Bab 5

176 9 2
                                    

"Kehilanganmu adalah mimpi buruk yang menjadi nyata"

Aku berlari mengejar Langga yang sudah sampai di bibir pantai dengan tawanya, tawa yang paling disukai Semesta.

Semesta.. bisa tidak ku minta jawaban atas pertanyaanku itu dia? Bisa tidak iya kan saja keinginan ku barusan? Rasanya akan sulit jika bukan dia. Lelaki itu bahkan telah menjagaku pada pertemuan pertama, dimana kau mempertemukan kami dibawah hujan. Itu hujan terbaikku, itu hujan kesukaanku. Semesta dia itu sama tidak dengan guardian angel? Aku tidak mau punya guardian angel, dia memang melindungi tapi kan dia bukan Langga jadikan Langga menjadi Langga saja jangan guardian angel ya? pleasee

Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel dipipiku, aku menoleh Langga terbahak dengan tangan yang penuh pasir pantai yang basah. Aku merengut lalu menatapnya tajam, sedangkan dia hanya berjalan mendekatiku kembali.

Sampai akhirnya aku terbangun dari tidurku yang menyenangkan. Bahkan ketika tidur pun aku memimpikan manusia menyebalkan itu. Langga memang sudah seperti detak jantungku sendiri rasanya.

Aku bangun, dan meraih ponselku diatas nakas yang berada tepat disamping tempat tidurku. Kucoba untuk melihat semua notifikasi yang masuk, namun nihil. Tidak ada satu pun notifikasi dari Langga yang biasanya sudah berhasil merenggut senyumku saat pagi hari.

Entahlah, tapi aku mulai cemas memikirkannya. Ah, jika terus begini semakin lama sudah dipastikan aku semakin berhalusinasi tentang keadaan Langga, mungkin dia hanya pergi jogging dan tidak membawa ponselnya.

Aku memilih untuk bergegas mandi pagi dan setelah itu memakan sarapan yang sudah dimasak bi Ina.

"Non, ini ada surat untuk non Nala" Ucap Bi Ina sambil menyodorkan sepucuk surat setelah aku keluar dari kamar mandi.

Sambil masih terus memegang handuk untuk mengeringkan rambutku, aku mulai membolak-balik surat dengan warna biru itu dan terus kebingungan, untuk apa ada yang mengirim surat padaku?

Aku membuka surat dengan amplop berwarna biru itu.


Dear Nala.

Ini aku, Langga. Maaf jika mulai hari ini sampai entah kapan, aku akan berhenti menyuarakan keadaan dan keberadaanku kepadamu. Kamu tidak perlu khawatir kemana pergiku. Bukan ini yang aku dan kamu mau, tapi ini yang Semesta mau.

Sebentar lagi kamu masuk ke masa putih abu-abu mu, buat itu jadi bermakna untuk hidupmu Na! banyak orang baik yang akan kamu temui nanti, berhentilah jadi perempuan cengeng karena aku tau kamu tidak selemah itu, jika ada yang berani mencintaimu dan berhasil membuatmu mencintainya.. Berbahagialah... sebab aku tidak tau kapan aku bisa kembali mendekapmu erat, aku hanya takut tak bisa melakukannya lagi.

Jaga dirimu baik-baik Nala kesayangan-ku, jika ada orang yang berani membuat hati kecilmu itu sakit. Katakan pada orang itu dia salah sudah melukai Perempuan yang paling Langga sayangi.

Dekap Hangat.

Langga yang suka membuatmu kesal.


Aku menjatuhkan lembaran surat menyakitkan itu ke lantai. Berkali-kali berpikir dengan keras apa yang sudah ku lakukan hingga membuat Langga pergi begitu saja, dan sialnya tidak ingin meninggalkan jejak apapun agar bisa ku temukan hadirnya.

Menyakitkan sekali ketika orang yang kau sayangi pergi begitu saja dan sialnya kau sendiri tidak tau kemana perginya, ia selalu ada bahkan di saat-saat terburukku. Sekarang apa yang harus dilakukan seorang anak yang bahkan usianya belum genap 15 tahun untuk membawa orang yang ia sayangi kembali?

Langga itu Senja,

ia adalah senja yang senang sekali membuatku kagum

ia adalah senja yang dinantikan dan dikagumi banyak orang,

ia adalah satu-satunya alasan mengapa menjelang malam banyak orang pergi keluar rumah mereka, kemudian mengabadikannya lewat lensa kamera,

ia adalah senja yang ku kira tak dapat padam karena apapun,

ia indah,

namun, sekarang aku paham...

Senja tak pernah menetap di langit,

ia hanya singgah, mungkin juga dengan Langga.

Entah darimana, airmata terus bercucuran melewati pipiku. Ingin sekali menjerit tetapi tenggorokan ku tercekat, aku ingin marah.. namun pada siapa? lagi-lagi rasanya masih berpikir bahwa semua ini hanya mimpi yang di rekayasa semesta.

Langga tidak akan meninggalkanku! ini semua bohong! Langga tidak akan pernah pergi kemanapun tanpa ku!

"Langgaaa" 

Bibirku gemetar, Lututku lemas, kemana ia yang seharusnya selalu ada di sampingku? kemana ia? kemanaa?!

Setelah ini hari-hari akan semakin lama berganti, semakin sulit aku mengerti arti cinta yang selalu ada, semakin fana sosok yang ku panggil Langga.

Berharap masa transisi ini segara berakhir dan aku benar-benar menjadi perempuan yang tak lagi mengenal isak tangis.


Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan.

Sudah berbulan-bulan aku tidak mendengar apapun dari sosok yang dulu gemar sekali bebicara dan melarangku ini itu.

Aku sudah mengenakan rok abu-abu sejak berbulan-bulan lalu Langga, sama seperti saat ini. Entah apa maksud perbedaan yang yang tulis di suratmu itu, kebahagiaan macam apa yang coba kamu jelaskan dari masa abu-abu ini. 

Tidak ada Langga, tidak ada yang berhasil merenggut hatiku dari tempat terakhir kamu meninggalkannya. Meski banyak yang sudah mencobanya, hatiku tidak tergerak dan berbahagis seperti keinginanmu dalam surat itu.

Aku sibuk jatuh cinta dengan bayanganku sendiri, aku sibuk jatuh cinta pada suara gemercik air hujan diluar jendela kamarku, aku sibuk jatuh cinta pada alunan lagu yang terdengar menyakitkan untuk dijadikan lagu bahagia.

Langga, terlepas dimana pun kamu berada dan bagaimana pun kabarmu sekarang. Aku tau kamu akan selalu baik-baik saja karena aku tau Tuhan tidak akan membiarkan orang sepertimu terlukai.

Aku sempat berpikir sekarang kamu tinggal di ujung pelangi, atau mungkin rumahmu di ujung senja, atau mungkin juga keadaanmu sama menakjubkannya dengan fajar ketika ku buka jendela di pagi hari.

"Non Nala, ada Den Rama di depan." 

Ucap Bi Ina yang berhasil menyentak lamunanku, aku bergegas bangkit dari meja makan dengan sepotong roti yang masih sibuk aku genggam karena semenjak tadi yang aku lakukan hanya melamuni Langga yang betah sekali bersembunyi diujung pelangi sana.

Aku menghampiri lelaki bernama Rama yang sedang duduk di teras rumahku, ya.. namanya Rama. Airama Falah nama lengkapnya. berbulan-bulan ini aku menghabiskan waktuku dengan dia, Rama selalu ada dan menghiburku yang sibuk dengan semua kegundahan yang aku miliki bersama datangnya Fajar di setiap pagi.

"Ayo, Na" ajak nya ketika melihatku sudah siap dan masih sibuk memakan sepotong roti yang sejak tadi ada di genggamanku.

Aku hanya menggangguk dan mengikuti langkahnya menuju mobil berwarna hitam yang tampaknya baru saja Rama cuci kemarin, karena tumben sekali cowok pemalas itu mobilnya bersih seperti baru keluar dari dealer.

Rama membuka kan pintu untukku, dan kembali jalan memutar untuk masuk kebalik kemudi mobil.

S E M E S T ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang