5. Cinque

61 4 2
                                    

Renna memilih untuk melayangkan pikirannya menuju langit ketujuh ketika Bu Eni menerangkan dengan menggebu - gebu rumus - rumus matematika yang entah bagaimana bisa ada dan harus ia pelajari.

Lagipula kalau besok di kehidupan nyata, akankah ketika ia mengambil keputusan, haruskah ia menggunakan salah satu rumus matematika tersebut? Yah namanya juga pelajar. Apa - apa dimasukin ke pikiran.

Arah pandangan Renna memang benar adanya, jatuh tepat di papan tulis, tetapi tetap saja, pikirannya berada melayang entah kemana.

Sudah terhitung lebih dari 3 hari ia selalu mendapati dirinya memikirkan 'si mata hazel' itu - Ricky. Kata beberapa orang, "janganlah terlalu berusaha untuk menghilangkan orang yang sedang kau pikirkan itu dari otakmu, semakin kau hilangkan semakin kau akan memikirkannya."

Biarkan saja, let it flow. Pasti juga nanti ia lupa. Namun, sama saja hasilnya. 'Si mata hazel' tersebut tetap berada di pikirannya, sepertinya Renna sendiri yang tidak menginginkan Ricky pergi dari pikirannya.

Jika divisualisasikan, mungkin di pikiran Renna ada sebuah penjara, dan Ricky sedang berada disana. Sedikit tidak jelas memang.

"Rennata, hutang kamu di ibu kantin banyak ya?" sebuah suara halus hadir di samping kirinya.

Renna masih melamun. Kali ini pandangannya beralih ke bawah, ia menatap mejanya.

"Siomay tadi pagi disuruh bayar nanti doang sih," jawab Renna masih tak mau menatap lawan bicaranya.

"Rennata Jasmine, kalau kebanyakan hutang ya dibayar. Jangan kayak gini, dibawa ke kelas, pikiran kemana - mana. Betulkan anak - anak? Silahkan cuci wajah kamu diluar. Kamu boleh masuk kalau udah gaada pikiran ngelamun kemana mana."

Renna terperangah, ia membalikkan tubuhnya, dan mendapati gurunya yang sudah setengah baya tersebut - Bu Eni, telah berteleportasi di belakang bangku Renna. Ajaib memang.

"Eh bu Eni, iya saya ke kamar mandi dahulu."

Serentak anak - anak kelasnya tertawa cekikikan. Renna hanya menampilkan senyum kecutnya.

"Makanya jangan mikirin Ricko mulu," toel Kinan yang berada di sampingnya.

"Ricky," koreksi Renna pelan sambil menatap tajam Kinan.

Renna segera berjalan keluar dari kelasnya. Malu sebenarnya, harusnya ia memerhatikan sang guru killer tersebut itu. Dasar. Harusnya ia tak boleh kalah dengan pikirannya tentang laki - laki tersebut. Ia sungguh berlebihan.

Perlahan Renna mengarahkan kakinya masuk ke dalam toilet sekolahnya. Ia memilih berhenti di wastafel dan menatap pantulan dirinya di cermin daripada masuk kesalah satu ruangan yang biasa digunakan untuk buang air itu. Ia selalu memikirkan kekurangan yang ada pada dirinya, jerawatnya, kulit berminyaknya. Apa mungkin ia kurang bersyukur?

Entahlah. Ia menatap pantulan dirinya di cermin sedikit lama, lalu membasuh wajahnya dengan pelan. Kali ini ia melaksanakan perintah Bu Eni.

Sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat. Renna memutuskan untuk keluar sambil menunduk. Renna yakin pasti ia akan berpapasan dengan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya.

Suara derap langkah itu berhenti tepat di depan Renna.

"Lu ngapain di dalem lama amat. Bu Eni tanya,"

Renna menengadahkan kepalanya ternyata Beni. Ia kira siapa.

"Eh, Ben! Perhatian amat sih lu! Iya iya ngefans tapi ga gini juga hehe. Sampe datengin ke toilet segala," ucap Renna sambil berjalan mendahului Benni.

Benni hanya tersenyum kecut. Ia segera menyejajarkan langkahnya dengan Renna "yaela sapa juga yang mau. Tadi bu Eni nyuruh anak kelas nyariin lu. Tapi ga pada mau. Itung - itung buat alesan, ya gue mengajukan diri aja, sekalian tadi jajan dulu ke kantin." Benni menunjuk saku celananya yang sudah terlihat berisi.

ProvareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang