[ CATH ]
.
"Kapan kau menikah?" Andrew setengah berteriak ketika menanyakan hal itu padaku.
Kami berdua duduk di tengah ruangan dalam restoran Jepang yang kupilih. Coba tebak, Andrew bagai magnet dalam sekejap ketika dia melewati pintu restoran. Semua perhatian tertuju padanya, kebanyakan perempuan.
Dan aku?
Well, mereka seperti menusukkan panah ke kepalaku dengan tatapan mata mereka. Jelas sekali tatapannya menunjukkan bahwa aku tidak pantas berjalan di samping Andrew. Bahkan pelayan yang melayani kami pun berusaha menggodanya.
Aku bukan tipe yang suka berada di tengah perhatian orang banyak. Hal itu sangat menggangguku. Ingin sekali aku membungkus kepala Andrew dengan karung agar tidak mengundang banyak tatapan. Tapi sepertinya itu juga bukan lah ide yang bagus.
"Shussh, Andrew, kau tidak perlu meninggikan suara seperti itu. Dan ya, aku menikah dua bulan lalu." kataku sambil meniup-niup sebentar ramen yang kucapit dengan sumpitku lalu menyeruputnya.
"Bukankah kau masih terlalu muda untuk menikah? Berapa umurmu? Wait, kita berbeda 4 tahun. Astaga Cath, kau masih 23. Apa yang membuatmu menikah secepat itu?"
Aku memutar mataku. "Tidak perlu histeris seperti itu. Reaksimu itu seperti aku masih anak SMA saja. Umur 23 sangat wajar untuk menikah, silly."
"Apa kau dijodohkan atau semacamnya?" desak Andrew.
"Bisa dibilang begitu."
Andrew membelalak tidak percaya dan menggeleng-geleng seolah tidak bisa menerima perkataanku. "Aku masih belum percaya, astaga Cath, andai saja aku lebih cepat datang ke sini."
Kunaikkan sebelah alisku. "Memangnya ada apa kalau kau lebih cepat datang?"
"Entahlah, mungkin aku akan membawamu kabur dari kapel." ucap Andrew sambil memainkan kedua alisnya.
Aku mendengus. Lama tak bertemu Andrew membuatku hampir membenturkan kepalaku ke atas meja. Sifatnya yang aneh dan konyol masih sama seperti dulu. Melihatnya bertingkah seperti itu, gagasan pertama yang timbul dibenakku adalah mencapit alisnya dengan sumpitku. Tapi ide itu hilang mengingat aku masih membutuhkan sumpitku untuk makan. Akhirnya dengan kesal, aku mencapit sepotong sushinya dan langsung memasukkannya ke dalam mulutku.
"Hey!" Andrew mengernyit melihatku mencuri makanannya.
"That's for your weird joke."
Andrew mendesah dramatis, menyingkirkan piringnya agar cukup jauh dari jangkauanku. Aku menyeringai penuh kemenangan.
"So now, tell me about your man. Bagaimana kau mengenalnya? Apa pekerjaannya? Aku tidak melihatnya tadi. Kau tidak bersamanya? Padahal kan ini hari sabtu." Andrew menyipitkan matanya. "Kau bukan menikah dengan kakek-kakek kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Coffee and Wine (ON REWRITING)
Romansa"Terkadang aku berpikir cinta seperti cangkir kopi pagimu, yang setiap sesapannya membawakan kehangatan. Atau seperti aroma kopi yang menyapa lembut rongga hidung, membangkitkan semangat dan menyegarkan jiwa. Manis meski masih terasa pahitnya, pekat...