3. Ketua Osis

75 36 68
                                    


Denaya, Riska, Vanya dan para peserta MOS lainnya telah berkumpul di suatu aula yang besar untuk melanjutkan kegiatan mereka.

Kali ini waktunya pengenalan anggota inti OSIS. Denaya sama sekali tidak bersemangat untuk kegiatan ini, juga kegiatan MOS lainnya.

Para anggota OSIS inti sedang memperkenalkan diri. Dimulai dari bendahara, hingga yang tertinggi, yaitu Ketua Osis.

"Halo, saya Rivaldo Gilang Raditya, Ketua Osis SMA Pelita." ucapnya dengan suara lantang namun lembut, serta senyuman manisnya yang membuat semua murid terutama kaum hawa langsung berteriak heboh.

"Ganteng banget sumpah!"
"Iya, gayanya juga kece abis!!"
"Duh he's so perfect!"

"What the...?! Jadi cowok itu Ketua Osis? Pantesan belagu," Padahal tadi ia sudah diberi tahu pak satpam namun entah mengapa sekarang ia sudah lupa dan bahkan menjadi kaget.

"Nay, kok muka lo heran kayak gitu sih?" tanya Vanya yang duduk disebelah Denaya dan memperhatikannya.

"Engga papa."
"Lo kaget ya Nay? Kan tadi gue baru aja mau ngomong, eh lo malah kabur ke wc," Jawab Vanya sedikit kesal pada Denaya yang membuatnya terdiam.

****

Kali ini para anggota MOS hanya menerima materi tentang sarana-prasarana serta keunggulan sekolah tersebut.

"Valdo, selama bapak menyampaikan materi tolong pastikan tidak ada yang keluar dari ruangan ini, kecuali dengan izin kalian." Pinta Pak Danar yang saat itu akan membawakan materi.

Pak Danar merupakan salah satu guru yang sudah berkepala 5, jadi wajar saja jika bicaranya yang pelan membuat Denaya merasa bosan dan kantuk, ia merasa bahwa materi ini sama sekali tidak penting baginya, sehingga ia memutuskan untuk keluar sebentar sekedar menghirup udara segar. Atau mungkin keluar sampai kegiatan itu selesai.

Denaya langsung keluar begitu saja, tanpa izin dari salah satu anggota OSIS.
Namun ternyata salah satu dari anggota OSIS melihatnya keluar.

Sekolah terlihat sangat sepi, murid-murid kelas XI dan XII diliburkan karena adanya kegiatan MOS, hanya anggota OSIS yang tidak.

"Ah, finally.." Ucap Denaya seraya menyusuri koridor sekolah.

Tanpa ia sadari, seseorang mengikutinya dari belakang dan menepuk pundaknya.
Denaya menoleh dan kaget saat melihat cowok itu. Ya, Valdo.

"Ngapain lo ngikutin gue?"

"Maaf, tapi siapa juga yang ngikutin lo?"

Denaya hanya menatapnya sinis lalu membalikkan badannya dan beranjak pergi.

"Eh main pergi aja, emang siapa yang izinin lo pergi?"

"Gue gak butuh izin dari lo kali," Jawab Denaya menantang, ia tidak tahu bahwa maksud Valdo adalah ia harus meminta izin darinya dahulu selaku anggota OSIS untuk bisa keluar.

Ia hendak melanjutkan langkahnya namun ditahan oleh Valdo.
"Lo tuh keluar dari aula tanpa izin gue atau salah satu dari anggota OSIS. Ngerti?"
"Ayo ikut gue sebelum gue laporin lo ke Pak Danar!" Gertak Valdo.

"Bodoh amat. Gak peduli." balas Denaya jutek yang membuat Valdo semakin kesal padanya.

Denaya menyadari bahwa ia salah namun ia tetap tidak peduli. Pasalnya, Denaya memang keras kepala dan cuek. Jadi gertakan Valdo sama sekali tidak mempan baginya.

"Ya ampun." Valdo mengacak rambutnya. "Anak baru kok belagu banget sih?" Valdo bergumam pelan.

Kesal dengan sikap Denaya, Valdo akhirnya mencengkeram tangan Denaya dan menariknya untuk kembali ke aula.

"Lepasin. Sakit tau!" teriak Denaya yang tak sanggup melepas genggaman Valdo.
Valdo hanya diam sambil terus berjalan menuju aula.

Saat mereka hampir tiba di depan pintu aula, tiba-tiba seluruh peserta MOS berhamburan keluar dari aula, mungkin salah satu dari mereka tidak ada yang mendengar bunyi bel pulang, saking terlalu serius berdebat.

Valdo terpaksa melepaskan genggamannya karena tahu pasti bahwa ia akan menjadi buah bibir jika orang banyak melihatnya menggenggam tangan Denaya.

Denaya lalu berlari ke dalam aula untuk mengambil tas nya. Sementara Riska, Vanya dan yang lain sudah hilang entah kemana. Hanya menyisakan para anggota OSIS.

Sementara Valdo, ia juga masuk ke dalam aula untuk mengadakan rapat evaluasi singkat tentang kegiatan hari ini bersama OSIS lainnya.

****

Denaya tiba di rumah. Ia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tiba-tiba saja ia kepikiran Valdo; sosok yang sukses membuat harinya sial dan bahkan lebih sial.

"Dek, dipanggil ayah."
Suara yang tidak asing itu tiba-tiba menyelamatkan Denaya dari pikirannya tentang cowok menyebalkan itu.

Denaya keluar dari kamarnya, berjalan menuruni anak tangga, lalu mendapati ayah dan kakaknya sudah duduk di meja makan.

Suasana begitu hening. Tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan.

"Aku keatas duluan ya,"
Akhirnya Reza, kakak Denaya beranjak dari kursinya dan langsung meninggalkan Denaya dan ayahnya di meja makan dengan keadaan yang sangat canggung.

"Gimana sekolah?" Tanya ayah yang akhirnya memulai pembicaraan.

"Baik." Jawab Denaya singkat sambil melanjutkan makan nya.

"Nanti kalo cari temen yang bener. Kamu tau kan, Ayah mindahin kamu ke Indonesia supaya kamu jauh dari teman-temanmu yang sesat itu."

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah tadi, tidak ada pembicaraan diantara mereka, sehingga saat makan malam-lah Anwar berkesempatan untuk bercerita banyak hal pada Denaya.

"Aku keatas dulu,"
Sebelum ayahnya memberi lebih banyak wejangan, Denaya segera meninggalkan Anwar yang terdiam dengan kata-kata yang tersimpan di ujung mulutnya.

****

Hari ini, tidak ada hal baik yang terjadi pada Denaya seperti apa yang ia harapkan. Ya mungkin memang akan seperti itu seterusnya.

End of Chapter 3.^^

Thankyou yg udh baca sampe sini,
vote and comment ya!<3
Maaf banget ceritanya gaje:( huhu. <3

Sorry, I Can't (Be Perfect)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang