[ CATH ]
.
Hari terakhir di bulan September, sinar matahari masih terasa terik walau temperatur udara semakin turun. Hembusan angin yang melewati celah jendela dapur cukup membuatku bergidik dan merapatkan jubah tidur yang aku kenakan. Dengan terburu-buru aku menuangkan kopi ke dalam cangkir ketika mesinnya sudah berhenti meracik. Asap terlihat mengepul dari balik cangkir dan aromanya merayap memasuki rongga hidungku. Setelah membersihkan ampas kopi dari mesin kopi, aku menangkup cangkir yang berisi kopi hitam dengan kedua tangan, berharap panasnya bisa sedikit menghangatkan jemari-jemariku yang mengigil.
Aku berjalan dari dapur melintasi ruang tengah, diiringi dentangan ke tujuh dari jam tua milik mendiang ayahku. Langkahku terhenti saat aku berhadapan dengan pintu yang kutuju. Perlahan aku mengetuk buku-buku jariku pada pintu kayu putih tulang sebelum aku memutar kenopnya. Seketika cahaya matahari menerpa wajahku saat aku mendorong pintu, memasuki ruangan dengan perlahan dan menutup pintu kembali dengan hati-hati. Mataku menjelajah seisi ruangan yang bergaya scandinavian dan bercat putih. Penuh dengan beberapa perabot berbahan kayu dan peralatan melukis. Banyaknya jendela berukuran besar di ruangan ini membuat cahaya matahari mudah memenuhi ruangan.
Aku mulai mendekati meja panjang yang berada di salah satu sisi ruangan, mencoba menyingkirkan beberapa kertas yang berserakan dengan satu tanganku agar aku bisa dengan aman menaruh cangkir kopi di atasnya. Aku berpaling ke arah jendela, membuka salah satunya. Hanya sedikit, tidak terlalu lebar. Setidaknya cukup untuk mengurangi bau cat minyak yang menyengat dalam ruangan ini. Aku mengamati dedaunan pohon maple yang berwarna-warni, dari hijau ke kuning lalu jingga dan merah, satu persatu mulai berguguran dari ranting ke tanah. Beberapa terbang karena tiupan angin, membuat area di sekitarnya ikut berwarna.
Perhatianku teralihkan oleh suara gesekan-gesekan kanvas, membuatku menoleh ke arah suara muncul. Pandanganku mendapati sosok James disana, berdiri di sisi ruangan berlawanan dengan tempatku berada, menyibukkan dirinya di depan dudukan kanvas. James mengenakan kemeja hitam dengan lengan baju panjang yang digulung ke atas serta celana chino cream. Sinar matahari dari jendela menyoroti rambut cokelatnya. Tubuh yang tegap dan atletis membuatnya terlihat indah walau hanya memandanginya dari belakang. Dengan lihai, jari-jarinya menggoreskan kuas di atas kanvas, melukiskan seorang wanita dengan rambut melebihi bahu dan tubuhnya terbalut gaun putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Coffee and Wine (ON REWRITING)
Romance"Terkadang aku berpikir cinta seperti cangkir kopi pagimu, yang setiap sesapannya membawakan kehangatan. Atau seperti aroma kopi yang menyapa lembut rongga hidung, membangkitkan semangat dan menyegarkan jiwa. Manis meski masih terasa pahitnya, pekat...