadarkan aku bahwa dengan bersikap dingin dan mengedepankan ego, masalahku gak akan ada habisnya"

Ia tersenyum simpul dan kini menghindari tatapanku. Pipinya merona merah.

"Pipi kamu merah tuh" Ucapku sambil tertawa.

"Enggak, ah. Biasa aja" .

Ia tampak menahan agar senyumnya tak merekah.

"Salsa..." Ia masih menghindari tatapanku.

"...Jauh di dalam hatiku dulunya ada kegelapan, bener-bener gelap tahu gak. Tapi kemudian kamu datang dan menaruh cahaya di sana. Kamu menjaganya tetap terang, dan menjaganya tetap hangat. Gak bisa aku ungkapin dengan kata-kata betapa bersyukurnya aku bertemu dengan orang sinting kayak kamu..."

Senyum Salsa kini merekah. Senyum teduhnya itu semakin membuatku jatuh cinta.

"...Salsa. I Love you since the first time I meet you, and I will always do, till the fate separates us..."


****

Ayo! Discroll lagi, hehehe :D

Di Balik HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang