1. Siswi Baru

157 10 1
                                    

Seperti biasanya, pada siang hari Matahari memancarkan sinarnya ke setengah isi Bumi. Hawa panas yang dipancarkan teriknya akan membuat siapa saja berlindung dari keganasannya. Tapi tidak dengan Bandung. Setidaknya itu yang awalnya kupikirkan. Tapi ternyata gumpalan awan hitam yang datang dan menghalangi terik sang mentari justru membawa hawa yang lebih ganas. Semakin pengap saja kelasku dibuatnya. Apalagi guruku pun sepertinya belum akan mengakhiri ocehannya.

Awan sudah menghitam sejak tadi, tapi bukannya menurutkan berton-ton air, malah membuat ruang manapun di kota ini menjadi pengap sepngap-pengapnya.

Aku berdiri tepat di depan seisi kelas. Dengan memunggungi papan tulis, mataku menatap palfon dengan bosan. Sesekali kuhitung palfon itu agar pikiranku tak terfokus pada ocehan guruku.

Kini aku menatap meja di depanku, memperhatikan tulisan "BOS 2008" yang dipilox dengan tidak rapi. kemudian mataku beralih ke kaos kaki siswa-siswi yang duduk di barisan depan. Beberapa di antaranya tampak putih bersih, itu pastilah milik si rajin. Dan ada pula yang tampak kotor dan lusuh, yang ini pasti milik si pemalas. Setelah bosan mataku akan kembali menatap dan menghitungnya palfon, lagi. Kegiatan monoton itu terus kuulang selama setengah jam.

Ocehan guruku tak kunjung berhenti, kian pengap saja telingaku dibuatnya. Kalau saja bisa kuberitahu. "Bu, percuma Ibu ngoceh, saya lagi malas dengerin, yang ada paling ceramah Ibu mantul dari telinga saya" . Tapi aku tak senakal itu sampai berani menyela bu Liana. Guru Matematika paruh baya yang juga istri kepala sekolah. Guru yang dikenal oleh para siswa dengan predikat "Most Killer"nya.

"Tok.. tok.. tok.." ocehan bu Liana terhenti. Seseorang mengetuk pintu kelas yang setengah terbuka. Mencuat dari balik pintu kepala dan setengah badan pak Andre, guru olahraga kami. Salah satu guru yang dikenal ramah dan mudah bergaul dengan siswa-siswinya, berbanding terbalik dengan guru Matematika kami ini.

Beliau masuk ke kelas dan menghampiri bu Liana. Saat ia lalu di depanku, ia menggeleng-geleng. Ia kemudian berdiskusi dengan bu Liana, lalu keluar ruangan sembari balas tersenyum ke siswa-siswi yang senyum padanya.

OO—

Akhirnya bu Liana membolehkanku duduk namun dengan tatapan tajam dan mewanti-wanti agar tak tertidur lagi. Akhirnya, setelah sekitar sejam berdiri dan setengah jam diocehi aku kembali ke singgasanaku. Disana, disudut yang sejajar dengan pintu kelas itulah yang menjadi tempatku meratapi dan merenungi nasib sebagai seorang siswa sekolah.

Aku menatap sinis pada sosok yang duduk di sudut berseberangan, tepat berhadapan dengan meja guru. Dialah Ikbal, sahabatku. Ia tak kunjung berhenti menertawaiku. Bahkan sejak aku dibangunkan oleh bu Liana, ia telah mual melahan tawa. Tampaknya ocehan tadi sangat lucu baginya. Bagaimana tidak ? bu Liana mengataiku dengan sebutan yang cukup memalukan. Meski sebenarnya apa pun itu takkan kuambil pusing, namun kata-kata itu cukup membuatku malu di depan teman-temanku.

Pandanganku beralih ke buku tugas Matematikaku. Aku Berpikir sejenak. Kemudian mulai membaliknya. Membuka tepat pada halaman paling belakang. Mencari halaman kosong dan mulai menggambar. Apa saja yang terlintas di otakku, kutumpahkan semuanya di dalam buku terkutuk ini.

Beberapa saat kemudian pak Andre kembali ke dalam kelas. Namun kali ini ia tak sendiri. Mengekor di belakangnya seorang Siswi yang belum pernah kulihat sebelumya. Kutatap dengan penasaran siswi itu. Namun kemudian posisinya memunggungiku, sehingga kupilih kembali fokus mencoret-coreti bukuku.

Setelah diskusi beberapa saat, bu Liana maju ke depan.

"Perhatian semuanya" katanya sambil menepuk-nepukkan tangannya.

Sebenarnya tanpa meminta perhatian pun seisi kelas memang sudah sejak tadi memperhatikan dengan penasaran pada siswi itu. Kecuali aku tentu saja, yang memilih untuk berimajinasi dengan kertas dan pulpenku.

Di Balik HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang