Dua

26 3 1
                                    

[Brickstone - 11.00 a.m]

Hembusan uap yang tercipta dari napas gadis itu menghilang dalam beberapa detik. Bibirnya yang merah muda alami itu terkatup rapat-rapat, berusaha menghilangkan gemetar akibat suhu udara yang mulai menggila meski hari sudah memasuki jam siang. Ia membuka kelopak matanya yang sedari tadi tertutup, menatap keluar jendela bis yang ia naiki saat ini. Kedua tangannya semakin memeluk tubuhnya saat bis mulai berhenti di sebuah halte dan membuka pintu otomatis itu. Tubuhnya diberdirikan lalu berjalan keluar dari bis.

Kakinya terhenti begitu saja di depan halte saat pintu bis tertutup kembali dan kendaraan tersebut melaju meninggalkannya sendiri. Kepalanya mendongak dan mata biru lautnya menatap sebuah papan nama yang tertempel di halte tersebut.

'HALTE BRICKSTONE'

Salah satu tangannya menggenggam tali tas yang mengikat di tubuhnya. Tak ingin mati kedinginan di sana, ia segera melangkah ke sebuah jalanan yang sepi dengan di kedua sisinya terdapat bangunan-bangunan tua dan kokoh berdiri. Tentu saja jalanan itu sepi, karena hanya orang tak waras saja yang mau menghabiskan waktu di luar rumah dengan cuaca minus sebelas derajat celcius. Dan perempuan itupun bergegas ke sebuah gedung yang memiliki papan nama di atasnya.

Tampaknya itu sebuah kafe dan itu terasa hangat. Perempuan bermata biru itu segera masuk ke dalam dan benar saja, hangat kafe itu membuat napasnya tidak lagi terlihat menguap. Kafe tersebut memiliki eksotikanya tersendiri. Dengan kursi dan meja kayu menghiasi beberapa tempat. Di ujung ruangan tersebut ada meja panjang yang mirip seperti bar. Suasananya tidak ramai. Hanya ada dua-tiga orang sedang menikmati cangkir putih yang mengepul atau segelas bir besar di tangan mereka.

Perempuan itu melangkah ragu ke bar yang berada di ujung ruangan. Dalam beberapa langkah, kehadirannya disadari oleh sosok lelaki paruh baya yang berpakaian formal di balik meja panjang tersebut. Mata abunya menatap tepat pada mata biru perempuan itu.

"Aah ...," sempat sang lelaki itu terpana akan mata yang seperti laut itu. "Selamat datang di Kafe kami, nona. Ada yang bisa kubantu?" Suaranya begitu berat nan sopan di pendengaran.

Perempuan itu mendudukkan dirinya di atas stand chair yang terbuat dari kayu. Seulas senyum tipis terpatri pada bibir meronanya. "Aku membutuhkan coklat hangat. Apa kau memilikinya?" Pintanya.

Senyuman balasan yang ramahpun terpatri pula di wajah lelaki tersebut. "Kami memiliki apa yang kaupinta, nona."

Pekerja itu mulai mengerjakan pesanan sang perempuan. Kedua tangannya begitu lihai dengan meracik bubuk coklat dari sebuah toples, menakarnya bersamaan dengan gula dan air panas. Perempuan itu tidak bisa menahan senyumnya, karena pemandangan ini adalah hal yang menarik untuk diingat.

"Apa aku begitu memesonanya hingga kau memandangiku seperti itu?" Tiba-tiba sang lelaki menggoda. Ketahuan menatapnya secara terang-terangan membuat pipi perempuan itu merona merah. Tawa gelipun meluncur. "Haha, maafkan aku Tuan. Aku hanya senang melihatmu begitu lihai meracik bahan-bahan semua itu. Seakan-akan hidupmu sudah cukup lama dalam pekerjaan ini."

"Mungkin kau ada benarnya juga, nona," jawab lelaki itu. "Hampir sebagian umurku berada di sini untuk menyenangkan lidah orang-orang di sini."

"Maka dari itu, aku belum pernah melihatmu. Apakah kau perempuan baru?" Tanya lelaki itu sembari menaruh cangkir putih yang sama seperti pengunjung sebelumnya.

"Terima kasih." Perempuan itu menyentuh sisi cangkir yang hangat itu. "Ya, aku baru saja mengunjungi Brickstone pertama kali. Dan ..., sepertinya kunjunganku cukup salah mengingat cuaca yang amat dingin ini," jawabnya jujur.

"Aah ... Kau tidak sepenuhnya salah. Karena Brickstone memang seperti ini. Cuaca terhangat kami akan sama saja dengan tumpukan salju di jalanan." Lelaki itu terkekeh pelan. "Namaku Diaz Morento. Bagaimana denganmu?"

WINTER WAR (Remake)Where stories live. Discover now