Tiga

4.8K 680 116
                                    

Jihoon mengusap kening dan menemukan jejak darah di sana. Rupanya serpihan dari meja kayu jati yang dilontarkan Seungcheol tadi berhasil menggores keningnya meski tameng berbahan tanah buatan Wonwoo yang berbentuk setengah lingkaran menangkup mereka dari arah depan.

Pemuda mungil itu meringis. Telapak tangannya yang berlumuran darah gemetar. Separuh karena kaget, sisanya karena ketakutan melihat cairan kental dan merah tersebut.

"Jihoon-ah, apa kau baik-baik saja?" Wonwoo berseru tanpa menoleh. Dia sedang sibuk menangkis serangan dari Seungcheol yang terus melontarkan barang-barang yang ada di sekitar, tanpa perlu menyentuhnya, sambil terbahak-bahak sekitar dua meter di depan mereka.

Hening. Jihoon tidak segera menjawab. Dia masih terkungkung ketakutannya.

"Ya! Jihoon-ah! Apa kau ba--akh!"

Duagh!

Wonwoo terlontar jauh, tamengnya rubuh, oleh hantaman sebuah guci setinggi dua meter dari Seungcheol yang muncul tiba-tiba di antara benda-benda lainnya. Pemuda berwajah tirus nan jangkung yang swbenarnya sedang berusaha melindungi Jihoon hilang fokus karena terlalu khawatir Jihoon tak kunjung menjawab hingga tidak menyadari serangan dadakan barusan.

Alhasil, tubuhnya terlempar jauh dan tak sanggup bangkit akibat benturan cukup keras di dinding pada bagian punggung. Dia terkapar. Hilang kesadaran.

Jihoon terkesiap. Terkejut melihat Wonwoo dengan beberapa luka di bagian wajah dan lengannya. Pemuda mungil itu semakin gigil saat mendengar derap langkah mendekat.

Itu Seungcheol, hyung-nya, namun dengan watak dan penampilan yang jauh berbeda. Jika hyung yang selama ini Jihoon kenal berambut hitam legam, sangat lembut, dan penyayang, maka sosok di hadapannya ini kebalikan dari karakter tersebut; rambut dan kornea matanya semerah darah, juga bersikap kasar dan bengis.

Padahal mereka sudah janji akan makan malam bersama. Namun, begitu datang, bukannya masak bersama sebagaimana yang mereka lakukan, Seungcheol justru menyerang. Untung saja ada Wonwoo yang melindungi dengan tameng berbahan tanah. Meski Jihoon sendiri belum paham kenapa dan bagaimana, setidaknya dia bersyukur masih hidup. Kalau saja tameng Wonwoo tak ada, entah jadi apa dia ketika pintu yang dilontarkan Seungcheol berhasil menghantam tubuhnya.

Jihoon tak habis pikir.

"W-wae yo, Hyung?" Suaranya terdengar mencicit. Bibir Jihoon ikut bergetar. Langkah pemuda mungil itu refleks menjauh seiring semakin dekatnya sosok Seungcheol. "Kenapa kau menyakiti temanku?"

"Di mana?" Seungcheol bertanya kasar, mengabaikan pertanyaan Jihoon tadi, dengan suara rendah dan menggelegar. "Di mana kau sembunyikan senjataku, huh?!"

Lee Jihoon mendongak karena telunjuk tangan kiri Seungcheol mengangkat dagunya tinggi-tinggi sehingga pandangan mereka kini bertemu pada satu garis lurus. Bersitatap.

Persendian Jihoon melemas akibat tekanan kekuatan yang dilayangkan pemuda pucat di hadapannya. Sangat mengintimidasi.

"Se--senjata apa? Aku tidak tahu," jawab Jihoon. Tubuhnya sempurna mepet ke dinding. Jari-jarinya mencengkeram dinding di bawah sana.

Seungcheol berdecak sebal. Merasa waktunya baru saja dibuang. Namun seulas senyum terangkat sebelah melihat lelehan air mata ketakutan mengalir deras dari ujung-ujung mata pemuda mungil tersebut. Sebuah ide pun terlintas dalam kepalanya.

Telapak lebar Seungcheol bergerak mencengkeram kerah seragam Jihoon dan segera melempar tubuh mungil tersebut ke sisi kiri.

Harusnya, tubuh tersebut menghantam sebuah lemari berisi material berbahan kaca. Jihoon sudah membayangkan berapa banyak luka yang akan didapatnya nanti. Dia mengatupkan kedua matanya rapat-rapat, pasrah menerima apa pun yang akan terjadi kemudian.

The Doll's MasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang