2. Meet my besties

156 8 4
                                    

"Teh manisnya satu ya mbak" pintahku ke mbak penjaga kantin.

"Gak makan bakso den ?" tanyanya ramah

"Lagi gak lapar mbak"

Beberapa saat kemudian teh manis pesananku datang. kuseruput sedikit demi sedikit, menikmati setiap tetes yang masuk membasahi tenggorokanku. Ah, segarnya. Lega juga rasanya terbebas dari kelas pengap nan ribut itu. Meskipun kantin ini tak jauh lebih tenang, tetapi angin sepoi-sepoi yang dengan lembut menerpa wajahku sedikit memberikan ketenangan.

Setelah pikiranku menjadi sedikit lebih tenang, aku kembali memikirkan sikapku tadi. Betapa bodohnya aku. Mencoba melampiaskan kekesalan pada orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalahku.

OO—

Setengah dari isi gelas teh manisku telah kuhabiskan. Kini kupandang siswa-siswa yang bermain basket di bawah teriknya sang mentari. Pandanganku kabur, entah mataku yang lelah, atau pandanganku yang tak terfokus. Entahlah, rasanya pikiranku telah terbang jauh meninggalkan otak yang sarap akan beban ini.

Debam meja yang keras sukses meleburkan lamunanku. Seseorang memukul meja dan menatapku dengan garang.

"Kamu ini kerjaannya tidur mulu! Kamu ke sekolah mau belajar apa mau numpang tidur, hah !?" Bentarknya dengan cukup keras. Membuat orang di sekelilingku menatap kearah kami dengan penasaran.

"Nilai kamu di mata pelajaran saya itu merah besar! Asal kamu tahu. Kamu ini ada niat belajar gak sih ? udah otaknya kayak otang udang, malas belajar, di sekolah kerjaannya cuma molor..."

"...Hahahaha" Disambungnya bentakan tadi dengan tawa yang yang mirip kera kesurupan.

Ikbal baru saja menirukan dengan sempurna adegan bu Liana memakiku tadi. Aku menatap dengan jengkel pada sahabat berotak gesrekku ini.

"...ahahahah... aduh, zam, zam, udah tahu guru killer, masih nekat molor lo" Ikbal menoyor kepalaku agak keras.

"Gak abis pikir gue sama lo, tapi nyali lo boleh juga loh zam, jarang loh ada siswa yang berani tidur pas bu Liana ngajar, bahkan lo yang pertama kayaknya. Gue jadi kagum sama lo" katanya sambil menatapku seakan menyaksikan seorang personil boyband Korea yang sedang perform. Aku bergeming.

"eh, lo perhatiin gak siswi baru tadi ? Cantik banget men, gila. Apalagi pas dia senyum tadi, beeuh. Semoga aja dia duduk di tempat gue nanti" Aku masih bergeming. Namun pikiranku kini teralih ke siswi baru tadi. Memang benar pendapat Ikbal.

Ikbal menarik gelas berisi teh manisku ke depannya dan hendak meneguknya. Aku berusaha merebutnya kembali namun tanganku ditepis cukup keras. Teh manisku ia habiskan hanya dengan sekali tegukan. Ia kemudian mengembalikannya padaku. Kini gelas itu tampak kering dengan hanya beberapa butir es di dalamnya.

Aku hanya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ikbal hanya nyengir melihatku. Aku kembali menatap ke arah lapangan basket yang telah sepi. Hanya dua hingga tiga orang yang lalu lalang di tengah lapangan dimana salah satunya memeluk beberapa tumpuk buku.

Ikbal menatapku dengan ekspresi yang konyol, tampak mencoba membaca isi pikiranku. Ia kemudian berdehem, mencoba terlihat lebih serius, yang justru membuatnya tampak lebih konyol bagiku.

"bro..." Aku tetap bergeming.

"ei bro, dengerin napa" Aku menatapnya dengan malas.

"Akhir-akhir ini lo kok berubah drastis sih...?" Aku mendengarkan dengan wajah datar.

"...sumpah akhir-akhir ini lo gak kayak biasanya, badmood mulu lo kayaknya cewek. Lo kenapa sih ?" tanyanya dengan wajah serius.

"Bukan cuma gue loh. Andre, Kemal, sama temen-temen yang lain juga ngomong gitu"

"Oh, iya. Andre sama Kemal kok gak ngekor ?" tanyaku.

Sekilas tentang sahabat-sahabatku. Ikbal adalah sahabat karibku. Kami berteman sejak kelas 5 SD dan rumah kami memang berdekatan, sehingga kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bahkan saking karibnya, kami tak akan ragu bertukar celana dalam. Sedangkan Andre dan Kemal kukenal saat SMP, saat masih di sekolah menengah pertama dulu, kami memiliki sebuah geng, dimana geng tersebut telah terlibat berbagai kasus tawuran, sehingga sangat ditakuti di sekolahku dulu. Namun saat kelas 3 aku memutuskan keluar dari geng tersebut. Sebagai sahabat yang setia, Ikbal, Andre dan Kemal juga melakukan hal yang sama. Dan sejak saat itu kami lebih banyak menghabiskan waktu berempat sehingga hubungan kami kini benar-benar erat. Meskipun aku anak tunggal, keberadaan mereka membuatku merasa memiliki saudara kandung. Tak ada kegilaan yang kulakukan tanpa ditemani setidaknya salah-satu dari mereka.

"Mereka abis kalah taruhan. Kalo gue ajak, yang ada malah pada minta ditraktir"

Salah satu kebiasaan sahabat-sahabatku ini adalah, taruhan untuk pertandingan Madrid dan Barcelona. Andre dan Kemal adalah Penggila berat Barcelona, sedangkan Aku dan Ikbal merupakan fanatik Real Madrid. Beberapa hari yang lalu, dalam laga yang dijuluki El Clasico tersebut, Real Madird sukses membantai Barcelona dengan skor telak 4-1.

"Menang banyak dong lo ?"

"Mayanlah, dapet 150 ribu" Kata Ikbal dengan Senyum penuh kemenangan.

"Lo kalo lagi ada masalah, cerita ke gue" .

"Si taik, masih dibahas aja" Umpatku dalam hati.

"Lo ngomongin apa sih Bal" Jawabku, masih dengan wajah yang datar.

"Halah, gak usah pura-pura lo. Gue tahu lo pasti lagi ada masalah kan !? Soalnya enggak biasanya banget lo gini. Zam, dibanding lo pendem, mending lo share ke gue. Ingat zam, masalah yang terus dipendam suatu saat akan terasa sesak dihati" Katanya dengan wajah super serius bak Mario Teguh.

Aku menatapnya dengan jijik.

"Idih, sok putisi lo. Sumpah, gue gak punya masalah. Mungkin emang akhir-akhir ini mood gue lagi jelek aja" kataku mengelak.

"Beneran ? kalu lo pendem bakal numpuk loh, bakal berasa lebih sesak entar" Ia mewanti-wanti.

"Halah, sok tahu lo. Iya beneran, gue Cuma badmood, itu aja, gak lebih" Ikbal hanya mengangguk-ngangguk.

Aku kembali menatap lapangan yang kini benar-benar sepi, yang tampak hanya dedaunan lemah yang jatuh tertiup angin.

Sejenak kupikirkan kata-kata Ikbal. Memang itu lah yang kurasakan saat ini, sesak. Sempat terbersit olehku untuk menceritakan pada Ikbal masalahku sebelum akhirnya kuputuskan untuk tidak menceritakan apa pun ke siapa pun. Termasuk ke sahabatku ini.

"Kriiiiiing...." bunyi bel sekolah meleburkan lamunanku.

"yuk, balik ke kelas, masih sejam bareng bu Killer nih" ajak Ikbal. Aku berpikir sejenak.

"Kayaknya gue pengen bolos deh, Bal"

"HAH!!" Ikbal terkejut mendengar perkataanku.

"Nyantai aja bangke!!" tegurku yang risih dengan ekspresi bodohnya itu.

"Gila aja lo, zam, sekarang jamnya bu Liana loh"

"Apaan sih lo ? lo juga kalu mau bolos gak kira-kira, ini hari apa, guru yang masuk siapa aja, ada ujian apa enggak, ditambah lo sering banget gitu, kan!" Protesku.

"Gue beda zam, gue bolos dengan gak masuk dari awal jam pelajaran, jadi dihitung absen sama guru, lah elo ? tadi lo masuk, sekarang lo ngilang, jelas dihitung bolos" bantah Ikbal.

Ia masih menatapku dengan heran. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Sejak hari pertama sekolah hingga awal semester dua, memang baru kali ini aku berniat bolos.

"Zam! mending lo jangan cari penyakit deh, tadi tuh lo abis kena masalah sama bu Liana, dan sekarang kalo lo bolos, bisa-bisa disuratin tuh orang tua lo" .

Aku memilih tak mengindahkan peringatan Ikbal. Aku berdiri, berjalan menghampiri mbak penjaga kantin dan membayar teh manisku, kemudian kembali ke Ikbal.

"Motor sama tas gue, gue titip ke elo, oke" kutepuk bahu Ikbal, kemudian berlalu meninggalkan kantin.

"Zam!" aku melirik melalui bahuku.

"Kelas kita punya siswi baru loh, gak penasaran lo ?" Godanya.

"Bodo!" jawabku singkat. Kemudian meninggalkan sekolah dengan melompati pagar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Balik HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang