Bab 2

220 15 0
                                    

Jika saja bukan keinginan Hati mana mungkin aku sudi?

Tentu saja jika bukan keinginan hati untuk menunggu di depan gerbang stasiun untuk menunggu Langga, aku tidak akan sudi. Rasanya langit yang berada tepat diatasku akan segera jatuh dan menimpa tubuhku lalu aku terkubur di dalam lapisan udara yang menimpaku.

'Apaansih Na?'

Tepat seperti dugaan awalku, hujan mulai turun dan bahkan lelaki itu tidak ada untuk mempertanggung jawabkan rasa hatiku yang tidak karuan lagi seperti apa, hanya untuk sekadar melihatnya menyapa dan tersenyum hangat.

30 menit sudah aku kehujanan di depan gerbang stasiun, badanku basah kuyup. Kedua kalinya kehujanan dalam satu hari yang sama, dan bahkan alasannya tidak pernah logis mengapa harus berhujan-hujanan. HUH!

Aku mulai mengigil, sudah saatnya aku masuk stasiun saja.. kemudian duduk di kereta dan menunggu kereta melaju.

Aku memilih kereta di peron 3,aku rasa aku memilih kereta ini karena keretanya cukup lengang dan kebetulan AC nya tidak terlalu dingin. Pas sekali!

Aku duduk bersandar pada tempat dudukku, ku tarik nafas dalam. Sesak sekali tidak menemukan Langga, baru sekali bahkan rasaku sudah secara otomatis memberikan sinyal kepada otak untuk memicu hormon kesedihan.

Kereta mulai berjalan, telingaku kututup rapat-rapat dengan earphone yang memutar lagu yang begitu cocok dengan perasaanku. Aku memilih tertidur sejenak.

"Aya.. bangun.. sudah sampai rumah? Apa sebegitu kelelahannya menungguku di depan gerbang stasiun? Ah, maaf ya." Aku mendengar keluh kesah seseorang yang nyaris berbisik di telingaku.

Tubuhku menggeliat tak nyaman, aku merasa benar-benar dingin sekarang.

Tak lama, tubuhku terasa seperti melayang..hey! bahkan sekarang aku bisa melayang.. hebat bukan? Aku membuka mataku yang berat, melihat dengan pandangan buram seorang lelaki dengan kaus hitamnya. Dia bahkan begitu ajaib ada di mimpiku ini, bahkan dia menggendongku. Mimpiku bahkan terlalu indah untuk dibayangkan.

"Neng Nala... Neng"

"Hmmm.. "sekarang aku menjadi benar-benar tidak nyaman, tubuhku rasanya hancur semua.. seperti sebentar lagi akan copot jika aku salah bergerak sedikit saja

Aku mencoba untuk terduduk, walaupun masih setengah sadar.

Bi Ina berkali-kali meletakan punggung tangannya di dahiku dan memberi rasa dingin di dahiku.

"Ya ampun neng, sepertinya neng kena demam. Sebentar ya bibi ambilkan kompres sama obat dulu" Ucap bi Ina

Aku hanya mengangguk lesu tanpa ekspresi.

"Bi, biar saya saja yang mengambil kompres dan obatnya. Bibi istirahat saja ya" Aku mendengar kilas pembicaraan di depan pintu kamarku, sudah pasti dari suaranya itu adalah seorang laki-laki

"Ah tidak perlu Den, lagipula Neng Nala kan tanggung jawab saya,sejak dia kecil saya sudah menjaga dia selagi Bapak dan Ibunya bekerja" Ucap Bi Ina dengan sopan.

Lalu terdengar ketukan langkah menuruni tangga, entahlah.. aku tidak ingin berpikir dulu, kepalaku masih terasa berdenyut dan nyeri.

Ceklek.. pintu kamarku terbuka

"loh?"

Aku menyipitkan mataku,memperjelas siapakah yang berdiri di depan pintu itu.

Kaus hitam, rambut berantakan,dan senyum manis. Tunggu, sejak kapan dia punya lesung pipi? Baiklah-baiklah aggap saja aku tidak sadar dengan lesung pipinya.

"Sudah baikan?"

"heum, maybe?" ucapku sambil duduk bersandar pada tempat tidur.

"Punya alasan untuk berbuat hujan-hujanan seperti tadi Nala?"

S E M E S T ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang