Ini Bukan Cinta

26 4 0
                                    

"Bian lama banget sih siap-siapnya, buruan sarapan nanti telat." Seru Dito kepada Bian yang sedari tadi masih sibuk berkutik di dalam kamarnya, berusaha menguncir rambutnya dengan rapih.

"Tumben-tumbenan ngeburu-buruin gue." Batinnya dalam hati.

Bian menyisir rambutnya perlahan, tidak menghiraukan Dito yang menyuruhnya untuk bersiap lebih cepat, rambutnya kemudian ia kuncir kuda, ditolehkan wajahnya ke kanan dan kiri, lalu tersenyum senang. Ia percaya tersenyum kepada diri sendiri akan membawa hari yang penuh dengan hal-hal yang positif.

Setelah dirasa selesai, Bian langsung keluar dari kamar dan menghampiri meja makan keluarganya, matanya terbelalak setelah melihat kehadiran Bagas disana, sedang asyik berbincang dengan Dito sembari sesekali tertawa. Dito menepuk akrab bahu Bagas yang dibalas dengan tawa tulusnya.

"Gila, dia ngapain disini? dan bokap gue kenapa santai-santai aja deh?" Batinnya terkejut. Langkahnya sedikit memelan ketika menghampiri pemandangan pagi yang tidak biasa tersebut.

"Akhirnya Bian ini keluar juga, memang pagi-pagi suka lama dia, pasti nyari kaus kaki ya? Suka bertebaran dimana-mana dia taruh."

Bian masih memasang ekspresi kaget, pikirannya menerawang jauh hal yang membuat Bagas pagi-pagi buta datang kerumahnya, dan Dito yang bertingkah santai seolah ini bukan hal besar, padahal selama ini Dito selalu menasehati ini dan itu tentang lelaki kepada Bian.

"Jangan sembarangan bawa cowok ke rumah."

"Kalau teman cowok kamu ke rumah, Ayah bakalan interogasi dia."

Ohya, mungkin Bagas pengecualian mengingat ia adalah keponakkan dari sahabat baik Dito.

"Yuk Na, abis sarapan kita ke sekolah bareng." Ujar Bagas sembari tersenyum lebar, membuat Bian semakin dan semakin heran.

"Hah?"

"Padahal kamu seneng kan karena gaharus naik angkot buat hari ini?" ledek Dito, membuat Bian semakin dan semakin heran.

"Tapi, Yah?"

"Udah, kalau sama Bagas, Ayah percaya, keponakkannya sahabat karib Ayah kok."

***

Bian termangu diam, memerhatikan motor Bagas dengan tatapan bingung.

"Ayok, Na." Ajak Bagas tidak sabaran. Matanya tetap melihat kedepan.

"Gas..."

"Kenapa?" tanya Bagas, kali ini matanya mengarah kepada Bian yang keheranan.

"Gue gimana duduknya, Gas? Tas lo segede gaban!" ditepuknya tas Bagas yang terlihat besar dan berat. Entah barang apa saja yang Bagas bawa kesekolah, tapi ia terlihat seperti membawa 10 lapis baju.

"Lo mau sekolah atau naik gunung? Banyak banget bawaan lo kayaknya." Celetus Bian.

"Yaaa, lagi ada keperluan. Udah ayo naik, Na." Jawab Bagas setelah memindahkan tas besar tersebut, digendong di bagian depan dada.

"Udah bisa kan sekarang?"

Bian kemudian memposisikan tubuhnya diatas bangku penumpang motor besar Bagas, rasanya sedikit tidak nyaman mengingat motornya sangat besar

"Gas, ngapain sih sampe jemput-jemput ke rumah segala? Udah, gaperlu merasa harus berterimakasih, lagian kemarin itu gua refleks, siapapun orangnya, gua pasti ngelakuin hal yang sama." Ujar Bian di sela-sela keheningan mereka dalam perjalanan ke sekolah. Bagas tertawa terbahak-bahak.

"Yaelah santai aja kali, lemesin aja bos. Gue tadi sekalian nganterin titipan om Edi, lagian kita kan tetanggaan, itung-itung pengiritan kan?"

Bener juga sih, ya hitung-hitung pengiritan, waktu dan juga ongkos.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RedamancyWhere stories live. Discover now